JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penghayat kepercayaan diakui dan bisa dituliskan dalam kolom agama yang terdapat dalam KTP.

"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," sebut Ketua MK Arief Hidayat, saat membacakan putusannya di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Selasa (7/11).

Hakim MK berpendapat  pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1 UU Administrasi bertentangan dengan UUD 1945. Hingga pasal tersebut dianggap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

"Menyatakan kata ´agama´ dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-undang Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 24/2013 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk ´kepercayaan´," ujar Arief.

Arief juga menilai gugatan para pemohon yang terdiri dari para penganut penghayat kepercayaan memiliki landasan hukum.

"Bahwa berdasarkan alasan-alasan hukum sebagaimana diuraikan di atas, maka kata ´agama´ sebagaimana dimuat dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk ´kepercayaan´," sebutnyanya.

Alasan MK mengabulkan gugatan tersebut karena para penghayat kepercayaan memperoleh perlakuan berbeda dengan para penganut agama yang diakui di Indonesia.

Menurut Arief, jika para penganut kepercayaan tidak boleh mengisi kolom agama di KTP maka para penghayat kepercayaan akan mendapatkan perlakuan tidak adil.

"Pembatasan hak a quo justru menyebabkan munculnya perlakuan yang tidak adil terhadap warga negara penghayat kepercayaan sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Dengan tidak dipenuhinya alasan pembatasan hak sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 maka pembatasan atas dasar keyakinan yang berimplikasi pada timbulnya perlakukan berbeda antarwarga negara merupakan tindakan diskriminatif," ujar Arief dalam pertimbangannya.

Arief menggap gugatan para warga penghayat kepercayaan beralasan menurut hukum. Selain itu menurutnya, akibat adanya perbedaan penganut agama yang diakui dan penghayat kepercayaan di KTP membuat warga mendapatkan pelayanan berbeda di fasilitas publik.

"Pengaturan tersebut telah memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama, yakni terhadap warga negara penghayat kepercayaan dan warga negara penganut agama yang diakui menurut peraturan perundang-undangan dalam mengakses pelayanan publik," ujar Arief.

Namun MK menegaskan untuk penulisan di KTP tidak perlu diperinci. Sebagai contoh, bila ada warga menganut kepercayaan ´A´ namun di KTP tak perlu ditulis ´A´, melainkan cukup ditulis ´Penghayat Kepercayaan´.

"Maka pencantuman elemen data kependudukan tentang agama bagi penghayat kepercayaan hanya dengan mencatatkan yang bersangkutan sebagai ´Penghayat Kepercayaan´ tanpa merinci kepercayaan yang dianut di dalam KK maupun KTP-el, begitu juga dengan penganut agama lain," ujar Arief.

Alasan MK tidak memperinci, karena banyaknya kepercayaan yang berada di tanah air ini. MK beralasan hal itu dilakukan agar tetap terjadi tertib administrasi.

Gugatan tersebut  diajukan oleh Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dkk. Gugatan dilakukan para penghayat kepercayaan agar mereka bisa menulis kepercayaannya di kolom KTP. Pasal yang mereka gugata adalah pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1 UU Administrasi. (dtc/rm)

BACA JUGA: