JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tiga lembaga pengamat masalah hukum di Indonesia yaitu PBHI, ICJR dan ICW mendesak Mahkamah Konstitusi agar menolak permohonan pengujian UU yang melonggarkan syarat pemberian remisi napi Korupsi. Uji materi atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan itu sendiri diajukan oleh sejumlah terpidana kasus korupsi.

Bagi ketiga lembaga itu, pengujian Pasal 14 Ayat (1) UU 12/1995 merupakan siasat untuk mendapatkan pengurangan masa hukuman yang sedang dijalani. Dalam argumentasinya, pemohon menilai, remisi merupakan hak seluruh narapidana sesuai Pasal 14 Ayat (1).

´Namun pada kenyataannya para pemohon yang merupakan terpidana kasus korupsi hingga kini tidak mendapatkan hak tersebut, padahal menurutnya telah berkelakuan baik selama menjalani masa hukuman. Sehingga menilai hal tersebut sebagai bentuk diskriminasi dan pelanggaran atas Hak Asasi Manusia," kata Peneliti ICJR Erasmus Napitupulu, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Kamis (2/11).

Dia mengatakan, upaya yang dilakukan oleh para pemohon dapat dilihat sebagai siasat untuk mendapatkan pengurangan masa hukuman. Hal ini dikarenakan selain argumentasi yang prematur, pemohon adalah narapidana korupsi yang tidak memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. "Setidaknya ada enam alasan kenapa Mahkamah Konstitusi harus menolak pengujian yang diajukan oleh pemohon," ujarnya.

Pertama, pemohon terpidana kasus korupsi tidak memenuh syarat mendapatkan remisi. Meskipun disebut sebagai hak narapidana namun ada tata cara dan syarat yang mengatur pemberian remisi. PP 99/2012 mengamanatkan syarat tambahan bagi narpidana kasus korupsi yaitu menyandang status Justice Collaborator dan telah membayar denda/uang pengganti. Syarat ini tidaklah dapat dipenuhi oleh pemohon yang mengajukan permohonan pengujian UU 12/1995.

Kedua, pengetatan Remisi adalah kebijakan hukum pemerintah. Pengetatan remisi dalam PP 99/2012 merupakan bentuk kebijakan hukum terbuka pemerintah. Dimana UU 12/1995 dalam Pasal 14 ayat (2) mengamanatkan tata cara pelaksanaannya diatur oleh Peraturan Pemerintah. Ini berarti bagaimana remisi diberikan merupakan sepenuhnya kebijakan pemerintah.

Ketiga, putusan Mahkamah Agung Nomor 51 P/HUM/2013 dan 63 P/HUM/2015, menguatkan keberadaan PP 99/2012. Mahkamah Agung melalui dua putusannya menilai bahwa pengetatan remisi bagi narapidana korupsi bukan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, melainkan merupakan konsekuensi logis dari nilai atau bobot kejahatan yang korupsi yang memiliki dampak yang luar biasa.

Keempat, pengetatan remisi sejalan dengan semangat United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC). Bahwa dalam rekomendasi reviewer UNCAC menilai dalam praktiknya, aturan hukum Indonesia belum memadai untuk mengakomodasi pengaturan yang berkaitan dengan remisi atau pembebasan beryarat. UNCAC merekomendasikan pemerintah untuk menjadikan kejahatan korupsi sebagai alasan pemberat dalam pertimbangan pemberian remisi atau pembebasan bersyarat.

Kelima, pengetatan remisi juga sejalan prinsip dalam Standard Minimum Rules For The Treatment of Prisoners Tahun 1955 dan UU 12/1995. Standard Minimum Rules For The Treatment of Prisoners Tahun 1955 angka 70 menyebutkan bahwa diberikannya hak remisi kepada narapidana harus dilakukan di setiap lapas dengan disesuaikan dalam kelas-kelas narapidana yang berbeda dan cara-cara perlakuan pembinaan yang berbeda. Ketentuan dalam standar inilah yang kemudian diadopsi dalam Pasal 12 Ayat (1) UU 12/1995.

Keenam, Mahkamah Konstitusi menilai korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Dalam beberapa putusan MK menyebutkan Korupsi sebagai kejahatan luar biasa dan diperlukan cara-cara yang luar biasa dalam menanggulanginya.

Julius Ibrani dari PBHI mengatakan, tidak didapatkannya hak remisi pemohon bukan merupakan bentuk diskriminasi melainkan konsekuensi dari syarat-syarat yang diatur dalam PP 99/2012 yang memperketat pemberian remisi bagi narapidana kasus korupsi. Dalam hal ini, kata dia, PP 99/2012 tidak menghilangkan hak tersebut melainkan hanya memperketat pemberian hak tersebut.

"Pengetatan itu merupakan kebijakan pemerintah dalam memberantas korupsi dan bukan merupakan bentuk pelanggaran HAM," ujarnya.

Karenanya, kata Julius, Tim Advokasi Pro-Pembatasan Remisi Untuk Koruptor mengajukan permohonan pihak terkait tidak langsung dalam perkara pengujian tersebut untuk memberikan masukan dan pandangan terkait persoalan yang sedang diuji.

Tim Advokasi mendesa agar MK dalam sidang pengujian ini bisa menerima permohonan pihak terkait tidak langsung yang diajukan oleh Tim Advokasi Pro Pembatasan Remisi Untuk Koruptor. Kemudian, MK juga didesak agar mendengar pandangan dan pendapat Tim Advokasi Pro-Pembatasan Remisi Untuk Koruptor. "Kami juga mendesak agar MK seluruh permohonan pemohon terpidana kasus korupsi," pungkasnya. (mag)

BACA JUGA: