Korupsi Korporasi di Balik Tambang Ilegal Lumajang
JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengusutan kasus kegiatan penambangan pasir ilegal di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, yang menewaskan seorang petani penentang tambang Salim Kancil dinilai belum menyentuh aktor utamanya. Polisi memang sudah menetapkan 33 tersangka dan memeriksa tiga oknum polisi yang diduga terlibat. Namun polisi belum menyentuh pemilik tambang pasir ilegal itu.
Dari hasil penyelidikan awal Komisi III DPR RI terungkap, di balik kasus pembunuhan Salim Kancil ini memang bukan kasus kriminal biasa. Diketahui ada bau kasus pencucian yang diduga dilakukan oknum kepala desa setempat bernama Haryono.
Anggota Komisi III Muslim Ayub mengatakan hasil investigasi jelas menyatakan terdapat aktor intelektual dalam kasus ini. Secara tersirat ia menyatakan keterlibatan usaha pertambangan ilegal yang melibatkan PT Indo Modern Mining Sejahtera (IMMS) sebagai dalang di balik ini semua.
Bahkan secara gamblang, anggota Komisi III Dossy Iskandar Prasetyo dari Fraksi Partai Hanura menyinggung juga nama pengusaha di balik PT IMMS Setiadi Laksono Halim yang kerap dipanggil Jensey. "Jensey ini adalah Dirut PT Mutiara Halim Lumajang. Bagaimana latar belakang Jensey?" tanya Dossy seraya meminta agar bisnis tambang Jensey diusut.
DPR juga menyinggung keterlibatan oknum DPRD dalam kasus ini. Dan entah kenapa ketika nama Jensey disebut, Ketua DPRD Lumajang Agus Wicaksono mendadak emosi. "Saya ingatkan, di forum ini banyak media, ketika anda menyampaikan nama Jensey, Jensey itu orangnya hidup dan mati alias dalam kondisi sakit-sakitan," kata Agus.
Dia mengaku tidak senang dan tidak terima atas penyebutan nama mantan Kapolres Lumajang AKBP Aris Syahbudin dan nama Jensey. "Saya tidak terima, saya sudah lama berkumpul dengan dia (mantan Kapolres). Anda di sini hanya empat jam saja yang tidak tahu persis bagaimana situasi Lumajang," tegas Agus dengan nama emosi.
Atas dasar temuan itulah, polisi memang diminta untuk mengungkap dalang utamanya, bukan aktor-aktor lapangan yang saat ini tengah diperiksa. Alasannya, pasir-pasir yang ditambang itu ditampung oleh perusahaan yang diduga aktor utama kasus ini.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Anton Charlyan mengatakan, polisi terus mengembangkan kasus ini dan tidak berhenti hanya pada penyidikan ke-33 tersangka. Polisi, kata dia, masih mencari aktor utama dan pemodalnya.
Anton meminta masyarakat sabar karena kasus ini melibatkan banyak pihak. "Kita sedang kembangkan tapi belum bisa ungkapkan, siapa-siapa saja yang membekingi, pemodalnya atau yang menikmatinya," kata Anton di Mabes Polri, Selasa (13/10).
Polisi juga mengaku tengah mengusut keterlibatan oknum polisi yang diduga menerima suap dari pertambangan pasir ilegal itu lewat Hariyono, sang Kepala Desa Selok Awar-Awar. Mereka adalah Kapolsek Pasirian, Babinkamtibmas dan Kanit Reserse.
Ketiganya kini tengah diperiksa Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri dan Polda Jatim. "Mereka terkena (kasus) gratifikasi," kata Kadiv Propam Irjen Budi Winarso di Mabes Polri beberapa waktu lalu.
Ketiga oknum polisi itu sendiri saat ini sudah memasuki persidangan secara etik. Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol RP Argo Yuwono mengatakan, sidang pertama sudah digelar pada Jumat pekan lalu. Dalam rangkaian persidangan ini, akan dihadirkan juga saksi-saksi seperti Hariyono dan Tosan, rekan Salim yang ikut dianiaya namun berhasil diselamatkan.
UNGKAP KORUPSI TAMBANG - Aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Ki Bagus Hadikusumo mengatakan, langkah penyidikan yang telah dilakukan polisi masih jauh dari harapan untuk mengungkap siapa dalang penambangan pasir ilegal tersebut. Terbukti dalam persidangan etik di Kepolisian saksi yang dihadirkan hanya mengungkap aliran dana hasil pungutan liar belum sampai ke arah mana pasir-pasir tersebut diangkut.
Ki Bagus mendesak polisi mengungkap kasus korupsi korporasi di belakang pertambangan pasir itu, dalam hal ini dugaan peran PT IMMS. Alasannya, akibat korupsi tersebut negara telah dirugikan miliaran rupiah. "Penyidik harus kejar itu, korupsinya sangat besar," kata Ki Bagus kepada gresnews.com, Rabu (13/10).
Hingga kini penyidikan kasus penambangan ilegal ini terkesan hanya berputar soal pungutan liar dan aliran dananya. "Penyidik harus ungkap perusahaan yang menampung hasil penambangan ilegal. Polisi juga harus berani menindaknya," kata Ki Bagus.
Menurut Ki Bagus, kasus penambangan ilegal ini pernah disidik Kejaksaan Tinggi Jawa Timur pada 2010 silam. Telah ada tersangka yaitu mantan Bupati Lumajang. Namun kasus ini tak berlanjut.
Saat itu telah ada hasil audit dari BPKP terkait kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp5 miliar. Itu baru dari retribusi yang ke luar. Belum lagi pajak dan royaltinya yang ditaksir lebih besar. Apalagi jika dihitung akumulatif hingga 2015. "Jika serius polisi harus ungkap itu," tandas Ki Bagus.
Karenanya Jatam bersama LSM lingkungan lain akan meminta KPK untuk turun tangan. Apalagi sebelumnya telah ada laporan kasus yang sama namun belum ada ditindaklanjuti KPK.
Ki Bagus mengatakan, sejak awal Kades Hariyono selalu sesumbar di depan masyarakat agar melaporkan dirinya ke polisi supaya ditangkap. Namun itu tak pernah terjadi.
Karena itu muncul dugaan ada bekingan dari aparat setempat. "Saya yakin yang beking bukan tingkat Polres tapi sudah di atasnya," terang Ki Bagus.
Terbukti dalam persidangan etik di Kepolisian, Kades Haryono mengakui memberikan uang kepada oknum polisi dari Polsek Pasirian. Uang tersebut diberikan ketika oknum polisi mendatangi rumahnya. Uang yang diberikan besarannya Rp200-300 ribu.
PENCUCIAN UANG - Dari hasil pemeriksaan sementara, soal pencucian uang, Hariyono memang mengaku menerima uang sebesar Rp426 juta yang diperoleh dari tambang pasir pantai ilegal. Uang itu saban bulan disebar kemana-mana mulai aparat keamanan, pejabat desa, hingga aktivis.
Hariyono menjelaskan, Iksan Umar, yang disebut-sebut sebagai aktivis, menerima Rp250 ribu per bulan. Pemberian itu berjalan selama 3 bulan. "Kemudian sampai kejadian ini (pembunuhan Salim Kancil dan penganiayaan Tosan) sudah tidak menerima lagi," kata Hariyono saat bersaksi dalam sidang disiplin 3 oknum polisi di Mapolda Jatim, Senin (12/10).
Menurut Hariyono, Salim Kancil juga pernah menerima Rp1 juta. Salim mendatangi kades dan meminta uang lagi. Namun ditolak Kades, karena Salim sudah memiliki penambangan pasir ilegal di sungai Mujur, Desa Lempeni.
"Saya akui penambangan pasir ilegal. Salim juga punya penambangan di Sungai Lempeni juga ilegal," terangnya.
Hariyono menerangkan dirinya menerima Rp142 ribu per truk pasir yang ditambang. Dalam sehari, ada 80-100 truk yang keluar masuk ke pantai. Total, dalam sebulan, uang terkumpul sekitar Rp426 juta.
Hariyono mengaku memberi Rp10 ribu per rit (truk) ke Tim 12. Untuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Rp5 ribu per rit. Ketua LMDH 10 ribu per rit. Untuk paguyuban perawatan jalan Rp18 ribu. Untuk Harmoko (pengurus penyewaan alat berat) Rp2.500 per rit. Rp2 ribu untuk sumbangan pembangunan dua masjid di Desa Selok Awar-Awar.
"Pengelolaan keuangan saya kelola untuk pembangunan tata wisata, akses jalan, juga untuk biaya-biaya di sana dan kegiatan di desa," kata Hariyono.
Penambangan mulai dilakukan pada pertengahan 2014 lalu. Hariyono tak menjelaskan perolehan bersihnya tiap bulan. Namun polisi menduga, sebagian uang hasil tambang ilegal digunakan untuk kepentingan pribadi Hariyono.
Karena itu, selain sebagai tersangka illegal mining dan pembunuhan Salim Kancil, Hariyono ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang.
Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol RP Argo Yuwono mengatakan, alasan Hariyono dijerat TPPU karena uang hasil dari illegal mining digunakan untuk membelikan benda bergerak dan tidak bergerak.
"Dari hasil pemeriksaan illegal mining, ternyata uangnya dibelikan benda bergerak dan tidak bergerak kemana-mana. Uang yang dibelikan itu patut dicurigai dari uang yang tidak benar," tuturnya.
Hasil pemeriksaan sementara, uang hasil dari penambangan pasir liar yang dilakukan Kades Hariyono digunakan untuk membeli rumah, merenovasi rumah, dan membelikan mobil Nissan Evalia. "Sementara ini yang sudah kita amankan sebagai barang bukti mobil Evalia," tandasnya. (dtc)
- 2 Petani Lahat Tewas, Wilmar International Dkk Didesak Putus Rantai Pasok Bukit Barisan Indah Prima
- Kekayaan Alam Dikuasai Asing, Rakyat Tak Sejahtera
- Petani Jambi Longmarch Tagih Penyelesaian Konflik Tanah
- Bau Pencucian Uang di Kasus Pembunuhan Salim Kancil
- Konflik Agraria dan Terbunuhnya Salim Kancil
- RUU Pertanahan Untuk Siapa?