Jakarta - Gerakan Indonesia Bersih (GIB) menuding Pemerintah menggunakan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Badan Intelijen Negara (BIN) secara represif untuk membungkam oposisi.

Juru Bicara GIB Adhie Massardi, Jumat (11/11), di Jakarta, memberikan bukti keterlibatan (intelijen) TNI dalam menangani demonstrasi mahasiswa dan kelompok masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARuP), saat memperingati Hari Pahlawan 10 November lalu.
 
Para aktivis ARuP yang menggelar aksi damai di Hari Pahlawan di Bundaran HI dan berakhir di areal patung Jenderal Sudirman di mulut Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, itu berjalan lancar dan aman.
 
Bahkan agar tidak mengganggu arus lalu lintas pada jam pulang kerja, setelah beberapa aktivis selesai memasang baliho pada keempat sisi voetstuk (penyangga) patung, mereka membubarkan diri dengan tertib tepat pukul 16.00 WIB.
 
“Agar tidak terjadi konflik dengan aparat soal baliho yang dipasang di patung Sudirman, kami juga sudah melakukan koordinasi dengan petugas. Biar kami besok pagi yang akan menurunkannya,” ujar Yosef Sampurna Nggarang (Yos), aktivis yang bersama beberapa rekannya memanjat patung dan memasang baliho.
 
Tapi pada sekitar pukul 18.30 WIB, beberapa anggota Satpol PP dari Kecamatan Tanah Abang menurunkan paksa keempat baliho yang masing-masing bertuliskan: (1) “Anak-anaku, Tentara Indonesia, aku tidak mau berdiri di sini dan terus menghormat pada penguasa korup yang di sana!” (2) “Tentara Indonesia, kamu bukanlah serdadu sewaan penjaga kekuasaan yang korup! Tapi prajurit yang berideologi!” (3) “Kalau ada jenderal pembohong dan pengkhianat Sapta Marga, harus segera disingkirkan!” dan (4) “Hey SBY, jangan bikin malu tentara. Mundurlah secara ksatria. Saatnya mengembalikan mandat kepada rakyat…”
 
Menurut Yos, mula-mula mereka tidak mau menjawab siapa yang memerintahkan mereka menurunkan baliho-baliho itu. Baru setelah didesak, salah seorang di antara mereka akhirnya menyebut Walikota Jakpus yang memerintahkan pencopotan itu. Mereka lalu menyarankan untuk datang ke kantor Kecamatan Tanah Abang.
 
Tapi ketika esok harinya (11/11) Yos mendatangi kantor Kecamatan untuk mengambil baliho-baliho itu, ternyata sudah diambil Serka Paryanto (3910411000971) dari Detasemen Intelijen Kodam Jaya pada pukul 14.21. “Kami hanya bisa membawa pulang paralon penyangga baliho, sedang balihonya sudah diambil tentara,” kata Yos.
 
Keterangan aktivis ARuP Yos ini, menurut Adhie, membuktikan bahwa sebenarnya intelijen TNI (Kodam Jaya) yang berinduk ke BIN yang memerintahkan Walikota Jakpus untuk perlengkapan aksi para pengunjukrasa anti-pemerintah SBY-Boediono itu.
 
“Dalam istilah Jawa, TNI-BIN telah ‘nabok nyilih tangan’ atau lempar batu sembunyi tangan. Mereka masih malu-malu menjalankan perintah SBY. Tapi kalau hal ini tidak direspons dengan tegas, bukan mustahil BIN dan TNI benar-benar akan dihadapkan secara terbuka dengan kekuatan sipil (civil society) anti-korupsi penentang rezim SBY-Boediono,” ujar Adhie.
 
Adhie juga mengindikasikan beberapa aparat yang setiap hari mengawasi Rumah Perubahan 2.0 yang digagas tokoh perubahan DR Rizal Ramli, di kawasan komplek pertokoan Duta Merlin, Jakpus, bukan dari kepolisian, tapi dari BIN.
 
Makanya, agar tidak terjadi peristiwa seperti di era Orde Baru, di mana TNI digunakan penguasa untuk menindas rakyat, Adhie dan sejumlah aktivis akan mendatangi Kodam Jaya untuk minta baliho-baliho itu dikembalikan.
 
“Sebab mereka tidak punya hak mengambil semua itu. Kalau mau menyita sebagai barang bukti melawan rezim SBY, sebagaimana diatur dalam beberapa pasal karet UU Intelijen, ini sudah melampoi batas. Momentum ini akan kami pakai untuk melakukan uji materi UU itu ke Mahkamah Konstitusi. Kalau pasalnya mengganggu ketertiban umum, itu kan wewenang Polri,” tegas Adhie Massardi.

BACA JUGA: