Kisah cinta Muhammad Umar dengan Fransiska Anastasya Octaviany (Icha) bermula terjalin melalui jejaring sosial Facebook. Berlanjut ke pelaminan hingga resmi sebagai suami-isteri. Icha dinikahi oleh Umar pada tanggal 19 September  2010.  Namun tragisnya, enam bulan kemudian Umar baru mengetahui jika isterinya itu adalah seorang laki-laki yang bernama asli Rahmat Sulistyo. Bukan hanya Umar yang dikelabui Icha, orang tua Umar, masyarakat sekitar, bahkan Kantor Urusan Agama yang mencatatkan pernikahan pasangan sejenis itu harus mengaku kecolongan.

Ada beberapa hal yang patut dicermati dalam kasus ini supaya di kemudian hari kejadian serupa tidak terulang.

Pertama, setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan prosedurnya terlebih dahulu memberitahukan kehendaknya  kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Pemberitahuan itu memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon, dokumen kependudukan yang kesemuanya harus diteliti secara cermat.

Pemeriksaan dokumen kependudukan meliputi kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu.

Di sinilah kepiawaian, kehati-hatian, dan ketelitian Pegawai Pencatat Nikah untuk membedakan akta autentik dengan dokumen palsu sangat dibutuhkan. Kegegabahan dalam memeriksa dokumen berakibat hukum bagi keabsahan perkawinan. Bukan hanya masalah jenis kelamin, agama, status perkawinan, tetapi juga mengenai hubungan hukum dengan wali nikah.

Tampak dalam kasus Icha, KUA secara mudah dikelabui oleh akta di bawah tangan dari dokter yang menerangkan jenis kelamin palsu, KTP palsu, serta wali nikah palsu, sehingga berakibat pernikahannya fasid atau rusak. Pencatat Nikah yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan ke depan harus lebih meneliti dengan cermat apakah syarat-syarat formil dan materiil perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-Undang.

Kedua, Islam mengenal istilah peminangan untuk mengarahkan terjadinya  hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Konsep ta’aruf dalam peminangan adalah metode untuk saling mempelajari, memahami, dan memaklumi kekurangan dan kelebihan pasangan. Perkenalan yang relatif singkat seperti yang dialami Umar dan Icha, terlebih hanya melalui dunia maya, sangat membahayakan karena belum memahami secara utuh karakter, jenis kelamin, asal-usul keluarga masing-masing.  Wajar saja jika setelah menikah kecewa karena tidak sesuai dengan tipe ideal yang diidamkan.

Di samping itu, meskipun peminangan belum menimbulkan akibat hukum, namun peminangan dapat dijadikan momentum bagi masing-masing keluarga mempelai untuk bisa saling mengenal akrab, mengetahui asal-usul atau silsilah keluarga, bibit, bebet dan bobotnya. Ini penting mengingat perkawinan bukan hanya ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri,  tetapi juga ikatan dua keluarga besar menjadi satu jalinan keluarga yang utuh. Tidak jarang masing-masing keluarga saling bermusuhan lantaran tidak ada ikatan batin, sehingga berdampak pada kelanggengan perkawinan mempelai.

Ketiga, resepsi pernikahan merupakan anjuran agama yang sangat besar mafaatnya. Resepsi tujuannya untuk mengumumkan kepada tetangga sekitar dan khalayak bahwa telah terjadi peristiwa perkawinan. Untuk kasus Umar, sebenarnya masyarakat telah membaca tubuh Icha yang tidak seperti lazimnya perempuan. Namun terlepas itu semua, di situlah kira-kira orientasi diadakannya resepsi pernikahan. 

Fasid atau batal?
Fasid dan batal dalam hukum perkawinan adalah dua hal yang berbeda tipis. Fasid diartikan rusaknya perkawinan oleh suatu hal yang sebelum peristiwa itu terjadi, subjek hukumnya tidak mengetahuinya. Sedangkan perkawinan batal berlaku sebaliknya. Perkawinan yang batal menurut  Pasal 70 Kompilasi Hukum Islam, misalnya, apabila suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj`i. Atau perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No 1 Tahun 1974.

Dalam kasus Umar dan Icha,  dikategorikan sebagai pernikahan fasid atau rusak karena dua hal, yakni dilakukan oleh sesama jenis tanpa terlebih dahulu diketahui oleh KUA maupun mempelai laki-laki. Di samping itu wali nikahnya bukan wali nasab ataupun wali hakim sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Sebagaimana diketahui, yang bertindak sebagai wali nikah Icha adalah temannya yang sengaja dibayar untuk memuluskan aksinya. Padahal wali nikah menjadi rukun yang menentukan sah atau tidaknya pernikahan.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pernikahan yang fasid dianggap tidak ada peristiwa hukum (baca: pernikahan) sebelumnya dan tidak pula memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi keduanya sebagai suami-isteri. Sedangkan perkawinan yang batal dianggap ada pekawinan sebelumnya, namun karena ada pembatalan di pengadilan, maka sejak putusan pembatalan berkekuatan hukum, perkawinan dianggap tidak ada lagi. Untuk kasus perkawinan yang batal tidak berlaku surut.

Prosedur hukum
Sejatinya di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun peraturan pelaksananya PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), tidak secara eksplisit menyatakan adanya lembaga nikahul fasid. Kecuali pasal-pasal yang mengatur tentang batalnya perkawinan, yakni pasal 70 sampai dengan 76 Kompilasi Hukum Islam, pasal 27 sampai dengan 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam peraturan perundang-undangan itu memberikan kewenangan absolut kepada Pengadilan Agama untuk memeriksa dan mengadili perkara pembatalan perkawinan yang diajukan oleh pihak-pihak yang berkualitas dan berkepentingan dalam perkara itu.

Kendati undang-undang dan peraturan lain yang berkaitan dengan perkawinan hanya menyangkut  pembatalan perkawinan, namun dalam praktiknya di pengadilan proses penyelesaian perkara pembatalan nikah juga mencakup substansi nikahul fasid. Misalnya, unsur tidak terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan, perkawinan mengandung cacat hukum akibat suatu kebohongan, pemalsuan, kekeliruan atau karena paksaan. Berpijak dari hal itu, meskipun fakta  sosial membuktikan Icha seorang laki-laki, dapat dipahami bahwa proses penentuan status fasid suatu perkawinan tidak serta merta dilakukan dengan mencabut Kutipan Akta Nikah oleh KUA dari tangan yang bersangkutan.

Akta nikah adalah dokumen resmi dan autentik milik Negara yang pencabutannya juga harus dilakukan melalui prosedur hukum yang resmi, bukan dengan cara merampas. Oleh karena itu, harus melalui jalur hukum Pengadilan Agama (PA) sebagai lembaga yang berwenang. PA memanggil pihak terkait, memeriksa dan mengadili berdasarkan bukti-bukti di persidangan untuk kemudian dihasilkan produk putusan. Dalam putusan itulah perkawinan dinyatakan oleh karena hukum bersifat fasid atau rusak sehingga akta nikah bisa dicabut dan dicatat pencabutannya di KUA.


Penulis:


Achmad Fauzi

Hakim Pengadilan Agama Kotabaru, Kalsel.
Alumnus UII Yogyakarta

BACA JUGA: