Jakarta, GRESNEWS.COM - Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Periode 2008-2013 Abdul Haris Semendawai meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera merevisi UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

"Kami sudah memulai untuk meminta revisi UU tersebut sejak 2010. Terbukti melalui negosiasi dengan anggota dewan, revisi UU tersebut masuk ke Prolegnas 2013," kata Haris, di Jakarta, Jumat (18/10).

Haris menjelaskan, revisi UU tersebut merupakan kehendak dari anggota dewan karena dengan revisi tersebut merupakan jalan keluar dari hambatan-hambatan yang dialami LPSK.

Menurut Harris, hambatan-hambatan yang dialami oleh LPSK sudah berlangsung sejak tahun 2008 pada saat terbentuknya LPSK. Dia menambahkan pada saat itu LPSK belum mempunyai staf, belum mempunyai sarana dan prasarana, belum mempunyai anggaran.

Kemudian pada 2009, LPSK baru memiliki satu PNS dan beberapa personel yang berpengalaman di LSM. "Sehingga untuk anggaran di tahun awal kami, kami dibiayai oleh Partnership. Boleh dibilang selama satu setengah tahun bergelut dengan kekurangan anggaran, sumber daya manusia dan fasilitas yang kurang," kata Harris.

Berjalannya LPSK selama dua tahun, Haris mengaku pekerjaan personel LPSK tidak jelas, bahkan dirinya pun selaku ketua LPSK mengerjakan dari hal yang paling kecil hingga yang paling besar. Kemudian dirinya mencoba membenahi LPSK dengan membuat tugas dan fungsi LPSK seperi Lembaga Pemerintahan skala nasional.

"Jadi kami bagi ada bagian kedisplinan, mekanisme kerja, kemudian pengelolaan informasi publik. Kami coba mengikuti seperti organisasi nasional yang bekerja karena sistem," kata Haris.

Namun lagi-lagi meskipun Haris mencoba memperbaiki sistem dan administrasi LPSK, kekurangan sumber daya manusia menjadi kelemahan LPSK. Kekurangan sumber daya manusia tidak diimbangi dengan jumlah kasus permohonan kepada LPSK setiap tahunnya.

"Saat ini LPSK memiliki sebanyak 150 orang yang tersdiri dari 20 PNS, 7 orang yang menjaga posisi struktural, sisanya staf PNS biasa dan pramu bakti," kata Haris.

Sejak tahun 2008-2009, LPSK menerima lebih dari 64 permohonan. Kemudian meningkat di tahun 2010 menerima 140 laporan kasus, tahun 2011 menerima 300 laporan kasus, tahun 2012 menerima laporan sebanyak 650 kasus dan hingga bulan Oktober 2013 menerima 1500 kasus. "Jadi pegawai itu bekerja dari Senin sampai Minggu. Sudah seperti Superman," kata Haris.

Kemudian secara sarana dan prasarana, Haris menilai kantornya di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat sudah tidak memadai sebagai Kantor LPSK, sehingga mendorong anggota LPSK mencari tanah kosong seluas 600 meter seharga Rp 50 miliar di Jakarta Selatan.

"Jadi kami dapat anggaran untuk membeli tanah Rp 70 miliar. Kami tidak mengenal mark up, jadi sisa Rp 20 miliar kita kembalikan ke negara," kata Haris.

Maka dari itu, Haris berharap kepengurusan LPSK terbaru dapat terpilih di awal bulan November 2013. Nantinya sesama anggota akan menentukan posisi ketua dan wakil ketua.

"Dalam satu minggu awal November harus terpilih dan ditentukan sebagai Ketua dan Wakil Ketua tergantung dari kepercayaan dari anggota," kata Haris.

Koordinator Bidang Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan bahwa pemerintah dan DPR hanya setengah hati untuk membantu tugas LPSK sehingga LPSK sangat kesulitan dalam menyelesaikan beberapa kasus.

"LPSK itu tugasnya berat dan banyak yang harus dilakukan tapi tidak pernah mendapatkan bantuan yang berarti dari pemerintah," kata Emerson.

Emerson menjelaskan LPSK jilid pertama belum ada road map dan rencana strategis untuk jangka pendek maupun jangka menengah. Padahal rencana tersebut sangat penting terhadap kinerja LPSK.

"Akibatnya LPSK kerjanya tidak maksimal sehingga banyaknya keluhan yang disampaikan oleh saksi dan korban terhadap pelayanan LPSK," kata Emerson.

Tidak hanya itu, Emerson menilai LPSK jilid pertama sangat minim dalam jaringan antar lembaga mengingat nota kesepahaman atau kerjasama antar lembaga sangat minim. Ditambah lagi birokrasi yang berbelit-belit dalam permohonan bantuan dalam melakukan investigasi.

Maka dari itu, Emerson meminta kepada pemerintah untuk segera merevisi undang-undang perlindungan saksi dan korban agar dalam menjalankan fungsinya bisa mendorong optimalisasi kinerja perlindungan saksi dan korban.

"Kondisinya sudah sangat darurat dan mendesak. Peran LPSK harus diperbesar lagi demi memberikan bantuan dan perlindungan. Juga untuk penyelesaian kasus yang terjadi," kata Emerson.

(Heronimus Ronito/GN - 04)

BACA JUGA: