GRESNEWS.COM - Kalau RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) digegerkan oleh isu kumpul kebo, RUU Pemerintahan Daerah dihebohkan isu inovasi. Ya, inovasi, yang dalam pengertian tertentu dimaksudkan supaya ujung-ujungnya kepala daerah mendapatkan perlindungan dari jerat pidana melalui pasal mengenai inovasi pemerintahan.

´Barang´ itu sendiri tercantum dalam Pasal 260-269 RUU Pemerintahan Daerah versi tahun 2010.

Reslian Pardede dari  Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD) menilai minimnya gagasan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan akibat dari kekhawatiran pimpinan daerah untuk melakukan terobosan karena takut terlibat masalah hukum. Itu dia yang menjadi latar belakang munculnya pasal-pasal mengenai inovasi. "Sebelumnya tidak ada dalam undang-undang yang direvisi oleh RUU Pemda yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004," ujarnya di Jakarta, Minggu (7/4).

Reslian mengatakan permasalahan yang timbul adalah bagaimana mendorong inovasi pemerintah daerah karena beberapa pihak menengarai adanya keinginan pemerintah daerah melakukan inovasi akibat dari kasus hukum yang dihadapi kepala daerah atau pejabat daerah. Ya, dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR dan DPD, Rabu (6/2), Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan sekarang ini ada 524 daerah otonom, dari jumlah itu, 290 kepala daerahnya sudah menjadi tersangka, terdakwa dan terpidana. Berarti  mayoritas atau 86 persen kepala daerah yang tersangkut masalah hukum karena terkait korupsi.

"Di satu pihak, semangat RUU Pemda untuk mendorong inovasi patut dihargai, tidak dapat dipungkiri peningkatan pelayanan publik memerlukan terobosan dan inovasi, cara-cara biasa atau sekadarnya tidak lagi memadai," terangnya.

Banyak daerah, kata Reslian, yang telah melakukan inovasi, namun upaya mendorong inovasi dengan mengaturnya melalui undang-undang memiliki potensi menghambat inovasi bahkan menciptakan ketidakpastian hukum.

Sementara itu menurut Direktur Advokasi dan Monitoring Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri, dalam Pasal 269 RUU Pemda menyebutkan dalam hal pelaksanaan inovasi yang telah menjadi kebijakan Pemerintah Daerah dan inovasi tersebut tidak mencapai sasaran yang telah ditetapkan, aparatur daerah tidak dapat dipidana.

"Jelas pasal ini menimbulkan penafsiran yang membingungkan. Pertama, pasal 269 dari draft RUU Pemda sendiri sebenarnya tidak melindungi kepala daerah atas tindak pidana," ujarnya.

"Jika dicermati, pasal tersebut hanya terkait atas pencapaian sasaran dari inovasi yang telah, ditetapkan bukan aspek pidana atau tindakan tersebut," sambung Ronald.

Tidak tercapainya sasaran yang  telah ditetapkan, kata Ronald, lebih menyangkut soal kompetensi bukan soal pidana.

"Ini tampaknya hanya soal efektivitas yaitu sejauh mana suatu tindakan mencapai sasarannya. Tentu tidak mungkin menghukum pidana seseorang karena kekurangcakapan orang tersebut dalam mencapai sasaran," ucapnya.

Oleh karenanya kepala daerah tidak memerlukan perlindungan hukum atas kurangnya kompetensi yang dimilikinya.

Kedua, lanjut Ronald, pasal 269 ini bisa ditafsirkan sebagai pasal yang melindungi kepala daerah yang berinovasi dari tindak pidana. "Hal ini adalah penafsiran yang sangat berbahaya. Penafsiran seperti ini bisa menciptakan ketidakpastian hukum karena akan berbenturan dengan peraturan atau perundangan terkait pelanggaran pidana oleh aparat daerah," tegasnya.

Sejauhmana suatu inovasi bisa dibebaskan dari tuntutan pidana jika ternyata ada indikasi korupsi? "Pembuktian seperti ini hanya bisa dilakukan kasus per kasus dan menjadi wewenang pengadilan," kata Ronald

Dia memandang bahwa penafsiran seperti ini tampak seperti memberi imunitas kepada aparat pemerintah daerah. Kita berharap bahwa aparat pemerintah daerah dilindungi dari tindak pidana meskipun itu atas nama inovasi. (DED/GN-02)

BACA JUGA: