JAKARTA, GRESNEWS.COM — Tudingan Antasari Azhar bahwa Susilo Bambang Yudhoyono merupakan aktor yang menjebloskan dirinya ke penjara, membuat kubu Cikeas gerah. Hal itulah yang kemudian menyebabkan SBY meluapkan uneg-unegnya baik di media sosial maupun lewat konferensi pers. "Serangan ini diluncurkan satu hari sebelum pemungutan suara Pilkada DKI, sulit untuk tidak mengatakan fitnah ini terkait langsung dengan Pilkada," kata SBY, Selasa (14/2).

Menanggapi hal itu, pakar komunikasi politik Emrus Sihombing menilai, persoalan Antasari baru bicara sekarang memang tidak bisa dilepaskan dari konteks. Namun bukan konteks Pilkada. Menurutnya, bahwa Antasari baru bicara sekarang, hal itu tentu dengan pertimbangan bahwa situasi saat ini lebih memungkinkan ketimbang situasinya beberapa tahun lalu.

"Saat ini rezim sudah berubah. Pak Antasari mungkin punya pertimbangan bahwa inilah saatnya untuk bicara terang-terangan," kata Emrus kepada gresnews.com, Rabu (15/2).

Antasari sendiri menyebut dirinya memilih bicara pada tanggal 14 karena tanggal itu sama dengan tanggal ditembaknya Nasrudin Zulkarnaen (14 Maret 2009—red). Namun demikian, meski secara pribadi Emrus mendukung Antasari untuk mengungkapkan semua hal yang dia pendam sejak lama, lebih-lebih dalam kaitannya dengan perasaan adanya ketidakadilan hukum yang dialami oleh eks pimpinan KPK itu, Emrus juga mengingatkan agar Antasari bisa mempertanggunjawabkan ucapannya sendiri.

"Pernyataan Antasari adalah ungkapan atas proses hukum yang selama ini dia lalui. Dia menyebut dirinya dizolimi. Nah, sekarang tinggal dibuktikan omongannya benar atau tidak. Kalau tidak benar, akan jadi kebohongan publik dan itu sekaligus menjadi bumerang bagi Antasari. Namun jika dia benar, ini pelajaran berharga bagi suatu rezim agar tidak menzalimi seseorang saat rezim itu berkuasa," papar Emrus.

Terlepas dari persoalan Antasari, Emrus menyayangkan sikap SBY akhir-akhir ini. Menurutnya, SBY kerap bersikap terlalu reaksioner dalam menyikapi setiap persoalan yang langsung tidak langsung menyeret namanya akhir-akhir ini. Menurut akademisi Universitas Pelita Harapan itu, SBY semestinya bisa membedakan mana hal-hal yang harus dia sampaikan di ruang publik dan mana hal-hal yang cukup dia komunikasikan di ruang privatnya sendiri. Apalagi dalam kapasitasnya sebagai pemimpin partai politik, SBY, sambung Emrus, harus punya kemampuan untuk menakar gate keeping process atau kemampuan "menjaga gawang".

"Bahwa dia menyebut dirinya tidak mendapat keadilan—dalam twitnya beberapa waktu belakangan— ya tinggal laporkan ke polisi, gunakan proses hukum yang berlaku," kata Emrus.

Emrus menjelaskan, saat SBY menyampaikan apa pun di media sosial, itu merupakan hak pribadinya. Tapi selaku seorang pemimpin partai, Emrus menilai SBY harus memiliki kemampuan menjaga gawang. "Dia harus memilah mana yang harus disampaikan mana yang tidak. Artinya, seorang pemimpin harus punya kedewasaan berkomunikasi," sambung Emrus.

Lantaran itulah Emrus menyarankan, ke depan, siapa pun yang pernah menjadi presiden atau wakil presiden, sebisa mungkin tidak kembali turun gunung menjadi pemimpin partai setelah dirinya lengser. Meskipun hal itu merupakan hak konstitusional mantan presiden maupun wakil presiden, Emrus justru melihatnya sebagai batu penghalang bagi yang bersangkutan andai hendak mencapai level negarawan.

"Saat dia jadi pemimpin partai, perilaku politiknya tidak akan terhindarkan. Padahal, dia sudah menjadi pemimpin kita sebelumnya. Seharusnya dia terus berpikir untuk bangsa dan negara. Bukan untuk partai lagi," kata Emrus.

Terakhir, Emrus menyarankan agar SBY yang kerap terkesan reaksioner di media sosial, mulai mempertimbangkan adanya penasehat komunikasi tiap kali hendak menyampaikan sesuatu kepada publik. Menurutnya, hal itu penting agar reaksi netizen yang kerap tidak produktif, misal melakukan bullying atau mengumbar meme dengan nada memojokkan, bisa dihindari.

"Saya melihat bahwa SBY perlu didampingi penasehat komunikasi supaya perilaku-perilaku komunikasinya ke depan lebih produktif, lebih negarawan, dan lebih menguntungkan perjuangan politik beliau sendiri," pungkasnya.

TINDAKAN WAJAR — Dalam konteks konflik terbuka SBY-Antasari ini, Anggota Tim Kuasa Hukum SBY, Ferdinand Hutahaean, menerangkan, pendapat SBY terlalu reaksioner, tidaklah tepat. Menurutnya, dalam konteks pernyataan Antasari, SBY memang seharusnya bereaksi. "Bagaimanapun, tuduhan Antasari adalah sesuatu yang sangat serius dan berbahaya andai didiamkan terus menerus," kata Ferdinand kepada gresnews.com, Rabu (15/2).

Ferdinand menjelaskan, dalam pernyataan-pernyataannya, Antasari dengan jelas telah mempersepsikan dan menuduh SBY berada di balik kasus yang menjeratnya ke ruang tahanan. “Bahwa SBY adalah pihak yang merekayasa dan mengkriminalisasi Antasari sehingga menjadi terpidana 18 tahun, itu semua tidak benar,” tegas Ferdinand.

Ferdinand pun menyebut, SBY telah bertindak benar dengan segera meresponsnya baik dengan langkah personal yang dinilai sarat muatan politis, maupun langkah hukum. Menurut Ferdinand, andai SBY membiarkan pernyataan-pernyataan Antasari, hal itulah yang justru akan membuat publik menilai bahwa Antasari benar dan diamnya SBY merupakan bukti rasa takutnya.

Oleh karena itulah SBY bereaksi, mengambil langkah hukum secepatnya, sebagai jawaban kepada publik bahwa apa yang disampaikan Antasari tidaklah benar. "Meski SBY diharapkan banyak pihak berperilaku laiknya negarawan, tapi dalam merespons pernyataan Antasari sikap SBY sudah benar dan wajar. Saat itu beliau adalah presiden RI. Masak seorang presiden merekayasa pembunuhan seperti itu hanya untuk mencelakai Antasari? Saya pikir terlalu jauh asumsi Antasari itu," kata Ferdinand.

Terakhir, Ferdinand menyebut, SBY kerap menyampaikan pendapatnya dalam berbagai forum—baik konferensi pers maupun ciutan di akun twitter pribadinya—hal itu dilakukan semata demi memenuhi hak dan tanggung jawabnya dalam melindungi nama baik SBY sendiri maupun nama baik keluarganya. "Artinya, tindakan itu sudah sangat tepat dia lakukan," pungkas Ferdinand.

Sebelumnya, pihak SBY sendiri menyebut bahwa ada kekuatan besar di balik pernyataan Antasari yang menyudutkan dirinya. "Yg saya perkirakan terjadi. Nampaknya grasi kpd Antasari punya motif politik & ada misi utk serang & diskreditkan saya (SBY)," kata SBY lewat akun twitternya, Selasa (14/2).

DIBUKTIKAN DI JALUR HUKUM - Terkait hal itu, Pakar Komunikasi Politik Universitas Airlangga Suko Widodo menilai, anggapan bahwa ada kekuatan besar di balik pernyataan Antasari Azhar tidak bisa sepenuhnya dibuktikan. Menurutnya, tanpa ada pihak lain sekalipun seorang Antasari Azhar adalah sosok yang besar. Lantaran hal itulah Suko berpendapat, terlepas dari ada-tidaknya kekuatan di balik kedatangan Antasari ke Bareskrim Polri pada Selasa (14/2) lalu, Antasari adalah sosok yang berani.

"Saya tidak tahu apakah di belakang Pak Antasari ada kekuatan lain atau tidak. Tapi saya melihat, dalam diri Antasari sendiri ada kekuatan pribadi yang cukup besar sehingga dia berani bicara seperti itu. Tapi, bisa juga di balik kekuatan pribadi itu memang ada relasi-relasi lain yang juga mendukungnya," kata Suko, Selasa (14/2).

Lantaran itulah Suko berpendapat, persoalan Antasari vs SBY akan lebih jernih jika disikapi semata sebagai persoalan hukum, alih-alih persoalan politik. Sebagai persoalan hukum, kedua pihak masing-masing sudah menyambangi Bareskrim Polri untuk mencari penyelesaian. Atas pernyataan-pernyataannya di Bareskrim, Antasari sendiri sudah dilapokan balik oleh pihak SBY dengan sangkaan melanggar Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang fitnah dan pencemaran nama baik.

"Kasus hukum ini jangan ditimpali dengan kepentingan politik yang membuat itu makin runyam. Dalam pandangan saya, tinggal disodorkan saja bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan kedua belah pihak untuk meyakinkan publik siapa yang benar. Publik harus mendapat kecukupan informasi untuk mengetahui kebenaran yang sebenarnya," sambung Suko.

Diminta pendapat mengenai reaksi SBY, Suko tidak bisa menyalahkan sikap SBY yang dinilai orang terlalu reaksioner. Menurutnya, sikap seperti itu merupakan hak personal seorang SBY yang mau tidak mau harus dihormati semua kalangan. "Kita tidak bisa meminta SBY untuk bersikap begini atau begitu," katanya.

Terakhir, Suko berharap, di era keterbukaan informasi seperti sekarang, kasus-kasus yang dirasa berujung pada rahasia—-katakanlah misalnya kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yang kemudian menyeret nama Antasari Azhar sebagai terdakwa—-harus bisa diungkap ke publik kebenarannya. Karena itu, Suko berharap baik Antasari maupun SBY bisa sama-sama menjadi teladan untuk mengungkapkan kondisi sebenarnya.

"Jika tidak, kasihan generasi mendatang tidak akan menemukan kebenaran sejati akan sejarah-sejarah masa lalu bangsanya. Jadi masalah ini harus dibuka kepada publik dengan cara-cara yang rasional dan bisa dipertanggungjawabkan," pungkasnya. (Gresnews.com/Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: