JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi IX DPR mendesak pemerintah untuk membentuk tim untuk menginvestigasi kasus ledakan pabrik petasan milik PT Panca Buana Cahaya Sukses (PBCS) di Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten. Ledakan tersebut telah menewaskan 49 orang pekerja di perusahaan tersebut.

"Kemudian memberikan sanksi yang tegas terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi saat membacakan kesimpulan saat RDP dengan Kementerian Ketenagakerjaan, Dirjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Dewas BPJS Kesehatan, Dewas BPJS Ketenagakerjaan, Bupati Kabupaten Tangerang, Perwakilan Pemerintah  Provinsi Banten, Camat Kosambi, hingga Kepala Desa Belimbing, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (31/10).

Dede Yusuf juga mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi secara serius terhadap keselamatan dan kesehatan kerja para pekerja dan tempat kerja di perusahaan-perusahaan yang menggunakan bahan kimia berbahaya, bahan-bahan yang mudah meledak dan limbah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Komisi IX DPR juga mendesak Kemenaker untuk menambah jumlah Pengawas Ketenagakerjaan dan melakukan pengawasan secara berkala setiap enam bulan kepada perusahaan yang rentan memiliki resiko kecelakaan kerja, untuk memastikan bahwa standar keselamatan kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan," tegas Dede.

Sementara terhadap korban, Komisi IX DPR mendesak BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan untuk segera melaksanakan kewajiban layanan terhadap para peserta yang menjadi korban sesuai dengan hak-hak yang dimiliki korban. Pemerintah pun didesak untuk memastikan perusahaan membayarkan hak-hak pekerja yang menjadi korban kecelakaan.

"Yang terakhir, Komisi IX DPR mengajukan usulan revisi UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja sesuai dengan tuntutan keselamatan kerja saat ini sebagai usul inisiatif pemerintah, dan Komisi IX mengusulkan pembentukan Panja tentang Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja," kata politisi asal dapil Jawa Barat itu, seperti dikutip dpr.go.id.

Dede menegaskan, berangkat dari kasus ini, khususnya terkait banyaknya anak di bawah umur yang dipekerjakan di pabrik tersebut, Pemerintah Daerah diminta untuk memahami Undang-Undang Ketenagakerjaan. Selain permasalahan pekerja di bawah umur, pembayaran gaij yang tidak memenuhi Upah Minimum Provinsi (UMP) Banten sebesar Rp3,27 juta juga menjadi sorotan kepada pemerintah dan stakeholder terkait.

"UU Ketenagakerjaan harus dipahami sampai ke level kelurahan atau desa. Karena mempekerjakan anak dibawah umur itu melanggar, apalagi ini kita dengar Pemerintah Daerah Tangerang juga ikut melakukan rekruitmen untuk bekerja di sana. Tetapi kita tidak tahu ada berapa banyak industri yang mempekerjakan anak di bawah umur, dan apa alasannya," tegas politisi F-PD itu.

Dede memastikan, pemanggilan semua pihak terkait ini bukan untuk mencari siapa yang bersalah karena penyelidikan sedang dilakukan pihak Kepolisian. Pihaknya juga ingin mengetahui aturan yang tidak dilaksanakan atau yang menjadi kendala, seperti  aturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Pihaknya ke depan meminta kepada Pemerintah Daerah untuk melakukan screening setiap tiga bulan sekali mengenai K3 agar hal seperti ini tidak terjadi lagi.

"Kita mau melihat fungsi-fungsi pembinaan pengawasan yang ada di Pemerintah Daerah, karena baru satu tahun ini pengawasan ketenagakerjaan ditarik dari kabupaten dan kota ke provinsi. Kita paham pengawas di daerah sedikit sekali, mungkin hanya berjumlah 50-100 orang. Sementara daerah kawasan industri jumlahnya mencapi puluhan ribu," ungkap politisi asal dapil Jawa Barat itu.

Sebelumnya, Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Ditjen Binapenta dan PKK) Kementerian Tenaga Kerja Maruli Hasoloan mengatakan, berdasarkan hasil pemeriksanaan yang dilakukan oleh pihaknya, PT PBCS melanggar beberapa peraturan perundang-undangan. Diantaranya, perusahaan diduga melanggar UU No. 7 Tahun 1981 Pasal 6 karena belum melapor Wajib Lapor Ketengakerjaan.

Kemudian, pelanggaran terhadap UU No 13 Tahun 2003 Pasal 68 karena memperkerjakan pekerja di bawah umur, dan UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 90 karena membayar upah di bawah UMP yang ditetapkan, sebesar Rp 3,270 juta. Dan yang terakhir, perusahaan melanggar UU No. 1 Tahun 1970 karena tidak menyediakan sarana yang tidak sesuai dengan syarat Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). (mag)

BACA JUGA: