Hananto Widodo, Dosen Hukum Tata Negara dan Ketua Pusat Kajian Hukum Dan Pembangunan Universitas Negeri Surabaya

Terus naiknya angka penularan COVID-19 membuat beberapa kalangan berpendapat agar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) jangan diperlonggar. Pendapat ini berusaha untuk mengkritisi rencana pemerintah untuk melonggarkan PSBB demi menuju New Normal Era.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah ada istilah pelonggaran atau pengetatan PSBB?

Untuk menjawab, paling tidak ada dua dimensi yang akan dilihat.

Dimensi pertama adalah dimensi normatif. Dimensi normatif tentu akan melihat pada pengertian-pengertian tentang PSBB dalam peraturan perundang-undangan. UU yang mengatur mengenai PSBB dapat kita lihat dalam UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Dalam Pasal 1 angka 11 UU Kekarantinaan Kesehatan menyatakan: “Pembatasan sosial berskala besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.”

PSBB yang diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan kemudian diikuti dengan lahirnya beberapa peraturan perundang-undangan, yakni PP 11/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 9/2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19.

Permenkes PSBB mengatur tentang tata cara persetujuan Menteri Kesehatan terhadap permohonan daerah yang ingin menerapkan PSBB. Sekarang ini ada beberapa daerah yang telah menerapkan PSBB antara lain DKI Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat.

Dalam penerapan PSBB itu tiap-tiap daerah juga membentuk regulasi baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. 

Regulasi yang mengatur mengenai pedoman pelaksanaan di tiap daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota tentu akan mengatur secara detail baik kewenangan pemerintah dalam menerapkan aturan PSS sampai dengan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat yang terdampak.

Kewenangan pemerintah daerah dalam menerapkan aturan PSBB antara lain adalah dalam hal penegakan hukum. Regulasi yang diatur dalam Pergub, Perbup dan Perwali terkait dengan penegakan hukum paling maksimal adalah pengenaan sanksi administrasi bagi pelanggarnya.

Kalau dilhat pada praktik PSBB di beberapa daerah, masyarakat kerap kali melanggar ketentuan-ketentuan yang ada dalam Perwali dan Perbup yang merupakan ujung tombak regulasi dalam penerapan PSBB. Seperti tetap melakukan kegiatan yang berakibat pada tidak diterapkannya physical distancing, tidak memakai masker serta tetap bukanya usaha-usaha yang tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan pokok masyarakat seperti warung kopi dan kafe.

Meskipun terdapat regulasi yang mengatur tentang PSBB di daerah, tetapi kesannya pemerintah daerah enggan untuk bertindak tegas terhadap masyarakat yang melanggar ketentuan PSBB. Instruksi dari pemerintah pusat yang kemudian diamini oleh pemerintah daerah agar masyarakat tidak melakukan mudik kelihatannya juga dilanggar oleh masyarakat.

Belum juga hari raya, mal-mal langsung dipadati oleh masyarakat untuk membeli kebutuhan pokok dalam rangka menyambut hari raya, padahal sebelum ini, mal merupakan tempat yang paling aman dikunjungi oleh masyarakat, karena sejak merebaknya virus korona, mal dapat dikatakan sepi pengunjung.

Dimensi kedua adalah dimensi empirik. Dimensi empirik berbicara mengenai bagaimana penerapan aturan dalam masyarakat. Idealnya antara pasal-pasal yang ada dalam regulasi dan penerapannya di masyarakat tidak terdapat kesenjangan yang begitu lebar.

Namun demikian, jika melihat pada praktik PSBB selama ini dapat dikatakan terdapat kesenjangan yang cukup lebar antara regulasi yang mengatur tentang PSBB dan praktiknya di masyarakat.  Dalam kajian sosiologi hukum banyak perspektif yang bisa digunakan untuk mengkaji lebarnya jarak antara regulasi dan praktik di masyarakat. 

Namun, dari sekian banyak perspektif itu paling tidak ada dua perspektif yang biasa digunakan untuk menilai penyebab ketidakefektifan suatu aturan ketika diterapkan di masyarakat. 

Perspektif pertama adalah perspektif kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat biasanya dikaitkan dengan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap suatu aturan.

Pertanyaannya apakah masyarakat paham dan tahu  terhadap aturan PSBB yang diterapkan oleh pemerintah? Bagaimana konsekuensinya jika masyarakat melanggar ketentuan dalam aturan PSBB?

Mungkin masyarakat paham agar bagaimana jika keluar rumah harus menjaga jarak dengan orang lain, memakai masker dan lainnya. Namun bagaimana dengan konsekuensinya jika mereka melanggar aturan yang ada dalam regulasi ? Tentu tidak semua masyarakat paham tentang ini.

Perspektif kedua adalah penegakan hukum. Dalam penegakan hukum ini bukan hanya melibatkan elemen dari penegak hukum, dalam hal ini pemerintah daerah, tetapi juga masyarakat.

Oleh karena itu, ketegasan penegak hukum dan kepatuhan masyarakat merupakan elemen yang paling penting dalam suksesnya penegakan hukum.

Namun demikian, ada hal yang lebih penting lagi terkait suksesnya PSBB, yakni sinergitas sekaligus koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Akan sangat percuma jika pemerintah daerah tegas terhadap pelanggaran di daerah, tetapi pemerintah pusat kurang mampu untuk mengantisipasi keinginan masyarakat di daerah lain untuk mudik ke tempat asalnya.

Persoalan sinergitas dan koordinasi antarinstansi dan antara pemerintah pusat-daerah merupakan hal yang paling penting terkait dengan sukses tidaknya PSBB.

Oleh karena itu jika PSBB sudah diterapkan maka tidak ada istilah pelonggaran dan pengetatan, karena ketika sudah ada kehendak untuk menerapkan PSBB maka pemerintah harus memiliki komitmen bagaimana agar PSBB ini sukses memutus rantai penularan COVID-19, karena kunci keberhasilan dari PSBB ada pada tangan pemerintah.

BACA JUGA: