JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sikap ragu-ragu yang ditunjukkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam meratifikasi konvensi Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) mengundang kritik keras kalangan antirokok. Sikap ragu Jokowi dinilai akan membahayakan generasi muda.

Anggota Komnas Pengendalian Tembakau Dr. Hakim Sorimuda Pohan mengatakan, dengan sikap ragunya itu, Presiden Jokowi telah membiarkan generasi muda di Indonesia menjadi mangsa bandar adiktif. Dengan masih ragunya pemerintah, Indonesia telah menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara dan Asia Pasifik yang tidak menandatangani konvensi FCTC.

"108 negara di Dunia sudah menandatangani demi melindungi generasi mudanya, dan petani tembakau mereka tidak bangkrut," ujar Hakim kepada gresnews.com, Kamis (16/6).

Hakim mencontohkan Brasil dan China yang telah menandatangani konvensi FCTC sejak 10 tahun yang lalu dan sampai sekarang petani tembakau mereka tidak mengalami kerugian. Dia menilai, alasan pemerintah tidak mau menandatangani konvensi FCTC dengan alasan melindungi petani tembakau, hal itu adalah kebohongan belaka.

"Yang berkuasa di Indonesia ada bandar narkoba dan bandar adiktif. Bandar pabrik rokok," ujarnya.

Menurut Hakim, Jokowi seperti tidak menyadari tindak kejahatan yang terjadi sekarang ini erat kaitannya dengan candu rokok. Padahal, dalam Nawacita, Jokowi menyatakan ingin menurunkan perokok sampai dengan 25 persen perokok remaja.

"Tapi yang dia lakukan sia-sia, Jokowi berkoar Indonesia darurat narkoba tapi masih memberi umpan terhadap pabrik rokok," katanya.

Apalagi Indonesia pernah mengundang Philip Morris untuk berinvestasi di Indonesia. Saat pulang dari Eropa pun, Jokowi mengumumkan bahwa masih banyak yang mau berinvestasi yaitu BAT (British-American Tobacco) dengan menunggangi nama Bentoel. Padahal pemilik BAT dan Sampoerna adalah Philip Morris.

"Ini strategi supaya rakyat tetap bangga bahwa ini adalah rokok asli milik Indonesia padahal yang punya orang luar," ujarnya.

Wajar jika Indonesia ditakut-takuti oleh para pemilik pabrik rokok soal kebangkrutan para petani tembakau jika meratifikasi konvensi FCTC. Padahal, kata Sorimuda, faktanya pabrik rokok yang ada tidak lagi mempergunakan manusia untuk melinting rokok namun mempergunakan mesin untuk masalah efesiensi.

Apalagi biaya tenaga kerja untuk melinting rokok mencapai 12% sedangkan jika menggunakan mesin hanya 0,2%. "Sangat kapital, tembakau Indonesia itu 60% impor, tembakau yang dihasilkan petani Indonesia itu tidak dibeli oleh pabrik kecuali harganya sangat rendah dan para petani tersebut tidak mendapat untung," katanya.

Selain itu, kata Hakim, petani tembakau tidak menanam tembakau sepanjang tahun, karena mereka adalah tanaman semusim. Mereka mulai menanam bulan Maret dan panen pada bulan September saat musim kemarau.

Tahun ini bahkan tidak ada musim kemarau karena efek badai El Nino dan petani tembakau sudah sangat merugi. "Jadi kerugiannya bukan karena karena kita menandatangani FCTC. Jika Jokowi tidak menandatangani siap-siap Indonesia menjadi sejarah, negara Asia yang uncivilized nation karena tidak melindungi generasi mudanya dari bandar adiktif," ujarnya.

Sorimuda melanjutkan, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan menyebutkan rokok merupakan salah satu industri yang memiskinkan rakyat berpenghasilan rendah. Untuk itu pemerintah seharusnya menerapkan berbagai macam aturan guna melindungi generasi muda dari zat adiktif ini.

Pertama, menaikan cukai rokok karena Indonesia adalah negara dengan cukai terendah di dunia. Kedua produsen rokok jangan lagi beriklan maupun memberi sponsor karena dengan iklan maka masyarakat akan mudah tergiur. Ketiga, pengetatan kawasan dilarang merokok.

"Itu lagi anggota DPR jangan mempertontonkan kebodohan dan kebiasaannya setelah selesai rapat malah merokok di ruangan ber-AC," ujarnya geram.

Sebelumnya, dalam Rapat Terbatas yang membahas Kerangka Kerja Konvensi tentang Pengendalian Tembakau (FCTC), di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (14/6) siang, Presiden Jokowi memang menegaskan, pemerintah tidak ingin Indonesia sekadar ikut-ikutan atau mengikuti trend atau karena sudah banyak negara yang menandatangani atau meratifikasi FCTC.

Jokowi menegaskan, pemerintah harus betul-betul melihat kepentingan nasional, terutama yang berkaitan yang dengan warga negara. Di satu sisi, kata presiden, pemerintah tidak menutup mata adanya dampak gangguan kesehatan dan juga kepentingan generasi muda ke depan agar terbebas dari bahaya rokok.

Di sisi lain, kata dia, pemerintah juga harus memikirkan nasib para petani tembakau dan buruh pabrik rokok. "Juga kita perlu memikirkan, ini yang kadang-kadang juga dilupakan, kelangsungan hidup petani tembakau, para buruh tembakau yang hidup dan bergantung dari industri tembakau ini. Ini tidak juga kecil. Menyangkut orang yang sangat banyak," tegas Jokowi.

PERLINDUNGAN PETANI TEMBAKAU - Di sisi lain, anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menyatakan sikap Jokowi terkait ratifikasi FCTC sudah tepat. Dia mengatakan, sudah sepatutnya sebagai presiden, Jokowi mendahulukan kepentingan nasional dibanding ikut euforia FCTC.

Menurutnya selagi belum ada undang-undang di Indonesia belum ada yang mengatur tentang perlindungan terhadap petani tembakau dan industri hasil tembakau maka sudah pantas dan selayaknya FCTC ditolak ratifikasinya. "Saya sejalan dengan sikap Presiden Jokowi," kata Misbakhun di Jakarta, Kamis (16/6).

Baginya, keanekaragaman hayati dan luas wilayah yang luar biasa di Indonesia harus dimanfaatkan untuk kepentingan nasional. Begitu pula dengan pemanfaatan tembakau, sebab diketahui, tembakau asal Indonesia memang sudah terkenal dan mengambil hati pencinta kretek dunia.

Jika memang pemerintah ingin menekan dampak rokok terhadap kesehatan, maka harus diambil jalan lain tanpa mematikan industri tembakau yang ada. Misbakhun mengatakan, harus ada kebijakan yang tepat untuk menaungi penekanan angka perokok, seperti yang selama ini sudah dilakukan, hanya saja diperlukan konsistensi dan penindakan tegas dalam pengaplikasiannya.

"Misal, peraturan yang melarang merokok di tempat dan fasilitas umum, menaikkan cukai secara bertahap, serta gencar mensosialisasikan bahaya rokok bagi kesehatan, itu sudah baik," katanya.

Misbakhun yang juga merupakan anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR juga menyatakan Baleg tengah menginisiasi RUU Pertembakauan untuk melindungi kepentingan petani tembakau Indonesia. Misbkahun berharap, dengan terbitnya UU tersebut, Indonesia tak terjebak dan tunduk pada kepentingan asing yang dipaksakan.

Sebab, seprrti yang telah dijelaskan, industri rokok di Indonesia memiliki peranan penting dan besar dalam menciptakan lapangan kerja bagi jutaan masyarakat Indonesia. Tak hanya itu, pemasukan dari cukai rokok pun menyumbang banyak bagi negara.

Saat ini, kata Misbakhun, industri rokok Indonesia mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri, produsen rokok asing pun kelabakan bersaing di dalam negeri.
"Pemerintah harus jeli dalam melihat setiap desakan asing karena bisa jadi ada upaya perang dagang untuk mematikan industri nasional," katanya.

Indonesia sebagai negara berdaulat seyogyanya dapat tegas dalam melindungi kepentingan nasional. Apalagi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di tengah melambatnya perekonomian dunia.

"Sudah seharusnya pemerintah dan seluruh pihak mendukung sektor-sektor unggulan untuk menopang perekonomian nasional," ujarnya.

BACA JUGA: