JAKARTA, GRESNEWS.COM - Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala daerah (RUU Pilkada) telah disahkan dalam rapat Paripurna DPR hari ini. Delapan fraksi menerima pengesahan, tetapi dua fraksi menerima dengan catatan. Fraksi Gerindra dan PKS memberikan catatan khusus terkait pasal yang mengatur mekanisme anggota DPR, DPD dan DPRD untuk mundur dari jabatannya apabila mengikuti Pilkada. Catatan juga diberikan oleh Fraksi Gerindra, Demokrat, PKB dan PKS terhadap pasal yang mengatur syarat dukungan pasangan calon bagi partai politik atau gabungan parpol.

Dalam catatan khususnya, Gerindra dan PKS meminta agar anggota dewan yang mengikuti Pilkada tidak harus mengundurkan diri dan cukup hanya mengajukan cuti. Dikarenakan perlakuan antara calon dari DPR dan calon incumbent seharusnya sama. Sedang calon kepala daerah incumbent atau petahana tidak perlu mengundurkan diri dan hanya cukup mengajukan cuti.

Hal ini berbeda jika calon kepala daerah yang diajukan berasal dari penegak hukum. "TNI dan Polri yang seharusnya mundur," ujar Al Muzamil dari Fraksi PKS di Gedung DPR, Kamis (2/6).

Ia mengungkapkan, tidak perlu mundurnya anggota dewan jika ingin mengikuti Pilkada karena anggota dewan berbeda dengan calon dari unsur TNI ataupun Polri. Anggota dewan tidak mengandung konflik kepentingan yang berpotensi menyebabkan konflik. Sebaliknya potensi konflik akibat penyalahgunaan wewenang jabatan, lebih berpotensi di ranah para kepala daerah incumbent.

Dalam hal ini MK telah menerapkan equal treatment ketika gubernur, bupati, walikota mengundurkan diri, sehingga terjadi contectual treatment terhadap kepala daerah dibandingkan pejabat negara lainnya. "Equal treatment yang sama adalah seharusnya anggota DPR, DPD, dan DPRD tidak perlu mundur, cukup cuti," ujarnya.

Hal ini dirasa cukup penting, karena aturan ini dirasa tidak apple to apple jika anggota dewan diharuskan mengundurkan diri seperti TNI dan Polri yang memegang wewenang. Sedangkan anggota dewan tidak memegang birokrasi maupun anggaran. Dari sini konteks tegaknya kejujuran dan keadilan dalam Pilkada dapat tercapai.

Senada dengan PKS, Fraksi Gerindra dalam paripurna juga menyatakan keberatan jika anggota dewan harus mengundurkan diri untuk mengikuti Pilkada. Akan tetapi protes dari Gerindra tidak sekeras PKS, Gerinda tetap mendukung agar keputusan yang sebelumnya berada di tingkat dua segera menjadi UU Pilkada.

"Semoga yang kita lakukan ini menjadi nilai ibadah," ujar Azikin Solthan dari Fraksi Gerindra saat sidang Paripurna, Kamis, (2/6).

Meski diwarnai penolakan, Taufik Kurniawan selaku pimpinan sidang dari Fraksi PAN tetap mengetuk palu untuk mengesahkan undang-undang pilkada tanpa menghiraukan protes yang ada. Setelah palu diketuk keputusan langsung disambut tepuk tangan oleh sebagian besar peserta sidang.

"Kami dari meja pimpinan sangat berterima kasih ini penting bagi kita semua. Tidak ada menang, tidak ada kalah," ujar Taufik saat sidang Paripurna, Selasa (2/6).

Dengan hasil Paripurna tersebut, sejumlah poin krusial di UU Pilkada tak berubah. Syarat calon independen tetap sesuai putusan MK, sehingga Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama tetap bisa ikut Pilgub DKI jika sudah mengantongi 534 ribu KTP dukungan warga Ibu Kota. Poin soal harus mundurnya anggota DPR yang berlaga di pilkada juga tak berubah sedangkan incumbent alias petahana tak perlu mundur.

Pengamat politik komunikasi Medrial Alamsyah sepakat atas sikap penolakan Gerindra dan PKS sebab ia melihat keputusan yang dibuat oleh MK ini tak ada dasar rasionalisasinya. "Ini kan mereka aneh kepala daerah justru tidak harus mengundurkan diri. Tapi DPR harus," katanya.

Padahal, incumbent menurutnya dianggap lebih punya kekuasaan dan dapat menyalahgunakan kekuasaan. "Nah kalau DPRD apa? Dari sisi waktu kan tak ada masalah, saya tidak tahu apa ada tangan yang bermain di belakang, sebab keputusan ini tak punya nalar," kata Medrial.

Ia menyatakan wajar bagi Gerindra dan PKS untuk bertahan menolak, walaupun pada akhirnya tetap kalah karena kekuatan yang sudah lemah. Medrial melanjutkan seharusnya ketika membuat regulasi ada rasionalitas yang jelas. Incumbent harusnya wajib mengundurkan diri karena ada konflik kpentingan.

Sebab, walaupun sudah mengundurkan diri saja para petahana ini masih bisa bermain. Seperti mengganti orang, bermain anggaran, apalagi jika menjabat sampai akhir. "Realitanya mereka punya power, punya banyak janji untuk bermain," katanya.

Medrial menyontohkan di daerah Sawah Lunto dimana Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU)-nya dijadikan dirut BUMD setelah pertarungan kepala daerah selesai. Padahal sebelumnya sang Ketua KPU pernah berkata padanya untuk tak akan menerima jabatan apapun setelah usai pilkada. "Padahal saya tidak tanyakan itu padanya, nah ini saya yakin di daerah lain juga begitu," katanya.

POIN PENTING PERUBAHAN UU PILKADA - Dalam rapat paripurna di gedung DPR, Kamis (2/6), Ketua komisi II Rambe Kamarulzaman merinci setidaknya ada 17 poin perubahan maupun masukan dalam UU Pilkada yang disahkan. Berikut secara rinci 17 poin dimaksud:

1. Penetapan mengenai waktu pemungutan suara agar serentak secara nasional untuk Pileg, Pilpres dan Pilkada. Dalam UU sebelumnya ditetapkan tahun 2027, UU sekarang dipercepat jadi 2024.

Secara rinci yaitu Pilkada pada 2015 digelar lagi tahun 2020. Pilkada 2017 digelar lagi tahun 2022. Pilkada 2018 digelar lagi 2023. Maka didapati satu tahun yang mendekati semuanya bisa serentak yaitu 2024.

2. Tentang meninggalnya pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon. Dalam UU Pilkada disepakati KPU memberikan waktu 30 hari melakukan pergantian, jika salah satu calon meninggal dunia pada waktu 29 hari sebelum pemilihan;

3. Peningkatan verifikasi kualitas calon perseorangan, Komisi II dan pemerintah menyepakati untuk dilakukan verifikasi faktual dengan metode sensus melalui langkah menemui pendukung pasangan calon.

4. Pengaturan lebih lengkap tindak pidana menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara atau pemilih. Jika terpenuhi unsur-unsur, maka dikenai pidana penjara dan denda. Jika calon melakukan tindak pidana semacam ini, maka dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon.

5. Penguatan Bawaslu. Bawaslu saat ini berwenang menerima, memeriksa dan memutus tindak pidana menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara dan/atau pemilih. Upaya hukum ini dimulai dari Bawaslu Provinsi ke Bawaslu hingga ke Mahkamah Agung (MA);

6. Perbaikan penormaan mengenai kampanye, metode kampanye, dan dana kampanye. Metode kampanye yang semula didanai oleh APBD dialihkan ke pasangan calon atau partai politik untuk pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, dan dapat melakukan penyebaran bahan kampanye, dan pemasangan alat peraga.

Mengenai dana kampanye ditambahkan norma bahwa dana kampanye dapat diperoleh dari sumbangan pasangan calon dan Partai Politik.

7. Perbaikan norma terkait penyalahgunaan jabatan petahana. Pejabat negara, pejabat ASN, anggota TNI-Polri, dan kepala desa atau sebutan lain dilarang membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon, serta dilarang melakukan penggantian pejabat. Terkait dua hal tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

8. Komisi II dan Pemerintah menyepakati Pemerintah Daerah bertanggung jawab mengembangkan kehidupan demokrasi di daerah khususnya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih;

9. Perbaikan pengaturan terkait penanganan pelanggaran Pilkada. Untuk tindak pidana Pilkada perlu dilakukan penguatan fungsi sentra Gakkumdu yang mengikutsertakan peran penyidik Kepolisian dan mempersingkat alur penanganan pelanggaran tindak pidana Pemilihan.

Terkait sengketa Tata Usaha Negara pemilihan dimulai dari upaya hukum secara berjenjang yang dimulai dari Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas Kabupaten/Kota ke Bawaslu hingga ke tingkat Mahkamah Agung (MA). Khusus yang menyangkut perselisihan hasil, diubah dengan menggunakan acuan total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir.

10. Terhadap pelanggaran pemilihan berupa politik uang yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif dikenakan sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon, dengan tidak menggugurkan proses pidana.

Terkait sanksi administrasi pembatalan calon tersebut, diberikan wewenang kepada Bawaslu Provinsi untuk menerima, memeriksa, dan memutus pelanggaran pemilihan, yang kemudian ditetapkan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dalam Surat Keputusan berupa sanksi pembatalan pasangan calon, yang dapat dilakukan upaya hukum ke MA yang putusannya bersifat final dan mengikat.

11. Komisi II dan Pemerintah menyepakati tentang pelantikan pasangan calon terpilih, Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan dapat melantik Bupati, Wakil Bupati, serta Walikota, dan Wakil Walikota secara serentak;

12. Tentang usulan pengangkatan calon terpilih, Komisi II dan Pemerintah menyepakati untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang dapat menghambat pelantikan pasangan calon terpilih akibat tidak disampaikannya usulan dari DPRD Kabupaten/Kota/Provinsi dan Gubernur;

13. Tentang syarat dukungan pasangan calon dari partai politik atau perseorangan. Untuk syarat dukungan pasangan calon dari partai politik/gabungan partai politik tetap sebesar 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu.

Terkait syarat untuk pasangan calon perseorangan Komisi II dan Pemerintah sepakat yakni paling sedikit 6,5% dan paling banyak 10% dari daftar pemilih tetap.

14. Terkait pengaturan bilamana terjadi perselisihan kepengurusan partai politik yang dapat mendaftarkan pasangan calon dalam Pilkada. Parpol yang dapat mendaftarkan pasangan calon merupakan partai politik yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal terjadi perselisihan yang dapat mendaftarkan adalah kepengurusan partai politik yang telah didaftarkan serta ditetapkan di Kementerian Hukum dan HAM, termasuk setelah selesai segala upaya yang dilakukan di Mahkamah Partai atau sebutan lainnya dan jalur hukum melalui pengadilan.

15. Komisi II dan Pemerintah sepakat untuk mengatur lebih lanjut ketentuan cuti bagi petahana yang mencalonkan diri dalam Pilkada (cuti diluar tanggungan Negara) selama masa kampanye yaitu 3 hari setelah penetapan pasangan calon hingga 3 hari menjelang pencoblosan.

Sedangkan bagi pejabat negara yang terlibat dalam kampanye pemilihan pasangan calon yang diusung, cukup mengajukan izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

16. Tentang penggunaan E-KTP dalam Pemilihan, Komisi II dan Pemerintah menyepakati bahwa syarat dukungan calon perseorangan maupun sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih menggunakan E-KTP terhitung sejak bulan Januari 2019.

Untuk saat ini hingga akhir tahun 2018 masih diperbolehkan penggunaan surat keterangan yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil yang menerangkan bahwa penduduk tersebut berdomisili di wilayah administratif yang sedang menyelenggarakan Pilkada.

17. Tentang tindak lanjut Putusan MK, Komisi II dan Pemerintah menyepakati untuk memberikan pengaturan lebih lanjut mengenai pemilihan gubernur, wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota serta dihapusnya persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.

Terkait mantan narapidana, diwajibkan untuk mengumumkan kepada masyarakat bahwa yang bersangkutan pernah menjadi narapidana.

Terkait persyaratan bagi PNS, anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD yang mencalonkan diri wajib mundur setelah secara resmi ditetapkan oleh KPU provinsi/KPU kabupaten/kota sebagai calon.

SIKAP ACUH DEWAN - Paripurna DPR baru saja mengesahkan UU Pilkada namun pengesahan ini hanya dihadiri segelintir wakil rakyat, namun pimpinan menyebut rapat sudah kuorum. "Berdasarkan laporan Kesekjenan DPR RI dihadiri 363 orang. Sesuai tata tertib sudah kuorum," ucap Taufik Kurniawan dalam sidang paripurna, Kamis (2/6). Setelah menyampaikan kuorum pukul 12.55 WIB, Taufik kembali mengetok palu pengesahan RUU Pilkada menyusul selesai dibacakannya tanggapan dari Mendagri Tjahjo Kumolo.

Hingga pukul 12.20 WIB, hasil dari menghitung secara langsung jumlah anggota DPR yang duduk di ruang rapat, hanya ada 107 anggota DPR yang hadir. Jumlah itu termasuk 4 orang pimpinan DPR yang memimpin rapat. Artinya sebanyak 451 orang tidak hadir saat pembahasan RUU Pilkada. Sebanyak 115 di antaranya izin resmi sosialisasi 4 pilar. Padahal, aturan kuorum DPR adalah 50% plus satu. Untuk paripurna hari ini, dengan jumlah total 558 anggota DPR (seharusnya 560, tapi 2 anggota DPR belum dilantik) maka kuorum paripurna adalah 280 anggota.

Kemudian jika dihitung kembali saat Taufik menyampaikan kuorum pukul 12.55 WIB, jumlah anggota DPR yang ada di bangku tinggal 79 anggota. Banyak bangku kosong. Dengan jelas bisa terlihat secara kasat mata bahwa anggota DPR yang ada di ruangan tak sampai 363 orang.

Saat dikonfirmasi lagi usai paripurna, pimpinan DPR tetap berpegang kepada laporan kesekjenan bukan yang riil hadir di ruang paripurna. Dengan disahkannya UU Pilkada, maka menjadi acuan bagi penyelenggara pemilu menggelar Pilkada mulai 2016 ini.  (dtc)

BACA JUGA: