JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menolak praperadilan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) terkait kasus dugaan korupsi pembelian lahan Cengkareng, Jakarta Barat. Penolakan tersebut lantaran kasus ini berada di luar lingkup kewenangan sebagaimana diatur Pasal 77 KUHP.

Hakim Tunggal Fauziah Hanum dalam pertimbangannya menyatakan, bahwa dari bukti-bukti yang diajukan di persidangan oleh para pemohon dan termohon tidak ada satu bukti yang menunjukkan adanya pemberitahuan penetapan atau penghentian penyidikan.

"Menimbang bahwa sepanjang surat penghentian penyidikan belum terbit, maka secara hukum permohonan praperadilan belum ada objek hukumnya. Dengan kata lain praperadilan tidak mengenal adanya penghentian penyidikan secara materil atau diam-diam," kata Fauziah di persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang diikuti oleh Gresnews.com Selasa (9/3/2021).

Kemudian Fauziah melanjutkan pertimbangannya tersebut. Bahwa sebagaimana dari pertimbangan diatas maka objek permohonan praperadilan yang diajukan pemohon bukanlah objek materi praperdilan sebagaimana diatur KUHP maupun UU Tipikor.

"Dan permohonan yang diajukan para pemohon tersebut berada di luar lingkup kewenangan sebagai mana diatur pasal 77 KUHP. Sehingga dengan demikian eksepsi termohon 1 tersebut harus dikabulkan," jelasnya.

Maka majelis hakim menolak dalil-dalil gugatan praperadilan pemohon atau tidak dipertimbangkan.

Selanjutnya, majelis hakim memutuskan untuk mengabulkan keberatan permohonan termohon 1 praperadilan mengenai penghentian penyidikan secara diam-diam karena bukan kewenangan praperadilan.

"Mengadili dalam eksepsi mengabulkan permohonan termohon 1 praperadilan mengenai penghentian penyidikan secara diam diam tidak termasuk kewenangan praperadilan," pungkasnya.

Sementara, Koordinator MAKI, Boyamin Soiman menanggapi putusan tersebut dengan menghormati putusan hakim.

"Hormati putusan hakim, ya tidak diterimanya gugatan, saya bulan depan ajukan lagi. Dulu praperadilan Century itu dikabulkan yang keenam, paling tidak masih ada dua lagi," kata Boyamin kepada para wartawan yang diikuti Gresnews.com usai persidangan.

Sebelumnya MAKI telah beberapa kali mengajukan gugatan praperadilan yang sama. Namun majelis hakim menolak gugatan tersebut. Dan kini MAKI untuk yang keempat kalinya mengajukan gugatan praperadilan karena dianggap kasus tersebut tidak berlanjut.

Menurutnya, MAKI tidak akan menyerah atas putusan majelis hakim tersebut. Dan akan mengajukan kembali hingga perkara itu dilanjutkan.

"Prinsipnya jangankan enam kali, 20 kali, 100 kali, saya ajukan perkara ini sampai perkara ini diproses lebih lanjut," jelas Boyamin.

"Ini baru keempat, ya saya ajukan lagi bulan depan saya tidak kenal cape lah. Soalnya gugatan praperadilan kan tidak mengenal Nebis In Idem, sampai paling engga 18 tahun-lah," ujarnya.

Ia menuturkan bahwa perkara korupsi itu kadaluarsanya sampai 18 tahun. Boyamin yakin nanti akan ada hakim yang mengabulkan ketika kasus ini mangkrak, tidak bergerak.

"Dan nanti akan diambil, harus dipastikan hukum ini mau dilanjut atau dihentikan," tegasnya.

Boyamin berharap kalau nanti ada hakim yang menyidangkan perkara tersebut akan mempertimbangkan dua hal yang diatur undang-undang, yaitu berhenti atau lanjut.

"Karena kami sebagai masyarakat anti korupsi ingin perkara korupsi itukan cepat, tapi kalau seperti ini terpaksa gugat, ya kami gugat," tandasnya.

Sebelumnya, MAKI kembali mengajukan gugatan praperadilan terkait kasus korupsi lahan Cengkareng, Jakarta Barat. Praperadilan itu diajukan terhadap Kapolda Metro Jaya terkait tidak sahnya penghentian penyidikan (SP3).

Dia mengajukan praperadilan atas Kapolda Metro Jaya sebagai termohon I, Kajati DKI Jakarta termohon II, Ketua Komisi Kepolisian Nasional termohon III, Ketua KPK termohon IV. Gugatan praperadilan serupa sebenarnya pernah dilayangkan, tetapi hakim menolak gugatan tersebut. Namun, MAKI kembali mengajukan gugatan praperadilan karena dianggap kasus tersebut tidak berlanjut.

Alasan mereka mengajukan gugatan itu salah satunya karena MAKI menilai tahun 2015, Dinas Perumahan dan Gedung Perkantoran Provinsi DKI Jakarta melakukan pembelian lahan seluas 46 hektare untuk pembangunan rumah susun, dengan harga Rp 668 miliar. Dana tersebut bersumber dari dana APBD DKI.

Kemudian berdasarkan audit BPK dalam LHP keuangan Pemprov DKI tahun 2015, lahan yang dibeli Pemprov DKI Jakarta ternyata tercatat sebagai aset milik Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan DKI Jakarta. Pemprov DKI Jakarta diduga telah mengeluarkan dana yang bersumber dari dana APBD untuk membeli tanahnya sendiri, tapi uang dari dana APBD tersebut diduga diberikan kepada pihak lain.

Pembelian lahan itu kemudian mendapat sorotan dari Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selaku Gubernur DKI saat itu. Ahok menuding ada mafia dalam pembelian tanah itu. Dia meminta BPK melakukan audit.

BPK kemudian melakukan klarifikasi terkait pembelian lahan oleh Pemprov DKI untuk Rusun di Cengkareng Jakarta Barat. BPK menilai ada dugaan pembelian yang menyimpang dan berpotensi merugikan negara.

Kasus tersebut selanjutnya ditangani Bareskrim Polri dengan mengirimkan SPDP kepada Kejaksaan Agung pada 29 Juni 2016, tetapi tak disertai nama tersangkanya. Kemudian kasus tersebut dilimpahkan ke Polda Metro Jaya. Namun, MAKI menyebut hingga permohonan diajukan ke PN Jaksel, tidak terdapat tersangka yang ditetapkan oleh polisi. (G-2)

BACA JUGA: