JAKARTA, GRESNEWS.COM - Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) telah disahkan pemerintah dan DPR pada Kamis (2/5) kemarin. Pengesahan revisi undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 yang akan menjadi dasar pelaksanaan Pilkada 2017 itu sempat alot menyusul perdebatan sejumlah pasal krusial di dalamnya. Kemungkinan gugatan terhadap UU tersebut pun terbuka, menyusul adanya sejumlah pihak tidak setuju atas muncul sejumlah pasal krusial tersebut.

Namun Kementerian Dalam Negeri menyatakan tak mempersoalkan jika ada elemen masyarakat atau kelompok lain yang ingin mengajukan gugatan UU Pilkada yang telah disahkan pemerintah dan DPR.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, UU Pilkada adalah hasil revisi UU tentang perubahan kedua atas UU 1/2015 Tentang Peraturan Pemerintah Gubernur, Bupati dan Walikota.

"Kalau ada elemen masyarakat yang tidak puas atau terganggu kepentingannya silahkan saja," kata Tjahjo di Kantor Kementerian Politik Hukum dan Keamanan (Kemenpohukam), Jumat (3/6).

Tjahjo mengakui dalam UU itu memang ada poin yang mungkin sebetulnya perlu direvisi, tapi karena terkait keputusan MK maka harus dipatuhi. Di antaranya terkait diprotes PKS, yaitu soal anggota DPR harus mundur jika mencalonkan diri, tapi petahana cukup cuti.

Namun Tjahjo mengingatkan, pihak yang berhak melakukan judicial review atau uji materi terhadap UU Pilkada baru adalah masyarakat. DPR dan pemerintah tidak mempunyai hak karena sama-sama sebagai pihak yang menyusun revisi UU tersebut.

"Jadi yang berhak menggugat Undang-Undang tersebut adalah masyarakat," jelasnya.

Menurutnya, revisi UU Pilkada sendiri telah disesuaikan dengan amanat atau putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya.  Diantaranya menyangkut pencalonan kepala daerah dari jalur independen, aturan dari jalur DPRD, keharusan mengundurkan diri,  hingga keabsahan calon kepala daerah yang menjadi tersangka.

"DPR dan pemerintah merevisi karena terikat putusan MK yang final dan mengikat. Banyak yang direvisi mengenai kedudukan DPR, petahana, hingga tersangka," ujarnya.


PENGESAHAN TERLAMBAT - Sementara itu, Koordinator Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu ( KIPP) Indonesia, Andrian Habibi mengatakan pemerintah tidak bisa melarang seseorang untuk melakukan judicial review, karena siapa pun berhak melakukan perbaikan atas produk legislasi melalui judicial review.  

Selain itu, gugatan juga bukan hanya terkait permasalahan konten revisi. Namun keterlambatan dalam mensahkan revisi harus menjadi problem tersendiri. Menurutnya revisi ke dua UU Pilkada itu terlalu lama diselesaikan. "Hal itu membuktikan bahwa komunikasi antara legislatif dan eksekutif kurang efektif," kata Andrian kepada gresnews.com, Jumat (3/6).

Andrian menilai  sebaiknya transparansi dikedepankan untuk proses legislasi UU kepemiluan, masukan masyarakat juga patut dipertimbangkan. "Selain itu hasil evaluasi pilkada jilid 1 pun patut di akomodir,  jangan terlihat membuka ruang judicial review tapi prosesnya sangat politis," ungkapnya.

Seperti diketahui Kamis kemarin, pemerintah dan DPR telah menyepakati pengesahan revisi UU Pilkada. Poin-poin perubahan UU Pilkada kedua  yang telah disahkan Paripurna diantaranya;

1. Pasal 7 tentang pencalonan huruf s dan huruf t: Menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota DPR, DPD dan DPRD, dan sebagai anggota TNI, Kepolisian, PNS dan kepala desa sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilihan.

2.  Pasal 9 Tugas dan wewenang KPU poin a. Menyusun dan menetapkan PKPU dan pedoman teknis pemilihan setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam RDP yang keputusannya mengikat.

3.Pasal 10 Ayat b1: KPU melaksanakan  dengan segera rekomendasi dan atau putusan Bawaslu mengenai sanksi administrasi pemilihan.

4. Pasal 16 Ayat 1a: Seleksi anggota PPK dilaksanakan secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian calon anggota PPK.

5.  Pasal 19 Ayat 1a: seleksi anggota PPS dilaksanakan secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian calon anggota PPS.

6. Pasal 21 Ayat 1a: Seleksi anggota KPPS dilaksanakan secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian calon anggota KPPS.

7. Pasal 22B tentang Tugas dan Wewenang Bawaslu ditambah poin a1: menerima, memeriksa dan memutus keberatan atas putusan Bawaslu Prov terkait pemilihan  cagub Cawagub, Cabup Cawabup dan Cawali dan cawawali yang diajukan pasangan calon dan atau parpol/gabungan  parpol terkait dengan penjatuhan sanksi diskualifikasi dan atau tidak diizinkannya parpol dan gabungan parpol untuk mengusung calon dalam pemilihan berikutnya.

8.  Pasal 41 Ayat (1) dan Ayat (2): Calon perseorangan mendaftarkan diri dengan menyerahkan dukungan dengan prosentase dari data jumlah pemilih pemilu paling akhir sebelumnya.

9. Pasal 41 Ayat (2),  Ayat (3):  Dukungan yang dimaksud ayat (1) dan (2) dibuat disertai dengan fotokopi  KTP Elektronik dan surat keterangan yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan pencatatan sipil yang menerangkan bahwa penduduk tersebut berdomisili di wilayah yang sedang menyelenggarakan pemilihan paling singkat satu tahun dan tercantum dalam DPT Pemilu sebelumnya di Prov atau Kab Kota dimaksud.

10.  Pasal 42  poin 4a: Dalam hal pendaftaran pasangan calon sebagaimana dimaksud ayat 4 (catatan:Pilgub) tidak dilaksanakan oleh pimpinan parpol tingkat provinsi, pendaftaran paslon yang telah disetujui parpol tingkat pusat dapat dilaksanakan oleh parpol tingkat pusat.

11. Pasal 42 poin 5a: Dalam hal pendaftaran paslon sebagaimana dimaksud ayat 5 (catatan:Pilbup pilwali) tidak dilaksanakan oleh pimpinan parpol tingkat kabupaten kota, pendaftaran paslon yang telah disetujui parpol tingkat pusat dapat dilaksanakan oleh parpol tingkat pusat.

12. Pasal 57 Ayat (2) Dalam hal WNI tidak terdaftar  sebagai pemilih sebagaimana dimaksud di Ayat (1), pada saat pemungutan suara menunjukkan KTP elektronik.

13. Pasal 58 Ayat (1) Daftar Pemilih Tetap pemilu terakhir digunakan sebagai sumber pemutakhiran data pemilih dengan mempertimbangkan DP4.

14. Pasal 61 Pemilih yang belum terdaftar dalam DPT  yang bersangkutan dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan KTP elektronik di TPS yang ada di RT RW yang tertera di KTP elektronik yang bersangkutan.

15. Pasal 63 tentang kampanye Ayat  2a: Kampanye dalam bentuk pertemuan terbatas dan tatap muka didanai oleh parpol dan atau paslon.

16. Pasal 63 Ayat 2b: Kampanye dalam bentuk penyebaran bahan kampanye kepada umum dan alat peraga kampanye dapat didanai dan dilaksanakan oleh parpol dan atau paslon.

17. Pasal 73 Ayat (1) dan (2) : Calon dan  atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan atau memberi uang  atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan atau pemilih. Calon yang terbukti melakukan pelanggaran tersebut berdasarkan putusan Bawaslu dapat dikenakan sanksi pembatalan paslon oleh KPU Prov/KPU Kab Kota.

18. Pasal 74 ditambah Ayat a1 menjadi: Dana kampanye paslon  dapat diperoleh dari: sumbangan parpol/gabungan parpol, sumbangan paslon, sumbangan pihak lain yang tidak mengikat meliputi sumbangan perseorangan dan atau badan hukum swasta.

19. Pasal 74 ayat 5: Sumbangan dari perseorangan paling banyak 75.000.000 IDR dan dari badan hukum swasta paling banyak 750.000.000 IDR.

20. Pasal 85 ayat 1: Pemberian suara dapat dilakukan dengan: a. Memberi tanda satu kali pada surat suara, b. memberi suara melalui peralatan pemilihan secara elektronik.

21. Pasal 144: Putusan Bawaslu dan putusan Panwaslu mengenai sengketa pemilihan  bersifat mengikat dan wajib ditindak lanjuti KPU Prov dan KPU kabupaten  Kota paling lambat 3 hari kerja.
 

BACA JUGA: