Fradhana Putra Disantara, Dicky Eko Prasetio

Tim Peneliti Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan Universitas Negeri Surabaya 
 
 
Mewabahnya pandemi COVID-19 yang berdampak pada negara di dunia untuk memberlakukan langkah hukum darurat.

Di Indonesia, pandemi COVID-19 disikapi dengan dikeluarkannya beberapa instrumen hukum, diantaranya Keppres 11/2020 yang menetapkan pandemi COVID-19 dengan status kedaruratan kesehatan masyarakat, Keppres 12/2020 yang menetapkan pandemi COVID-19 sebagai bencana non-alam nasional, hingga dikeluarkannya Perppu 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan.
 
Status Hukum COVID-19  
 
Inisiatif pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19 dengan berbagai kebijakan dan instrumen hukum sejatinya perlu untuk diapresiasi. Namun apresiasi bukan berarti tanpa kritik.

Hal ini dapat dilihat dalam pemberian status hukum darurat seperti apa yang layak diberikan terhadap pandemi COVID-19. Dalam hal ini, pemerintah seperti bingung dan belum jelas menentukan status hukum COVID-19 apakah merupakan keadaan bahaya sebagaimana dalam Pasal 12 UUD 1945 yang memerlukan pernyataan keadaan darurat oleh pemerintah atau merupakan ihwal kegentingan yang memaksa sebagaimana dalam Pasal 22 UUD 1945.

Alih-alih memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dengan status hukum COVID-19, pemerintah justru mencampuradukkan antara konsepsi “keadaan bahaya” dan “ihwal kegentingan yang memaksa”.
 
Padahal UUD 1945 membedakan kedua konsep tersebut.
 
Perppu 1/2020 Inkonstitusional?
 
Sejatinya, dalam Perppu 1/2020 terdapat tiga isu hukum utama yaitu: pertama, memberikan hak imunitas kepada pejabat yang berwenang dalam melaksanakan tugasnya pada masa pandemi COVID-19. Kedua, tidak diberikannya peran pengadilan untuk turut mengawasi dan menilai tindakan hukum pejabat negara dalam masa pandemi COVID-19. Ketiga, dihilangkannya fungsi anggaran lembaga perwakilan rakyat di masa pandemi COVID-19.
 
Jika dilihat dalam konsep hukum tata negara darurat, sebagaimana yang disampaikan oleh AALF Van Dullemen, bahwa syarat dalam menetapkan hukum darurat itu ada empat yaitu: (i) harus dapat menjadi nyata bahwa kepentingan negara yang tertinggi menjadi taruhannya, oleh karena itu, eksistensi dari suatu negara tercermin dari tindakan suatu negara dalam kondisi darurat tersebut, (ii) tindakan itu merupakan tindakan yang urgen untuk dilakukan sehingga tidak dapat diganti dengan tindakan lain, (iii) tindakan tersebut memiliki sifat sementara, sehingga jika sudah dalam keadaan normal tindakan tersebut tidak dapat diberlakukan kembali, (iv) ketika tindakan diambil parlemen tidak dapat bersidang secara nyata dan sungguh-sungguh.
 
Empat syarat tindakan dalam keadaan darurat tersebut bersifat kumulatif, artinya keempat syarat tersebut harus dipenuhi dan jika tidak terpenuhi maka keadaan darurat tersebut tidak dapat diberlakukan atau cacat.
 
Jika dilihat pada keempat syarat di atas maka Perppu 1/2020 bertentangan dengan dengan beberapa syarat, diantaranya syarat yang kedua (ii), di mana dalam pelaksanaannya hak imunitas pejabat publik harusnya diimbangi dengan peran pengawasan oleh pengadilan. 
 
Hal ini dikarenakan asas good faith yang menjadi parameter perbuatan pejabat publik yang mendapat hak imunitas hanya relevan jika diawasi oleh pengadilan. Alangkah tidak etis jika pejabat publik menilai penerapan asas good faith itu sendiri.
 
Dalam koridor hukum hal ini jelas bertentangan dengan asas nemo judex idoneus in propria causa yang bermakna bahwa tidaklah diperbolehkan seseorang untuk mengadili pada perkaranya sendiri.
 
Selain itu, dalam syarat keempat (iv) penerapan Perppu 1/2020 juga telah mereduksi fungsi anggaran dalam lembaga perwakilan rakyat.
 
Dalam hal ini, semboyan no taxation without representation, because taxation not representation is robbery harus diperhatikan relevansinya karena mereduksi pengawasan lembaga perwakilan rakyat terkait dengan kebijakan anggaran, sekali pun dalam kondisi darurat adalah sama saja dengan “perampokan terselubung”.
 
Apakah dengan demikian Perppu 1/2020 layak untuk dinyatakan sesuai dengan prinsip negara hukum?
 
Bernalar Hagemonik
 
Antonio Gramsci (1971) dalam bukunya yang berjudul Selection From The Prison Notebook menegaskan bahwa kekuasaan agar dapat abadi dan langgeng membutuhkan paling tidak dua perangkat kerja. Pertama, adalah perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat memaksa, kedua, adalah perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata-pranata untuk taat pada mereka yang berkuasa.
 
Jika dilihat dalam kriteria hagemoni di atas, sejatinya penerapan Perppu 1/2020 telah menunjukkan watak hagemonik dengan tiga argumentasi, yaitu: pertama, jika dilihat dari perangkat pertama hagemoni, bahwa memang dalam Perppu 1/2020 tidak terjadi upaya “kekerasan yang bersifat fisik”. Namun, ditetapkannya hak imunitas bagi pejabat publik di masa pandemi COVID-19 dapat dikategorikan sebagai “kekerasan dalam arti lunak” karena potensi untuk penyalahgunaan kekuasaan sangat terlihat dalam Perppu tersebut.
 
Kedua, Perppu 1/2020 memanfaatkan instrumen hukum untuk membuat ketaatan mutlak kepada masyarakat. Dalam hal ini pemerintah berpotensi menjadi constitutional dictatorship maupun melakukan extractive institution yang berpotensi melakukan the unjustifies the means dalam penanganan COVID-19.
 
Ketiga, dengan dihilangkannya pengawasan lembaga pengadilan maka pemerintah dalam kondisi darurat COVID-19 seolah-olah hendak menjadi one man show yang berpotensi menjadi “tirani emergensi”. 
 
Layakkah aturan berjiwa hagemonik seperti Perppu 1/2020 dipertahankan?
 
Kebijaksanaan yang mulia Mahkamah Konstitusi yang akan menjawabnya. Terlebih, pascaputusanya 138/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk membatalkan Perppu yang inkonstitusional.
 
Semoga Mahkamah Konstitusi dapat menggali keadilan subtansial sedalam-dalamnya serta mendasarkan putusannya pada sinar-sinar ketuhanan.
BACA JUGA: