JAKARTA, GRESNEWS.COM - PT Freeport Indonesia tak bisa menghindar dari kewajiban divestasi sahamnya kepada Indonesia. Kendati perusahaan itu ngotot berpegang pada izin Kontrak Karya (KK). Pasalnya, dalam ketentuan KK yang ditandatangani tahun 1991 juga mensyaratkan ketentuan divestasi sahamnya.

Hal itu disampaikan anggota Komisi VII DPR Mukhtar Tompo. Menurut Mukhtar Tompo, Freeport tidak lagi bisa mengelak untuk melakukan divestasi 51 persen sahamnya. Dengan tidak dipenuhinya ketentuan itu, Freeport juga dianggap melanggar KK yang menjadi pegangan kontrak dengan Indonesia.

"Kontrak Karya itu ditandatangani 30 Desember 1991. Seharusnya paling lambat 30 Desember 2011, divestasi 51% saham Freeport sudah dilakukan kepada pihak Indonesia. Kalau begini, siapa yang melanggar Kontrak Karya?" kata anggota Komisi VII itu kepada gresnews.com, Senin (12/3).

Mukhtar mengungkapkan, dalam Kontrak Karya (1991) Pasal 24 ayat (2) bagian b, sangat jelas adanya kewajiban untuk menawarkan divestasi saham 51 persen melalui Bursa Efek Jakarta atau melalui mekanisme lainnya kepada nasional.

Ada pun ketentuan Kontrak Karya (1991), Pasal 24, ayat 2 (b) ditegaskan "…perusahaan diharuskan menjual atau berusaha menjual pada penawaran umum di Bursa Efek Jakarta, atau dengan cara lain kepada Pihak Nasional Indonesia dengan saham-saham yang cukup untuk mencapai suatu jumlah yaitu 51% dari modal saham perusahaan yang diterbitkan, tidak lebih lambat dari ulang tahun ke-20 (dua puluh) tanggal ditandatanganinya persetujuan ini" (Hal 79).

Dengan begitu, tidak ada alasan bagi PT Freeport Indonesia bisa lepas dari ketentuan divestasi saham tersebut. Selama ini, sambung Tompo, Freeport selalu berlindung dibalik Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah dan Freeport 25 Juli 2014. Dalam MoU tersebut, memang ada klausul bahwa divestasi saham hanya diwajibkan 30 persen saja sampai 2019.

Kendati demikian, Tompo menuturkan MoU itu baru ada setelah ketentuan divestasi dalam aturan KK yang berakhir pada 2011. Artinya, dibalik sikapnya yang berlindung dibalik MoU, Freeport juga telah melanggar KK itu sendiri.

"Saya tegaskan, tambang yang dikelola Freeport bisa diambil alih oleh BUMN yang bergerak di bidang pertambangan, seperti PT Antam Tbk, yang telah berpengalaman," pungkasnya politisi asal Sulawesi Selatan ini.

DIKELOLA SENDIRI - Lebih jauh Tompo menegaskan, bahwa Indonesia telah memiliki sumber daya manusia (SDM) yang kompeten untuk mengolah tambang di Papua, kalau tambang  Freeport diserahkan pengelolaannya ke dalam negeri. Bahkan menurutnya,  dia pernah menanyakan kepada PT Antam Tbk,  mereka Antam menyanggupi bila diserahi pengelolaan tambang Freeport.

Hanya saja, sambung Tompo, perlu ada komitmen pemerintah untuk mewujudkannya. Kalau pemerintah juga lemah dalam negosiasi itu, maka keinginan untuk merebut kembali Freeport tidak akan pernah terwujud.

"Jika tidak, maka saya anggap pemerintah hanya main-main. Tidak ada bedanya dengan Freeport," kata Tompo.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdninand Hutahaean menilai komitmen pemerintah belum maksimal mewujudkan keinginan pemerintah untuk mengelola tambang emas Freeport. Perubahan dari KK menjadi IUPK tidak bisa menjadi alasan bagi Freeport untuk melakukan ekspor karena ekspor mineral mentah telah dilarang.

"Pemerintah jangan menyiasati UU Minerba dengan rejim KK atau IUPK," ujar Ferdinand kepada gresnews.com melalui pesan singkatnya, Sabtu, 11 Februari 2017.

Aturan yang ada, seperti dalam masalah ekspor, pemerintah menurutnya terkesan menyiasati dengan memberikan IUPK agar proses ekspor bisa dilakukan. Padahal, dalam UU Minerba sendiri telah melarang melakukan ekspor konsentrat.

"Semangat dalam UU Minerba adalah melarang semua ekspor mineral mentah tanpa melihat status KK atau IUPK. Dengan demikian pemerintah ini patut disebut melanggar UU jika membiarkan Freeport ekspor," ujar Ferdinand.

BACA JUGA: