JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus pencopotan Komandan Komando Distrik Militer (Kodim) 06/03 Lebak Letkol Czi Ubaidilah, lantaran melatih anggota organisasi kemasyarakatan Front Pembela Islam (FPI), memunculkan kembali polemik soal program pelatihan bela negara. Wakil Ketua Komisi I DPR-RI, Tubagus Hasanuddin mengatakan, polemik bukan muncul semata karena kasus di Banten, melain sejak awal kemunculan program ini yaitu terkait anggaran dan payung hukum untuk melegitimasi program itu juga belum jelas.

Hasanuddin mengatakan, pada Oktober 2015 silam dirinya beberapa kali mengingatkan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertahanan dan Panglima TNI untuk mempertimbangkan kembali program bela negara. "Ada beberapa alasan mengapa rencana itu sulit dimengerti," kata Hasanuddin dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Selasa (10/1).

Pertama, sebut Hasanuddin, mengenai dasar hukum program bela negara yang belum lengkap. Sebab, bela negara baru ada dalam UUD 1945 Pasal 30 Ayat (1). Pasal tersebut menegaskan, tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan negara. Kemudian dalam Ayat (5) dijelaskan, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan diatur dengan UU.

"Kalaupun merujuk pada UU Nomor 3/2002 tentang Pertahanan Negara, hal itu agak sulit diterima. Karena, dalam Pasal 9 Ayat (3) disebutkan bahwa ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, dan pengabdian sesuai dengan profesi diatur dengan UU," ujar Hasanuddin.

Namun, diungkapkan Hasanuddin, sampai sekarang Indonesia belum memiliki UU Bela Negara, sehingga peraturan-peraturan pendukungnya, seperti Perpres atau Keppres, masih belum jelas. "Tanpa UU Bela Negara dan tanpa aturan pendukungnya akan sulit mewujudkan kebijakan dan upaya bela negara itu. Sebab, UU itu nantinya akan mengatur juga siapa yang diwajibkan? Profesi apa dan umur berapa? Bentuk latihannya seperti apa? Materi apa yang dilatihkan? Siapa penyelenggara utamanya? Setelah latihan, bagaimana penggunaan kekuatannya?" tegas Hasanuddin.

Kedua, lanjut Hasanuddin, terkait dengan anggaran. Sampai saat ini DPR bersama pemerintah belum pernah mendiskusikannya secara rinci, misalnya terkait dengan berapa biaya yang dibutuhkan untuk mendukung program bela negara, dan penggunaan anggarannya melalui APBN atau APBD. "Ketika uang negara semakin terbatas kita harus lebih jeli menentukan prioritas mana yang paling utama demi kepentingan bangsa dan negara," pungkas Hasanuddin.

Terkait kasus yang melibatkan Dandim Lebak sendiri, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan latihan tersebut seharusnya juga dikoordinasikan dengan dirinya.
"Saya baru selidiki training FPI, harusnya izin saya dulu. Tapi kalau tidak izin ya tidak apa-apa juga sih," ujar Ryamizard setelah menghadiri HUT ke-44 PDI Perjuangan di JCC, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (10/1).

Menurut Ryamizard, tidak ada larangan soal latihan bela negara. Karena itu, dia akan meminta kejelasan soal peristiwa tersebut. "Masak nggak boleh (bela negara)? Ya saya makanya mau verifikasi kenapa bisa terjadi," kata Ryamizard.

Ryamizard mengatakan siapa pun dapat mengikuti program bela negara selama bertujuan baik. Anggota ormas juga diperbolehkan mengikuti program tersebut. "Ya kalau kita mengajarkannya baik ya boleh, kenapa nggak? Semua bangsa ini harus bela negara, FPI itu juga lakukan bela negara, semuanya bisa saja, tapi yang paslah," imbuh Ryamizard.

PELANGGARAN BERAT - Berbeda dengan sikap Menhan, pihak TNI, dalam hal ini Kodam Siliwangi, justru menilai tindakan Ubaidillah adalah merupakan pelanggaran berat. Dandim dicopot karena tidak melaporkan kegiatan pembinaan bela negara yang diikuti ormas kepada Danrem ataupun Pangdam III Siliwangi Mayor Jenderal TNI Muhammad Herindra.

Dandim Lebak Letkol Czi Ubaidillah dicopot karena melatih anggota ormas. Pelatihan itu dinilai Pangdam III Siliwangi Mayjen M Herindra tak sesuai dengan prosedur, sehingga tak boleh terjadi lagi.

"Dia (Dandim Lebak) tidak izin saya. Saya katakan ini pelanggaran serius. Maka saya ambil keputusan, saya copot jabatannya dan besok ada pejabat baru," kata Herindra kepada wartawan seusai serah-terima jabatan Komandan Korem 064/Maulana Yusuf dari Kolonel Inf Wirana Prasetya Budi ke Kolonel Czi Ito Hediarto di Alun-alun Barat, Kota Serang, Senin (9/1).

"Saya sampaikan kepada setiap komandan, kalau mau melakukan kegiatan, harus izin jelas, kita ada hierarki. Kalau izin, tanggung jawab di saya. Pertimbangan ada di saya, iya atau tidak," tambahnya.

Herindra menjelaskan pihaknya sudah melakukan cross-check ke berbagai pihak. Kodim Lebak, khususnya Koramil Cipanas, memang menggelar pelatihan bela negara untuk ormas beberapa waktu lalu. Berdasarkan klarifikasi, kegiatan itu tidak sesuai dengan standard operating procedure (SOP).

"Seharusnya untuk kepelatihan bela negara harus melalui izin, mulai dari Dandim ke Danrem, Danrem nanti izin ke saya. Dan saya akan menentukan ya atau tidaknya," tegas jenderal TNI kelahiran Blitar, Jawa Timur, ini.

Hal senada juga disampaikan Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Dia menilai, hal ini sebagai pelajaran. "Persoalan ini jadi pelajaran, pengalaman berharga, bagi siapa pun yang ingin membuat acara seperti itu," kata Pramono di kantornya, Gedung III Sekretariat Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Senin (9/1).

Pramono sebelumnya berkomunikasi dengan Pangdam Siliwangi terkait peristiwa ini. Menurut informasi yang diperolehnya, pemilik pondok pesantren lokasi pelatihan bela negara itu kebetulan salah satu petinggi ormas yang bersangkutan.

Pramono kemudian menambahkan, nantinya materi bela negara akan dirumuskan oleh Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas). Sehingga tak ada lagi tumpang tindih mengenai siapa yang bisa memberikan pelatihan.

"Tugas bela negara diatur Wantanas karena sekarang baru diputuskan dan perpres disiapkan untuk bela negara, domainnya Wantanas. Wantanas yang akan jawab itu," ujar Pramono. (dtc)

BACA JUGA: