JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi bak dagelan politik. Pasalnya, para anggota dewan tampak terlalu serius membahas persoalan ambang batas suara agar partai bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshlod) pada Pemilu 2019 mendatang.

Pembahahasan presidential threshold ini sejatinya merupakan sebuah pepesan kosong mengingat aturan presidential threshold sudah tidak relevan lagi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pemilu 2019 digelar secara serentak.

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra bahkan menilai, pembahasan aturan tersebut terkesan hanya akal-akalan untuk membatasi partisipasi masyarakat untuk maju sebagai calon presiden. "Dengan putusan MK bahwa pemilu serentak, setiap peserta pemilu berhak mengajukan calon presiden tanpa ada pembatasan bahwa parpol harus ada di parlemen," ujar Yusril beberapa waktu lalu.

Yusril mempertanyakan alasan pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang memasukkan pasal presidential threshold tersebut di RUU Pemilu. Putusan MK terkait syarat pencapresan, menurut Yusril intinya kembali ke pasal di dalam UUD 1945 bahwa pasangan capres dan cawapres diusulkan oleh parpol peserta pemilu sebelum pemilu dilaksanakan.

"Jadi, intinya hanya ada satu syarat saja, yakni capres-cawapres diajukan parpol. Apa yang diinginkan Kemendagri itu tidak ada dasar logika hukumnya. Kalau nanti diajukan uji materi ke MK pasti akan rontok juga. MK pasti akan konsisten dengan putusannya," kata Yusril.

Pemerintah dalam draf RUU Pemilu memang masih mematok angka 20 persen jumlah kursi di DPR dan atau 25 persen dari jumlah perolehan suara di pemilu untuk presidential threshold. Angka 20 persen ini kemudian menjadi bahan perdebatan sengit antar fraksi di DPR.

Terkait masalah ini, Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang mengatakan, Undang-Undang Pemilu yang dihasilkan DPR selama ini tidak visioner. Alhasil selalu ada ruang membukanya kembali melalui revisi sesuai kebutuhan kepentingan partai politik.

"Setiap mengubah UU kita mengubah sistem. Setiap itu juga terjadi kompromi politik karena itu paket UU politik tidak visioner mestinya dibuat melampui agenda jangka pendek pemain politik," ujar Sebastian Salang dalam diskusi yang bertajuk "Presidential Treshold di Pemilu Serentak: Ada-Ada saja", di Kantor Formappi di Matraman, Jakarta Pusat, Kamis (19/1).

Revisi yang tengah dibahas DPR sekarang, kata Sebastian, juga tidak mendiskusikan secara serius desain pemilu yang baik. Upaya partai kecil mempertahankan angka 0 persen untuk presidential threshold diduga hanya untuk memperkuat posisi tawar partainya untuk bernegosiasi menurunkan angka parliament threshold atau ambang batas perolehan suara agar bisa masuk DPR.

Dia beralasan, perdebatan dalam RUU ini tidak menyentuh pada substansi persoalan untuk memperbaiki sistem pemilu, seperti format koalisi dan sistem politik. Yang muncul adalah soal kepentingan parpol tentang angka dan presidential threshold yang menurutnya sudah tidak relevan lagi untuk dibahas.

"Kalau dua kutub (partai kecil dan partai besar) ini saling berdebat angka ini maka arahnya adalah agar parliament threshold tidak dinaikkan. Pada titik tetentu terjadi kompromi. Karena yang paling mengancam parpol itu adalah parliemant threshold," ungkapnya.

Berbeda dengan Sebastian, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti justru ingin keluar dari discourse angka  presidential threshold yang menjadi concern fraksi-fraksi di DPR. Ray mendorong revisi UU ini dijadikan momentum untuk memperbaiki kultur demokrasi sebagai fondasi memperbaiki sistem Pemilu.

Selama reformasi, sistem pemilu yang dibangun hanya semu, karena fondasi kulturnya tidak pernah diperbaiki secara serius. Revisi UU memang memiliki tujuan ideal seperti memperkuat sistem presidensil. Tapi kenyataannya, Ray melihat revisi di"akal-akali" untuk mengamankan kepentingan Parpol, sementara kulturnya tidak pernah berubah.

"Kita ubah dulu kultur pada partai politik baru kita perbaiki sistemnya. Dinasti tidak hilang, oligarki politik, bagaimana mana menolaknya. Karena memang kultur politik kita belum diperbaiki," keluh Ray.

MINUS KETERLIBATAN PUBLIK - Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow juga melihat banyak kelemahan ketika DPR yang sedang berusaha mempertahankan angka presidential threshold. Menurut Jeirry sudah tidak relevan mempertahankan PT ketika telah dilakukan sistem Pemilu serentak yang akan dilaksanakan pada 2019.

Jeirry menekankan pada partisipasi warga dalam desain pemilu yang sedang direvisi DPR. Sejauh ini, Jeirry tidak melihat adanya upaya partai politik untuk mengakomodir kepentingan masyarakat kedalam sistem Pemilu, padahal masyarakat memiliki kedaulatan dalam pemilu untuk menentukan pilihan pemimpinnya.

Indonesia sebagai negara yang beragam, imbuh Jeirry, seharusnya sistem pemilu mengakomodir keragaman itu untuk juga dapat memberikan aspirasinya. Sementara kalau presidential threshold masih tetap dilakukan, peluang munculnya calon presiden alternatif pun masih tidak memungkin.

"Revisi hanya berdasarkan kepentingan DPR. ini yang membuat revisi UU tidak pernah mengarah kepada perbaikan tapi sesuai selera DPR saja," ujar Jeirry.

Lebih lanjut dia mengungkapkan, tidak ada relevansinya mempertahankan angka presidential threshold ketika sistem Pemilu diberlakukan sistem pemilu serentak. Dia menilai, kalau angka PT tetap 20 persen maka kemunculan calon presiden yang alternatif tidak pernah terbuka. Akibatnya, pencalonan presiden ke depan tetap dimonopoli oleh partai-partai besar yang memiliki cost politik yang relatif lebih kuat.

Sementara itu, keragamanan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia belum terakomodir dengan baik. Dia melihat akan lebih baik ketika calon presiden makin banyak, seperti yang menjadi kekhawatiran parpol kalau tidak diberlakukan presidential threshold.

"Jadi tidak apa apa kalau banyak calon presiden. Itu juga pembatasan bagi kemunculan presiden untuk dimunculkan. Itu juga alasan kelemehan angka presidential threshold yang diajukan," kata Jeirry.

Pembicara yang lain dari Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) Erik Kurniawan juga mengkritik upaya sebagian DPR yang berupaya mempertahankan angka presidential threshold. Menurut Erik, kalau pemilu dilakukan serentak maka, maka secara politik format koalisi sudah dapat dilakukan tanpa melihat perolehan suara parlemen.

Dengan begitu, upaya untuk memperkuat sistem presidensil lebih tepat mengingat koalisi tidak perlu lagi mencari parpol untuk berkoalisi karena kesepakatan koalisi telah dicapai sejak pencalonan presiden. Bahkan, koalisi seperti itu lebih efektif karena tidak ada  tawar menawar untuk masuk ke koalisi tetapi motif koalisi lebih berdasarkan kesamaan gagasan, platform dan ideologis.

"Kalau modal koalisi bukan berdasarkan perolehan kursi tapi pada visi misinya. Power sharingnya tetap ada tetapi itu tidak dominan," kata Erik. Dalam sistem Pemilu sekarang, ikatan koalisi lebih didasarkan pada perolehan kursi di parlemen, potensi transaksional pun semakin terbuka karena pemilu legislatif dilakukan secara bersamaan.

TETAP PENTING - Meski secara hukum dinilai tak lagi penting, toh partai-partai politik tetap ngotot pembahasan presidential threshold tetap harus dilakukan. Partai Golkar menganggap ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold masih tetap dibutuhkan. Oleh sebab itu, Golkar tidak setuju dengan usulan beberapa partai agar presidential threshold 0%.

"Kalau presidential threshold bagi Partai Golkar, ambang batas atau syarat mencalonkan presiden dan wakil presiden, kita setuju dengan usulan pemerintah, dengan yang lama. Jumlahnya 25 persen suara nasional dan 20 persen dukungan suara," ujar Anggota Pansus RUU Pemilu dari Fraksi Partai Golkar, Rambe Kamarulzaman di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (18/1).

Menurut Rambe, di dalam UUD 45 telah jelas disebutkan ada kalimat calon presiden diusung dari partai politik atau gabungan parpol. Dengan demikian, UU Pemilu yang sedang disusun tidak boleh bertentangan. "Pasal 6A UUD menyatakan ada kata-kata gabungan. Jadi partai politik yang mencalonkan itu, parpol atau gabungan parpol. Di sini ada kata kata gabungan, ada ukuran kuantitatif dan dicalonkan sebelum pemilu dilakukan," jelasnya.

Sekali lagi Golkar menekankan aturan ambang batas pencalonan presiden harus tetap ada karena sesuai UUD. Jika mau dihilangkan, Golkar menyarankan pihak-pihak untuk mengubah UUD. "Presidential threshold harus tetap ada karena itu sesuai UUD. Kalau enggak, ya ubah saja UUD. Golkar boleh beda pendapat dengan fraksi lain. Kepentingan bangsa negara harus dikedepankan dari kepentingan partai," pungkas Rambe.

PDIP juga menolak wacana penghapusan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold menjadi nol persen. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyebut presidential threshold penting untuk menguatkan sistem pemerintahan.

"Presidential threshold bagi kami sangat penting. Karena penguatan sistem presidensial akan terjadi apabila presiden juga didukung selain oleh suara rakyat juga didukung oleh kekuatan signifikan dari parlemen," kata Hasto.

Hasto mengatakan PDIP mendukung ambang batas presidential threshold sebesar 20 persen. Dengan angka tersebut presiden setidaknya sudah mengantongi dukungan dari gabungan atau koalisi partai pengusungnya di parlemen untuk menjalankan pemerintahannya.

"Syarat minimum 20 persen itu diperlukan. Sehingga presiden mendapatkan dukungan sekurang-kurangnya dari parlemen untuk mampu memastikan pemerintahannya berjalan efektif, " jelas dia.

Dia juga memberikan gambaran tentang bagaimana pengalaman di masa awal pemerintahan Presiden Jokowi. Konsolidasi politik terhambat saat dukungan tidak mencapai 50 persen plus satu.

"Jadi pengalaman pak Jokowi kemarin, kita bisa melihat ketika dukungan tidak mencapai 50 persen plus satu, konsolidasi kan terhambat. Tidak menjalankan program-program pro rakyat. Setelah parpol seperti PAN ,PPP juga Golkar (bergabung dengan koalisi), baru menunjukkan efektivitas pemerintahan itu, " ujar Hasto.

Oleh karena itu Hasto menyebut ambang batas tersebut sangat penting. Dengan alasan tersebut Hasto menampik jika Presidential Threshold dianggap tidak konstitusional. "Sehingga kalau ada yang mengatakan bahwa presidential threshold itu tidak konstitusional, itu tidak benar. Kami katakan presidential threshold itu diperlukan untuk memastikan efektivitas (kerja) presiden dari parlemen," terang dia. (dtc)

BACA JUGA: