JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sengketa batas wilayah antara Timor Leste dan Australia memperebutkan batas wilayah maritim, terutama kawasan celah Timor yang kaya sumber daya alam, kembali memanas. Puluhan orang dari Mahasiswa Timor Leste dan Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia, kemarin, melakukan unjuk rasa di kantor Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia, di Jalan Kuningan, Jakarta Selatan. Mereka memprotes penguasaan wilayah tersebut oleh Australia dan mendesak diadakannya perundingan ulang terkait penetapan batas wilayah tersebut.  

Rogers, salah seorang mahasiswa Timor Leste, menyatakan aksi tersebut sebagai protes kepada Australia yang telah menarik diri dari perundingan dengan pemerintah Timor Leste terkait sengketa batas maritim kedua belah pihak. Menurutnya, masyarakat Timor Leste menuntut Australia untuk kembali melakukan perundingan.

Menurutnya, pihak Australia sudah melakukan penyerobotan batas wilayah maritim sejak Timor Leste masih menjadi bagian dari Indonesia pada 1970-an. Sampai saat ini pengerukan kekayaan alam di wilayah maritim Timor Leste yang telah merdeka masih terus berlangsung.

Kawasan Celah Timor yang diketahui memiliki sumber energi minyak dan gas yang sangat besar seharusnya menjadi sumber perekonomian Timor Leste. Tapi hal itu tidak terjadi karena sampai saat ini pihak Australia telah mengklaim kawasan itu miliknya dan terus melakukan eksplorasi, serta pengerukan kekayaan sumber daya alam di lokasi tersebut.  

"Penyerobotan ini sangat merugikan Timor Leste, kami meminta Australia masuk kembali ke dalam perundingan, karena selama ini, kesepakatan yang telah dibuat dengan Australia sangat merugikan," tegasnya kepada gresnews.com.

Rogers mengatakan, masalah yang berlarut-larut ini disebabkan karena pihak Australia menggunakan aturan Kontinental. Sedangkan pemerintah Timor Leste merujuk kepada aturan Zona Ekonomi Eksklusif, sebab aturan ZEE inilah yang berlaku di dunia internasional terkait permasalahan garis batas wilayah maritim suatu negara.

"Terkait permasalahan batas wilayah maritim ini, pihak Australia merujuk kepada aturan Kontnental, sedangkan kami (Timor Leste) menggunakan ZEE, " jelasnya.

Sebenarnya Pengadilan Internasional di Den Haag Belanda telah memutuskan supaya Australia dan Timor Leste melakukan negosiasi ulang terkait batas wilayah maritim itu pada 50 tahun mendatang. Akan tetapi hal ini ditolak oleh masyarakat Timor Leste. Mereka tidak bisa menerima keputusan tersebut, karena dinilai waktu yang diberikan terlalu lama.

"Negosiasi ulang dengan menunggu waktu 50 tahun yang akan datang itu terlalu lama, dan sangat merugikan kami (Timor Leste), makanya kami masyarakat dan pemerintah Timor Leste menuntut Australia mau kembali ke dalam perundingan," katanya.

Rogers menyampaikan terimakasih kepada masyarakat Indonesia yang telah mendukung aksi Timor Leste untuk mengambil kembali haknya yang telah dirampas Australia.

TELAH BERLANGSUNG LAMA - Timor Leste sudah lama menjadi korban dari imperialisme Australia. Pertengahan 1950-an, saat Timor Leste masih di bawah jajahan Portugis, setelah ditemukan potensi cadangan minyak dasar laut, perusahaan Timor Oil yang berbasis di Australia sudah melakukan eksplorasi.

Surya Anta, Jubir Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia (PPRI), yang turut serta dalam aksi untuk rasa itu menjelaskan, perampokan imperialisme Australia kepada Timor Leste sudah berlangsung lama. Pada tahun 1971 dan 1972, Australia dan Indonesia sempat melakukan perundingan batas maritim namun ditolak oleh Portugis. Akan tetapi hasil perundingan tersebut tetap dijalankan pada tahun 1973, dengan memberikan keuntungan yang besar kepada Australia. Kesepakatan tersebut berdasarkan prinsip landas kontinen yang menguntungkan Australia. Tidak terlibatnya Portugal dalam penentuan kesepakatan tersebut maka tidak ditentukan garis batas Timor Portugis (kini Timor Leste) dengan Australia, dari sinilah muncul istilah Celah Timor (Timor Gap).

Setelah rakyat Maubere menolak integrasi dengan Indonesia dalam referendum tahun 1999, berdirilah negara dengan nama Timor Leste yang merdeka. Namun hal ini tidak menjadikan Australia bersedia berunding untuk menentukan kembali batas maritim yang baru sehingga apa yang dilakukan oleh pemerintah Australia terkait eksploitasi sumber daya alam di batas wilayah maritim Timor Leste ini menjadi ilegal.

"Batas maritim yang digunakan Australia dengan dasar perundingan 1971 dan 1972 dengan tidak melibatkan Portugis di satu sisi, maka, kesepakatan yang dijalankan Australia hingga saat ini ilegal," terangnya kepada gresnews.com.

Menurutnya, tidak hanya Timor Leste, Indonesia pun dirugikan dari kesepakatan tersebut. Dari kesepakatan itu Australia telah mengeksploitasi cadangan minyak dan gas di Celah Timor selama 40 tahun. Menurut Surya, Celah Timor telah dirampok besar-besaran oleh perusahan-perusahaan kapitalis, sebut saja Philips Petroleum (sekarang Conoco Philips), Royal Dutch Shell, Woodside Australian Energy (kemudian menjadi Woodside Petroleum). Philips Petroleum melakukan eksplorasi dan ekploitasi pada ladang minyak dan gas Bayu-Udan, Woodside Australian Petroleum bersama BHP dan Shell mengeksploitasi cadangan minyak di ladang Laminaria-Corallina. Perusahaan-perusahaan minyak ini telah mengeksploitasi lebih dari 100 juta barel.

"Sejak Timor Leste merdeka sebagai suatu bangsa, setidaknya pemerintah Australia telah mengeruk keuntungan sebesar $5 miliar dari eksploitasi minyak lepas pantai di Celah Timor," katanya.

Ladang minyak dan gas lainnya di Celah Timor adalah Greater Sunrise, yang ditemukan pada 1975. Namun dinyatakan dalam kesepakatan 1989, 20% potensi gasnya berada di Daerah Pertambangan Minyak Bersama (JPDA) sedangkan 80% nya berada di wilayah maritim Australia. Meski kesepakatan tersebut ilegal, pasca terbentuknya Republik Demokratik Timor Leste, Australia tetap menggunakan kesepakatan tersebut, dan tidak mengindahkan tuntutan dari pemerintah Timor Leste.

"Ladang minyak dan gas ini habis-habisan dieksplotasi Australia, sedangkan Timor Leste tidak mendapatkan apa-apa," ujarnya.

Dalam permasalahan ini, PPRI solidaritas menyuarakan empat hal, yang pertama, PPRI meminta pemerintah Australia segera keluar dari batas maritim Timor Leste; kedua, meminta pemerintah Australia untuk segera berdialog dengan Timor Leste melalui Mahkamah Internasional dan Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut; ketiga, pembagian hasil yang lebih besar atas keuntungan yang sudah didapat dari eksploitasi ladang minyak untuk diberikan kepada Timor Leste; dan yang terakhir, PPRI mendesak pengakuan kedaulatan Republik Demokratik Timor Leste dan menghentikan segala bentuk spionase.

"Kami akan terus melakukan aksi solidaritas untuk Timor Leste, sampai imperialis Australia hengkang dari batas wilayah maritim Timor Leste," pungkasnya.


TIPU MUSLIHAT AUSTRALIA - Pemerintah Australia dituding menggunakan berbagai siasat keji dalam mengklaim batas wilayah kemaritimannya dengan Timor Leste. Padahal apabila digunakan konsep batas ZEE, maka, sebagian besar wilayah Celah Timor dengan berbagai ladang minyak dan gasnya masuk dalam wilayah kemaritiman Timor Leste. Mengambil contoh dari ladang minyak dan gas Greater Sunrise, posisinya berada 140 Km dari batas pantai Timor Leste dan ZEE sepanjang 220 mil dari bibir pantai Timor Leste. Ladang minyak yang diperkirakan senilai $40 miliar ini seharusnya menjadi milik Timor Leste.

Danial Indrakusuma, salah satu orang Indonesia yang mendapatkan penghargaan aktivis solidaritas internasional untuk Timor Leste dari organisasi Associacao Dos Combatentens Da Brigada Negra (ACBN), yang diberikan langsung oleh Xanana Gusmao sebagai ketuanya, menyatakan, Australia menggunakan berbagai siasat keji dalam mengklaim batas maritim tersebut. Diantaranya, dengan keluar dari proses internasional dalam menyelesaikan sengketa perbatasan laut berdasarkan Hukum Laut (UNCLOS) dan ICJ, agar Timor Leste tidak membawa kasus perbatasan maritim ini ke pihak ketiga sebagai penengah.

Lanjutnya, Australia melakukan tindakan licik dan tidak terhormat dengan menyadap (spionase) pada ruang sidang kabinet selama perjanjian Pengaturan Maritim tertentu di Laut Timor (CMATS) berlangsung. Sehingga Australia mendapatkan informasi yang menguntungkan selama proses negosiasi berlangsung.

Terakhir, Australia menolak menggunakan konsep batas maritim berdasarkan prinsip garis tengah atau prinsip sama jarak (median line or equidistance line principle). Padahal saat sengketa wilayah maritim dengan Selandia Baru, Australia bersedia menggunakan prinsip garis tengah (median line)

"Dalam permasalahan ini, Australia telah melakukan berbagai siasat keji," tegasnya kepada gresnews.com.

Menurutnya, dalam sengketa maritim antara Timor Leste dan Australia, pemerintah Australia telah melakukan penjajahan atas sumber daya alam yang dimiliki oleh Timor Leste, meski dalam beberapa hal mengakui prinsip garis tengah, pemerintah Australia mengingkari prinsip tesebut demi mendapatkan akumulasi kapital atas eksploitasi dari cadangan minyak dan gas di Celah Timor. "Australia menjadi imperialisme dengan gaya baru, telah menjajah Timor Leste," ungkapnya.  

Sementara itu Atase Pers Kedutaan Besar Australia di Indonesia Jenny Dee yang dihubungi gresnews.com, Minggu (27/3), untuk dimintai tanggapannya terkait unjuk rasa dan tudingan warga Timor Leste, menolak berkomentar dengan alasan tengah berlibur. Ia menyatakan baru akan aktif kembali pada Selasa mendatang. (Waluyo)

BACA JUGA: