Anggota Bawaslu Mochammad Afifudin menilai Pilkada 2018 berpotensi menimbulkan banyak gugatan sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 digelar dalam waktu berdekatan.

"Karena kemeriahan suhunya juga seperti pilkada, menjelang pileg pilpres jadi kaya pemanasan, menjelang pileg pilpres jadi sangat berkait," ujar Afif di D Hotel, Jl Sultan Agung, Jakarta Selatan, Selasa (26/12).

Waktu yang berdekatan itu diprediksi membuat situasi politik lebih serius. Bawaslu akan memperhatikan soal indeks kerawanan pemilu (IKP) untuk mengantisipasi munculnya konflik.

Selain itu ia juga mengatakan Bawaslu sudah memberikan pelatihan untuk panitia pengawas terkait proses sengketa. "Kebersamaan proses pemilu ini yang memang agak agak membuat situasi menjadi serius, jadi ramai, jadi kita harus antisipasi," ujar Afif.

"Salah satunya yang soal IKP, yang penindakan semua teman-teman dipanwas yang tahapan Pilkada sudah melakukan pelatihan, bagaimana teknis berperkara ketika sudah melakukan sengketa," sambungnya.

Afif mengatakan seperti sidang sengketa yang dilakukan oleh calon perseorangan yang merasa tidak puas dengan keputusan KPU. Menurutnya rasa tidak puas ini yang akan menimbulkan banyaknya calon yang mengajukan gugatan.

"Kayak kasus-kasus calon perseorangan banyak ini sidang-sidang sengketa yang naik, mungkin tidak semuanya terpantau. Ada yang ditolak misal di Bogor, di Maluku Utara ditolak kan banyak," ujar Afif.

"Mereka kan sidang-sidang, namanya orang nggak puas pasti akan mungkin juga banyak (mengajukan gugatan) terutama dipencalonan legislatif," ujar Afif.

Sebelumnya Mahkamah Agung menyiapkan tiga peraturan MA (perma) untuk mengantisipasi sengketa pada Pemilu 2019. Nantinya PTUN menjadi gerbang terakhir setelah sengketa diajukan ke Badan Pengawas Pemilu.

"Kami sudah siap apabila terjadi perselisihan sengketa. Tapi akan diproses dulu di Bawaslu. Jangan langsung ke pengadilan. Harus tahapannya dilewati," ujar Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah di gedung MA, Jumat (20/10).

Perma itu adalah Perma No 4 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilu di MA. Lalu ada Perma No 5 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pemilu di Pengadilan Tata Usaha Negara. Terakhir ada Perma No 6 Tahun 2017 tentang Hakim Khusus dalam Sengketa Pemilu di PTUN.

Meski begitu, tetap ada proses yang harus dilalui. "Syaratnya harus proses dulu dilewati. Apa perintah undang-undang dilewati. Kalau sudah habis, baru ke Pengadilan TUN. Jadi istilahnya upaya terakhir kalau sudah Bawaslu sudah nggak ada lagi, ya. Nah, itu pun di sini putusannya final. Jadi tidak ada upaya hukum," kata Abdullah.

Menurut Abdullah, dengan berbagai polemik yang ada, MA mengeluarkan tiga perma khusus Pemilu 2019. Terlebih undang-undang yang dijadikan acuan Pemilu 2019 juga baru.

"Perma ini diproses, diadakan, karena menghadapi masalah semacam ini. Jadi sebelumnya perma ini nggak ada. Karena apa? Karena undang-undangnya sudah baru, UU Pemilu," ungkapnya.

MA menilai ini terbukti dengan sudah adanya laporan ke Bawaslu. Laporan ini diajukan beberapa partai politik terkait pendaftaran parpol yang sudah ditutup KPU pada Senin (16/10).

"Sekarang saja sudah ada tanda-tanda KPU menolak. Bisa saja kurang syarat, bisa saja macam-macam, ya. Atau syarat-syarat yang tidak dipenuhi sehingga KPU mengeluarkan keputusan. Tapi saya kan juga belum tahu karena belum ada keputusan KPU," pungkas Abdullah. (dtc/mfb)

BACA JUGA: