JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penembakan satu keluarga yang mengendarai mobil di Lubuklinggau Sumatera Selatan oleh polisi menunjukkan reformasi di tubuh Kepolisian RI belum berjalan optimal. Anggota polisi yang melakukan penembakan kearah mobil tersebut telah melanggar Perkapolri Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Perkapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;

"Tidak ada hak polisi menyabut nyawa manusia dengan timah panas yang dibeli dari pajak rakyat yang juga dibayar oleh korban penembakan," kata Totok Yulianto Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (BPN PBHI) dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Jumat (21/4).

Menurutnya polri wajib menindak tegas dengan mengevaluasi para penembak tak berotak dengan alasan apapun hingga menyebabkan hilangnya nyawa warga negara. Hasil evaluasi wajib menyelesaikan kasus ini dengan pemecatan dan hukuman penjara tanpa pembelaan oleh pihak polri. Jangan sampai polri membela anggotanya dan menolak putusan pengadilan.

Ia juga meminta polri tidak boleh melakukan tindakan "pendinginan" dengan cara sok sosial dan humanis. Komunikasi yang wajib dilalui adalah jalur proses pengadilan dan penuhi putusan pengadilan tanpa ada upaya penolakan, sebagai penegak hukum wajib menegakkan hukum walaupun langit harus runtuh;

Totok menambahkan Perkapolri Nomor 1 tahun 2009 jo Perkapolri Nomor 8 tahun 2009 wajib direvisi dengan ketentuan teknis serta penjelasan penggunaan senjata api untuk mengurangi potensi penyalahgunaan senjata untuk membunuh yang kemudian dikatakan khilaf atau retorika belaka.

"Kami meminta Presiden Jokowi menunjukkan rasa kemanusiaannya, dan tidak membiarkan kejadian tersebut, kami butuh reformasi polri secepatnya," ungkapnya.

ALASAN PENEMBAKAN MOBIL - Brigadir K, anggota Polres Lubuklinggau, Sumatera Selatan, yang menembaki mobil Honda City dan mengakibatkan 1 orang tewas, ditetapkan sebagai tersangka hari ini. Dia buka suara soal alasan menembaki mobil tersebut.

"Pengakuannya, dia ingin menghentikan mobil itu," kata Kapolda Sumsel Irjen Agung Budi Maryoto, Jumat (21/4) malam.

Ternyata, kata Agung, sampai beberapa kali tembakan, mobil Honda City yang ditumpangi delapan orang tak juga berhenti. Akhirnya dengan menggunakan senjata laras panjang, Brigadir K terus menembak hingga 7 kali.

Peluru Brigadir K menyasar ke mana-mana. Salah satu penumpang, Surini (54) tewas dengan luka tembak di dada, perut, dan paha. Sedangkan beberapa penumpang lain terluka, termasuk satu anak berusia 3 tahun yang terkena rekoset (pantulan) peluru.

"Dari keterangan saksi, sopir kabur karena tak punya SIM. Alasan kedua, pelat mobilnya palsu. Yang terpasang pelat BG, tapi aslinya B," jelas Agung yang juga mantan Kakorlantas Mabes Polri ini.

Kepolisian masih menyelidiki kepemilikan mobil tersebut. "Apakah betul-betul dibeli atau apakah hal lain, masih kami telusuri," jelas Agung.

Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar menyoroti penggunaan senjata api laras panjang SS1-V2 dalam insiden penembakan satu keluarga penumpang mobil Honda City di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Dalam konteks razia, penggunaan senpi laras panjang dinilai tidak wajar.

"(Penggunaan senpi laras panjang) tidak wajar dalam sebuah razia lalu lintas," ujar Bambang, Kamis (20/4).

Menembak adalah salah satu kewenangan diskresi yang melekat kepada anggota kepolisian. Tetapi, menurut dosen di Universitas Indonesia (UI) ini, seorang polisi harus punya penilaian yang tepat sebelum mengambil tindakan represif (menembak).

"Bekerja pakai nalar, ada bahaya yang mengancam dirinya dan tindakannya tidak membahayakan orang lain atau menyebabkan kematian," ucap Bambang.

Ia menambahkan polisi diberi kewenangan memegang senjata api untuk melindungi diri dari serangan pelaku kejahatan. "Polisi dikasih pistol itu bukan untuk mencederai/membunuh orang, tetapi untuk membela diri jika dirinya terancam dalam tugas," katanya.

Ia mendesak Polri mengusut tuntas peristiwa tersebut. Ia juga mendesak Polri memberikan tindakan tegas kepada Brigadir K karena tindakannya telah menghilangkan nyawa satu orang dan beberapa lainnya mengalami luka tembak.

"Usut kasus itu sebagai tindak pidana dan diberikan hukuman yang sesuai dengan hukum. Kalau dilindungi, hal itu bisa menyebabkan polisi bertindak sewenang-wenang," ujarnya.

Bambang juga menyebut penembakan oleh Brigadir K terhadap mobil Honda City sebagai tindakan brutal. Menanggapi itu, Polri akan segera melakukan evaluasi.

"Memang ada yang perlu dievaluasi dalam bertindak di lapangan," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Rikwanto kepada detikcom, Kamis (20/4).

Sebelumnya, Rikwanto juga mengatakan penembakan yang dilakukan oleh Brigadir K terlalu cepat. Seharusnya masih ada waktu untuk menilai apakah kondisi itu mengancam petugas atau tidak.

Evaluasi itu pun akan dilakukan agar petugas tidak lagi salah dalam menilai situasi. "(Evaluasi) agar tidak salah menilai situasi dan tidak berlebihan dalam bertindak," kata Rikwanto.

Menurut Bambang, insiden tersebut terjadi karena kurangnya pembinaan dari atasan, sehingga anggota bertindak represif.

"Tindakan brutal itu terjadi karena kurangnya pembinaan dari atasan dan bisa jadi karena ada arahan yang mengutamakan tindakan represif dalam pelaksanaan tugas, bukan mengutamakan tindakan preventif," ujar Bambang dalam perbincangan dengan detikcom, hari ini.

Kebrutalan Brigadir K ini perlu mendapat perhatian serius. Menurutnya, Presiden Joko Widodo juga harus menyampaikan sikap kepada Kapolri Jenderal Tito Karnavian terkait dengan insiden tersebut.

"Masalah brutalitas polisi perlu mendapat perhatian dari Presiden dan (Presiden, red) harus menegur Kapolri atas kejadian di Lubuk Linggau tersebut," ucapnya. (dtc/mfb)

BACA JUGA: