JAKARTA, GRESNEWS.COM - Masih belum tuntasnya pembahasan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah disebut terjadi karena para politisi di Dewan Perwakilan Rakyat dan di pemerintahan yang terlibat dalam pembahasan, saling mementingkan kepentingan kelompok masing-masing. Terlebih, proses pembahasan juga berlangsung secara tertutup di Komisi II sehingga nuansa adu kepentingan semakin terasa.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadahani mengatakan, kentalnya nuansa adu kepentingan dalam pembahasan tersebut terlihat dari beberapa poin yang sebenarnya tidak penting namun dibahas panjang lebar oleh pemerintah dan DPR. "Misalnya, soal apakah anggota DPD, DPR, DPRD itu harus mundur atau tidak dari jabatannya ketika mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah," kata Fadli dalam diskusi yang bertema Partisipasi Masyarakat terhadap Revisi UU Pilkada di Kantor Media Center Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, Jakarta, Rabu (1/6).

Padahal, terkait masalah itu sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan anggota DPR harus mengundurkan diri saat ditetapkan sebagai calon kepala daerah. Dengan adanya putusan MK itu, masalah tersebut seharusnya tidak membuat pembahasan revisi UU Pilkada deadlock.

"Sayangnya ini malah diperdebatkan panjang lebar sehingga menghabiskan banyak waktu, yang akhirnya disepakati sesuai putusan MK," ujarnya.

Selain itu, dalam pembahasan ini, DPR dan pemerintah juga seperti tidak peduli dengan keinginan masyarakat untuk terlibat dengan isu dan pembahasan revisi UU Pilkada. "Rasa ingin tahu dan kepedulian masyarakat yang tinggi, menjadi menurun ketika dalam proses pembahasan RUU yang tertutup," kata Fadli

Tingginya rasa ingin tahu masyarakat itu, kata Fadli, terlihat dari tingginya pembahasan topik tersebut pada laman  media sosial Twitter. Data Science Indonesia mencatat 986 kicauan netizen tentang revisi UU Pilkada selama delapan hari. Sayangnya, kata Fadli, DPR tidak membuka akses yang besar bagi masyarakat untuk terlibat dalam pembahasan tersebut.

Akibatnya, masyarakat yang akan menjadi pemilih dalam pilkada 2017 mendatang tidak mengetahui bagaimana mekanisme untuk memberikan masukan kepada DPR. "Tiba-tiba saja sudah ada 13 poin yang telah disetujui DPR terkait revisi UU Pilkada," ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Indonesia Parliamentary Center (IPC) Ahmad Hanafi mengatakan, pembahasan yang dilakukan tertutup membuat masyarakat kehilangan antusiasme terhadap pilkada. Padahal jika dilihat revisi RUU Pilkada mencapai 80 persen dari UU lama.

"Karena sebagian rapat tertutup, baru dua hari ini rapat mau dilakukan secara terbuka, kemudian sebagian besar fraksi-fraksi telah mencapai kesepakatan dengan pemerintah telah tercapai. Hal ini sangat meresahkan, sebab banyak hal yang disampaikan masyarakat tetapi tidak terakomodir DPR," kata Hanafi.

Karena itu tak heran jika banyak poin penting justru luput dari pembahasan. Misalnya soal definisi politik uang. Dalam poin ini, pemerintah dan DPR hanya fokus pada politik uang yang dilakukan oleh para calon kepala daerah. Padahal pada praktiknya, politik uang dalam pilkada hampir selalu melibatkan tim sukses calon.

Luputnya pembahasan definisi politik uang membuat harapan publik akan pelaksanaan pilkada yang bersih dari politik uang, menjadi sulit terwujud. "Karena tidak mungkin calon membagi-bagikan uang kepada konsituen, pasti tim sukses," ujar dia.

Poin lain yang penting namun luput dari pembahasan adalah soal pencalonan kepala daerah yang berstatus tersangka. Dengan tidak ditegaskannya aturan soal ini, masyarakat akan kesulitan mendapatkan calon yang bersih dan berintegritas. "Bagaimana mau mendapatkan sosok pemimpin yang bersih, ini kan sudah tersangka tapi masih boleh mencalonkan. Harusnya masalah ini dibahas," kata dia.

Selain itu juga ada aturan soal calon petahana yang dinilai tidak tegas sehingga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Misalnya soal boleh tidaknya anggaran APBD dipakai untuk penyelenggaraan pilkada. "Ditakutkan ada kepentingan petahana disana. Seharusnya hal itu dibahas, melihat banyaknya petahana direncakan akan maju," kata dia.

Melihat berbagai kelemahan itu, Ahmad meminta Komisi II DPR menjelaskan kepada publik terkait pembahasan revisi UU Pilkada yang tertutup. "Nantinya proses pembahasan yang tertutup akan menimbulkan dampak yang negatif kepada masyarakat. Bisa secara langsung ataupun tidak," ujarnya.

BIKIN REPOT KPU - Lambatnya pembahasan revisi UU Pilkada di sisi lain juga membuat Komisi Pemilihan Umum kerepotan. Pasalnya dengan sudah dimulainya tahapan-tahapan pilkada, KPU harus segera menyusun aturan-aturan terkait perhelatan demokrasi di daerah itu. Sayangnya, UU yang harusnya menjadi dasar pembuatan peraturan oleh KPU malah belum rampung juga."KPU kan harus membuat peraturan KPU yang mengacu pada Undang-Undang Pilkada," ujar Manajer Program Rumah Kebangsaan Erika Widyaningsih, dalam sebuah acara diskusi beberapa waktu lalu.

Lambatnya pembahasan ini menurut dia akan berdampak pada kepastian hukum dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam pilkada. Padahal, tujuan revisi UU Pilkada justru untuk menyelesaikan berbagai persoalan itu. Dengan molornya pengesahan revisi UU Pilkada, kata dia, persoalan di pilkada serentak 2015 bisa terulang di 2017.

Selain KPU, lembaga lain yang terkait seperti Bawaslu, parpol dan pemilih juga dipastikan akan kerepotan. Parpol misalnya akan kesulitan menentukan calon jika aturan persyaratan pengajuan calon belum beres.

Karena itu KPU diminta mendesak pemerintah dan DPR untuk segera menuntaskan revisi UU Pilkada. "Kami berharap proses ini dapat segera diselesaikan tanpa menghilangkan esensinya. Karena revisi ini bukan untuk kepentingan sesaat dan segelintir pihak, namun untuk kepentingan masyarakat," kata Erika.

KPU sendiri sebenarnya sudah merasakan dampak molornya pembahasan itu. Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengingatkan bahwa tahapan Pilkada sudah dimulai dan itu perlu kepastian hukum. "Memang persoalan waktu jadi concern kami. Jangan sampai sekarang kan janjinya bulan apa (selesai) lalu bulan ini, ya selesaikan bulan ini karena tahapan terus berjalan," ucap Hadar di Jakarta, Selasa (24/5).

Hadar mencontohkan hari Minggu (22/5) kemarin adalah waktu KPU untuk menetapkan batas minimal syarat dukungan calon independen dalam Pilkada. Lantaran revisi UU Pilkada belum selesai, maka KPU mengacu aturan yang ada sebelumnya. "Sudah kami umumkan (melalui surat edaran), KPU daerah juga sudah tahu berapa syarat minimum dukungan bakal calon perseorangan. Tapi nanti tahu-tahu ada perubahan (di UU Pilkada), bukan akhir bulan, tapi menjelang dukungan diserahkan, kan tidak pas," ujarnya.

"Jadi ada hak yang dirugikan. Karena itu berulang saya bicara ya selesaikan segera (revisi UU Pilkada)," lanjutnya.

Soal alasan Komisi II DPR bahwa revisi tak mengganggu tahapan lantaran saat ini hanya rekrutmen panitia di kelurahan dan kecamatan, Hadar menyebut memang betul. Tapi tahapan lain seperti penentuan batas minimal dukungan perseorangan tadi sangat penting.

"Calon perseorangan bekerjanya sudah beberapa bulan lalu mulai kumpulkan dukungan, ini bukan persoalan mudah sekalipun penyerahan dukungan tanggal 3-7 Agustus untuk pilgub, dan untuk pilkada bupati dan wali kota 6-10 Agustus," kata Hadar.

"Jangan kemudian berpandangan karena baru Agustus (penyerahan dukungan perseorangan), baru seminggu sebelumnya (RUU Pilkada disahkan). Nanti berubah (syarat calon perseorangan) jadi berat, kan tidak adil juga," imbuhnya.

Hadar mengatakan, keputusan KPU itu belum dituangkan dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang pencalonan, karena KPU tetap menunggu revisi UU Pilkada. KPU baru umumkan syarat itu dalam Surat Edaran (SE) kepada seluruh KPU di daerah.

"Jadi sekarang hanya melihat DPT pemilu terakhir. Nah kalau di UU (Pilkada sebelumnya), kalau jumlah penduduk untuk pilgub sampai 2 juta, maka 10 persen. Setelah ada putusan MK, bukan jumlah penduduk (acuannya), tapi DPT-nya," terang Hadar.

Meski sudah diumumkan melalui Surat Edaran, Hadar menyebut KPU tetap berharap revisi UU Pilkada bisa segera dirampungkan oleh DPR. Apalagi kalau ternyata dalam RUU Pilkada nanti syarat calon independen itu diubah lagi. "Bayangkan kalau kemudian ada perubahan dan itu mepet saat dikumpulkan, ya kan merepotkan mereka," kata Hadar.

TIDAK BERUBAH - Sementara itu, terkait syarat pencalonan, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menegaskan, sikap pemerintah tak berubah yaitu merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Di situ disebutkan, syarat dukungan calon pilkada yang maju melalui jalur partai politik atau gabungan partai politik adalah 20% kursi DPRD atau 25% akumulasi hasil pemilu. Sementara untuk calon perseorangan harus memperoleh dukungan 3-6,5% penduduk setempat.

Yang kedua, lanjut Mendagri, TNI, Polri, Pegawai Negeri Sipil (PNS) termasuk anggota DPR, DPD harus mundur. Ia menyebutkan, TNI, Polri, Pegawai Negeri Sipil sudah diatur undang-undang, sementara untuk anggota DPR, DPD, dan DPRD sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Oleh karenanya sikap pemerintah dipertegas hasil konsultasi kami. Kami juga melaporkan apa yang menjadi aspirasi semua teman-teman fraksi, saya dan Pak Laoly (Menkumham) tampung pada Sabtu malam Minggu kemarin sudah saya sampaikan, bahwa prinsipnya pemerintah tidak ingin bertentangan dengan apa yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Jadi itu kesepakatannya," jelas Tjahjo.

Sementara itu soal kemungkinan adanya sengketa dalam tubuh partai politik terkait pencalonan, Menkumham Yasonna H. Laoly menegaskan, pemerintah menganut asas kepastian hukum. Menkumham menjelaskan, kalau pada pilkada serentak yang lalu ada pendekatan politik dalam penyelesaiannya, dalam pendaftaran, sehingga ada partai politik yang harus mendaftarkan calonnya harus didukung oleh dua kepengurusan. Sekarang ini berbeda.

"Maka pada saat sekarang ini, semua partai politik yang hendak mencalonkan harus partai politik yang telah terdaftar di kementerian yang menurut ketentuan perundang-undangan, yaitu Kementerian Hukum dan HAM," tegasnya.

Kalau ada sengketa, lanjut Menkumham, maka sengketa itu akan diselesaikan sesuai dengan Undang-Undang Partai Politik, yaitu melalui Mahkamah Partai. Ia menegaskan, Mahkamah Partai ini adalah final binding, dan memang didaftarkan kembali di Kementerian Hukum dan HAM.

Kalau ada penyelesaian yang masih berlangsung di pengadilan, menurut Menkumham, maka rujukannya adalah keputusan partai politik yang terdaftar terakhir kalinya, yang terakhir. "Yaitu, walaupun sedang bersengkata antara dua kepengurusan, mana yang terdaftar terakhir itu yang dijadikan acuan. Kalau sudah ada keputusan berkekuatan hukum tetap, ya nanti itu juga dimohonkan pengesahannya kepada kementerian," jelas Yasonna.

Menkumham menegaskan, sikap pemerintah ini untuk menganut asas kepastian hukum. Dan ini juga termasuk sejalan dengan permintaan KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum), supaya mereka juga tidak diombang-ambing oleh sengketa partai politik dalam hal pencalonan calon pilkada, calon kepala daerah. (dtc)

BACA JUGA: