JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pekan lalu menjadi ancaman bagi masyarakat adat setempat. Beleid ini lebih kental membela kepentingan pribadi ketimbang masyarakat.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim mengatakan secara substansi dari UU itu tidak cukup untuk menyelesaikan struktur masalah di pulau-pulau kecil dan pesisir. "Banyak sekali kepemilikan pribadi yang masih dominan ketimbang kepemilikan rakyat secara umum," kata Halim kepada Gresnews.com, Senin (30/12).

Halim menambahkan selama ini pulau-pulau kecil yang penduduknya sangat sedikit selalu dijadikan potensi bagi usaha pariwisata investor-investor besar bahkan asing. Pasal 26A Ayat (1) dan (2), terdapat pemakaian frase yang bertolak-belakang, yakni penanaman modal asing dan mengutamakan kepentingan nasional.

Menurut Halim mustahil asing memprioritaskan kepentingan Indonesia dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Di samping itu, pelibatan asing juga bertentangan dengan pesan Deklarasi Juanda 1957 yang mendapatkan pengakuan rezim Negara Kepulauan melalui UNCLOS 1982.

Dalam Pasal 26A Ayat (4) terindikasi kuat ada praktek jual-beli pulau oleh orang asing. Bahkan terdapat praktek di lapangan yang bertentangan, misalnya Gili Sunut di Nusa Tenggara Barat. Sebanyak 109 KK tergusur karena investasi pulau kecil oleh PT Blue Ocean Resort asal Singapura.

"Revisi Undang-Undang (Pengelolaan wilayah pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, red) tidak memberikan akses, tetapi hanya bentuk bertahan," imbuhnya.

Sedangkan terkait dengan kerusakan lingkungan menurut Halim, definisi Pencemaran Pesisir pada Pasal 1 Ayat (28) hanya menempatkan subyek yang disangkakan pada orang per orang. Sementara pada prakteknya banyak korporasi yang menjadi penyebab utama terjadinya pencemaran di wilayah pesisir. Misalnya PT Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa dan lainnya.

Masalah lain yaitu penyusunan Rancangan Rencana Strategis Wilayah Pesisir (RSWP)-3-K, Rencana Zonasi Wilayah Pesisir (RZWP)-3-K, Rencana Peruntukan Wilayah Perairan Laut (RPWP)-3-K, dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP-3-K) RAPWP-3-K yang diatur di dalam Pasal 14 Ayat (1 dan 2) belum secara tegas menyebut adanya keharusan partisipasi aktif masyarakat. Dalam pasal itu disebutkan, "…. Dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Masyarakat dan Dunia Usaha”.

Pusat Data dan Informasi KIARA (2013) mencatat beberapa  kabupaten/kota yang menyusun rencana zonasi pesisirnya tidak melibatkan masyarakat nelayan. Yakni di Kabupaten Serang, Banten dan rencana zonasi pesisir di tingkat Provinsi, yakni Jawa Timur.

Dalam UU ini potensi abuse of power oleh pemimpin daerah juga bisa dipergunakan dengan dalih kepentingan wilayah. "Pada Pasal 14 ayat (4-7) diatur mekanisme koordinasi antar pemimpin pemerintahan, mulai dari tingkat kabupaten/kota hingga provinsi. Frase "untuk diketahui", "jangka waktu 30 hari kerja", "tidak dipenuhi", dan "diberlakukan secara definitif" menunjukkan model koordinasi yang setengah hati," imbuh Halim.

Menurutnya akses seluas-seluas masyarakat adat yang diamanahkan dalam UU ini akan sulit dilakukan. Mengingat dalam beleid itu untuk menangkap ikan mereka harus mempunyai izin lokasi penangkapan. Masalahnya pemberian izin itu disamakan antara nelayan besar dan nelayan tradisional atau kecil.

Selain itu, kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat adat setempat mayoritas tidak berpendidikan tinggi harus berhadapan dengan para pemilik modal besar untuk mengelola wilayah mereka.

Persoalan lainnya yaitu ancaman kriminalisasi pidana dan denda bagi yang melanggar. Dalam UU itu juga disebutkan bahwa siapapun yang melanggar diancam hukum kurungan maksimal 4 tahun dan denda Rp 2 miliar. Jelas hal itu merupakan ancaman bagi masyarakat adat yang tinggal di wilayah tersebut yang disamakan fungsi dan perannya dengan para pemilik modal.

RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diketok palu oleh DPR Rabu (30/12) pekan lalu sebagai revisi atas UU Nomor 27 Tahun 2007.

Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan RI Sharif Cicip Sutardjo dalam Sidang Paripurna pekan lalu mengatakan perubahan revisi undang-undang itu sangat strategis untuk mengakomodir kepentingan masyarakat adat lokal di pulau-pulau kecil, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

"Sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan pasal 33 UUD 45 merupakan kekayaan alam yang dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Artinya, semua ini berarti, UU Nomor 27 menjamin akses masyarakat yang bermukim di pulau kecil," katanya.

Sharif menambahkan pemberdayaan masyarakat adat termasuk nelayan kecil itu ditandai dengan masuknya unsur masyarakat dalam inisiasi penyusunan rencana zonasi setara dengan pemerintah dan dunia usaha. Termasuk untuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat serta hak-hak tradisionalnya.


BACA JUGA: