JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana pemerintah untuk memberlakukan kebijakan 5 hari sekolah dengan 8 jam waktu sekolah dalam satu hari kembali memantik kontroversi. Warga Nahdlatul Ulama, yang sejak semula menentang kebijakan itu, kini semakin keras menentang niatan pemerintah untuk memberlakukan aturan tersebut.

Pengurus Besar Nadhatul Ulama (PBNU) kembali menegaskan tidak mau berkompromi dengan pemerintah soal sekolah lima hari yang Perpresnya sedang disusun. PBNU meminta pemerintah mencabut Peraturan Menteri (Permen) Dikbud soal sekolah 5 hari itu.

"Kami PBNU menolak keras, tidak ada kompromi, tidak ada dialog. Yang penting pemerintah mencabut permen sekolah lima hari," ujar Ketua PNBU Said Aqil Siroj di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Kamis (10/8).

Said mengatakan tidak akan hadir bila diundang untuk membahas sekolah 5 hari. Dia juga menyebut belum ada undangan kepadanya untuk membicarakan hal tersebut. "Saya diundang oleh siapapun kalau membahas tentang sekolah lima hari saya tidak akan datang. Saya yakin pemerintah tidak akan melaksanakan (sekolah lima hari). Saya yakin," ujarnya.

Menurut Said, salah satu alasannya menolak sekolah 5 hari karena akan mematikan pesantren. Padahal, selama ini pesantren sudah terbukti ikut membangun karakter bangsa. Bila pesantren dimatikan maka Islam Nusantara juga akan hilang.

"Kiai-kiai NU itu tidak ada yang ngajarin berkhianat, manipulasi, semua kiai pesantren NU pasti ngajarin solid, akur, gotong-royong, solidiritas dan toleran. Nggak ada kiai-kiai yang ngajarin ngebom, antiPancasila, ngajarin narkoba atau tawuran, nggak ada," ucapnya.

"Madrasah itu kalau digusur maka ada suatu yang sangat hilang dari Islam Nusantara yaitu ajaran-ajaran yang telah selama ini diterima ajaran oleh guru guru," imbuhnya.

Lalu apakah sikap PBNU ini mempengaruhi dukungan mereka pada Presiden Joko Widodo? "Sebenarnya NU nggak dukung-mendukung. Ini bukan masalah politik," tuturnya.

Said mengatakan sekolah lima hari akan mematikan keberadaan pesantren. Dengan hilangnya pesantren, dia khawatir akan menghadirkan generasi yang tidak mengerti akhlak.

"Permendikbud yang mau sekolah lima hari, yang katanya memperkuat karakter, justru akan kebalikannya. Karena anak-anak tidak bisa ngaji, tidak ngerti akhlak, tidak tahu sifat 20 (sifat Allah yang wajib diketahui umat muslim), karena cuma yang sekolah diniyah yang mengerti," kata Said.

"Kalau hafal sifat 20 tidak akan radikal. Kenapa radikal karena tidak tahu sifat 20. Kenapa tidak tahu sifat 20 karena tidak sekolah diniyah," lanjutnya.

Said menjamin bila sekolah 5 hari tetap diterapkan oleh pemerintah maka akan muncul generasi radikal ke depan. Bila nantinya muncul generasi itu, maka NU tidak akan bertanggungjawab. "Kalau dipaksa (sekolah lima hari), akan lahir generasi radikal dan NU tidak bertanggungjawab," ujarnya.

Said juga sudah dua kali bicara dengan Presiden Joko Widodo untuk menghapus kebijakan sekolah 5 hari. Karena itu, dia berharap Permendikbud tersebut segera dicabut. "Saya sudah bilang Presiden kalau tidak ada madrasah, anak-anak tidak kenal sifat 20. Sudah 2 kali saya ngomong ke Beliau," tuturnya.

Perkara penerapan kebijakan Full Day School juga ikut merembet ke urusan politik. Pasalnya Partai Kebangkitan Bangsa yang merupakan partainya kaum Nahdliyin, ikut bereaksi keras.PKB mengancam tak capreskan Presiden Jokowi jika menyetujui kebijakan ini.

"Jangan sampai teriakan kita dianggap teriakan biasa, ini teriakan serius. Kalau tidak dituruti presiden, kita ingin katakan bahwa Jokowi sudah tidak berpihak kepada diniyah, Jokowi sudah menipu umat Islam, Jokowi sudah tidak perlu kita pertahankan (buat) 2019," ujar Wasekjen PKB Maman Imanulhaq di The Acacia Hotel, Jl Kramat, Jakarta Pusat, Senin (7/8).

Menurut Maman, kebijakan sekolah 8 jam selama 5 hari ini menyangkut kepentingan umat. Kebijakan yang dikeluarkan melalui Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 ini dianggap mempengaruhi eksistensi Madrasah dan Pondok Pesantren (Pondok Pesantren).

Menurut Maman, perjuangan penolakan aturan ini tak boleh diabaikan. "Jangan sampai teriakan kita dianggap teriakan biasa, ini teriakan serius. Kalau tidak dituruti presiden, kita ingin katakan bahwa Jokowi sudah tidak berpihak kepada diniyah, Jokowi sudah menipu umat Islam, Jokowi sudah tidak perlu kita pertahankan (buat) 2019," ujar Maman.

Warga NU mengancam akan demo di depan Istana Negara jika kebijakan ini tak segera dicabut. Selain demo, mereka juga akan melakukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

DIPOLITISASI - Terkait masalah ini, PP Muhammadiyah menduga penolakan kebijakan ini lantaran dipolitisasi pihak-pihak berkepentingan. Mereka menilai agak berlebihan jika ada yang menyebut penerapan sekolah 8 jam Senin-Jumat mengancam keberadaan madrasah diniyah.

"Muhammadiyah melihat ada pihak tertentu yang mempolitisasi kebijakan sekolah lima hari. Agak berlebihan jika ada pihak-pihak yang terlalu mengkhawatirkan pelaksanaan sekolah lima hari, (yang disebut) akan mematikan madrasah diniyah," ujar Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu´ti kepada detikcom, Selasa (8/8).

Sementara itu, Mendikbud Muhadjir tidak mempersoalkan terkait penolakan dari PKB dan NU. Aspirasi masyarakat soal program tersebut akan ditampung dalam Peraturan Presiden (Perpres). Perpres yang saat ini masih digodok diperkirakan akan rampung pada bulan ini.

"Ya berbeda kan boleh. Sebentar lagi diganti dengan Perpres dengan menampung aspirasi yang berkembang," kata Muhadjir kepada wartawan di kantor Kemenko PMK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (8/8).

Hal senada juga disampaikan Direktur Maarif Institute Muhd Abdullah Darraz. Dia menyesalkan adanya polemik terkait dengan kebijakan sekolah delapan jam sehari dalam lima hari yang digagas Mendikbud Muhadjir Effendy. Darraz menyebut kebijakan yang tertuang dalam Permendikbud No 23 Tahun 2017 itu bukan kebijakan full day school.

"Permendikbud ini adalah kebijakan untuk memperkuat pendidikan karakter di sekolah. Kebijakan sekolah 8 jam adalah salah satu instrumen dari Program Penguatan Pendidikan Karakter dari Kemdikbud. Tujuannya adalah membangun karakter kebangsaan anak-anak pelajar. Program ini sangat penting memberikan ruang dan waktu lebih luas bagi pihak sekolah dan publik untuk secara kreatif menciptakan aktivitas sekolah yang lebih positif bagi pelajar," kata Darraz melalui keterangan tertulisnya, Kamis (10/8).

Darraz menyayangkan penolakan terhadap kebijakan tersebut kental akan nuansa politik. Padahal, menurut dia, kebijakan pendidikan tak elok jika dipolitisasi. "Kebijakan pendidikan bukanlah instrumen politik murahan untuk tawar-menawar politik. Tidak elok kebijakan pendidikan dijadikan alat politik oleh politisi ´tunavisi´," ujarnya.

"Kita menyesalkan politisasi terhadap kebijakan pendidikan seperti ini. Ini membuktikan peradaban politik kita berada di bawah titik nadir," sambung Darraz.

Darraz mengingatkan upaya pemerintah Jokowi memajukan pendidikan mesti mendapat apresiasi. Dia mengimbau para tokoh tak lagi berpolitik menggunakan Permendikbud ini.

"Bahwa kebijakan tentu memiliki kelemahan, mestilah direspons dengan bijak melalui saluran yang telah disediakan. Bukan dengan manuver pernyataan politik. Terlalu mahal masa depan pendidikan kita jika hanya menjadi bahan politisasi politisi-politisi yang berpandangan pendek," tuturnya.

TIDAK WAJIB - Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, tidak ada keharusan bagi sekolah-sekolah di seluruh Indonesia untuk menerapkan lima hari sekolah atau yang sering disebut Full Day School (FDS). Namun bagi sekolah-sekolah yang sudah memberlakukan aturan lima hari sekolah, lanjut Presiden, untuk dipersilakan melanjutkan.

"Jadi perlu saya tegaskan, perlu saya sampaikan bahwa tidak ada keharusan untuk lima hari sekolah, jadi tidak ada keharusan FDS," kata Presiden Jokowi usai menerima Jamiyah Batak Muslim Indonesia, di Istana Merdeka Jakarta, Kamis (10/8) sore, seperti dikutip setkab.go.id.

Pernyataan Jokowi itu secara tidak langsung menanggapi protes yang disampaikan berbagai pihak atas munculnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 23 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, yang mengatur kebijakan 8 jam sekolah selama lima hari dalam satu pekan atau full day school.

Permendikbud tersebut dianggap memaksa anak-anak berada di sekolah terlalu lama sehingga menghalangi murid untuk melakukan kegiatan lain. Salah satu protes datang dari Nahdlatul Ulama yang merasa peraturan itu mencegah murid mengambil pendidikan agama (pengajian) di madrasah pada sore harinya.

Namun Jokowi menegaskan, faktor kesiapan tiap sekolah yang berbeda-beda menjadi penentu apakah sekolah tersebut siap untuk menerapkan full day school. "Karena ada (sekolah) yang siap ada yang belum. Ada yang sudah bisa menerima ada yang belum. Kita harus tahu yang di bawah seperti apa," ungkap Jokowi.

Jika ada sekolah yang sudah lama melakukan sekolah lima hari dan didukung oleh masyarakat, ulama, dan orang tua murid, Jokowi mempersilakan (menerapkan full day school). Terkait Permendikbud No. 23 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter itu sendiri, menurut Jokowi, telah diganti dengan Peraturan Presiden (Perpres). (dtc)

BACA JUGA: