JAKARTA- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai performa Kejaksaan Agung di bawah kepemimpinan ST Burhanudin kerap menimbulkan persoalan. ICW pun mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta untuk ST Burhanuddin diberhentikan dari jabatannya sebagai Jaksa Agung Republik Indonesia (RI) pada hari Jum`at, 23 Oktober 2020 kemarin.

Menurut Peneliti ICW Kurnia Ramadhan bahwa hal itu terutama terkait penanganan perkara buronan kasus korupsi hak tagih Bank Bali Joko S Tjandra, yang juga menyeret Jaksa Pinangki Sirna Malasari.

"Indonesia Corruption Watch mencatat setidaknya ada tiga catatan penting yang harus diperhatikan dengan seksama, terkait kinerja Kejaksaan Agung dalam membongkar praktik korupsi yang melibatkan Pinangki Sirna Malasari," kata Kurnia melalui rilis yang diterima Gresnews.com, Senin, (26/10/2020).

Kurnia melanjutkan, tiga hal tersebut pertama, Kejaksaan Agung mengabaikan fungsi pengawasan dari Komisi Kejaksaan (Komjak), yang telah secara aktif mengirimkan panggilan pemeriksaan kepada Pinangki Sirna Malasari sebanyak dua kali.

Kedua, Kejaksaan Agung terkesan ingin "melindungi" Pinangki Sirna Malasari. Ada dua indikasi dua kejadian yang menjadi dasar dugaan tersebuy.

Yakni penerbitan dan pencabutan Pedoman Jaksa Agung Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pemberian Izin Jaksa Agung Atas Pemanggilan, Pemeriksaan, Penggeledahan, Penangkapan, dan Penahanan Terhadap Jaksa Yang Diduga Melakukan Tindak Pidana dalam waktu singkat.

"Juga wacana pemberian bantuan hukum dari institusi Kejaksaan kepada Pinangki Sirna Malasari," jelasnya.

Ketiga, Kejaksaan Agung diduga tidak melakukan koordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada setiap tahapan penanganan perkara. Di luar itu, Kejaksaan Agung bahkan sudah terbukti melakukan tindakan maladministrasi berupa penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang dalam penanganan perkara Joko S Tjandra.

"Temuan ini merujuk pada pernyataan Adrianus Meliala dan Ninik Rahayu, Anggota Ombudsman Republik Indonesia pada awal Oktober 2020," terang Kurnia.

Menurut Kurnia, berdasarkan alasan-alasan di atas, ICW memandang bahwa ST Burhanuddin telah gagal mengemban tugas sebagai Jaksa Agung Republik Indonesia.

"Kejaksaan Agung di bawah kepemimpinannya, justru tidak mampu menunjukkan profesionalitas dalam menangani perkara Pinangki Sirna Malasari," pungkasnya.

ST Burhanuddin merupakan Jaksa Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) 2010-2014 era Jaksa Agung Basrief Arief. Mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan itu memasuki purna tugas pada tahun 2014. Ia adalah adik dari juga kader PDIP TB Hasanuddin.

Jaksa Agung ST Burhanudin tersandung kasus Joko Tjandra misalinya dalam masalah komunikasi Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel), Jan Samuel Maringka dengan Joko Tjandra.
Sebelum Jan Samuel Maringka diperiksa Komisi Kejaksaan (Komjak) dicitrakan bertindak sendiri, ternyata tidak.

Hasil pemeriksaan Komjak, Jan Maringka berada dalam koridor kordinasi dengan Jaksa Agung, ST Burhanudin. Ini berarti tindakan Jan Maringka adalah tindak resmi institusi Kejaksaan karena diperintah resmi oleh Jaksa Agung.

Dan hasilnya juga sudah dilaporkan kepada Jaksa Agung sebagai user dari operasi inteljen Kejaksaan.

Fakta yang ditemukan Komjak setelah memeriksa Jan Maringka, sangat menarik. Mantan Jamintel yang sekarang telah dimutasi menjadi Staf Ahli Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara mengaku berkomunikasi dengan Joko Tjandra dua kali lewat telefon.

Komunikasi antara Jan Maringka, dan Joko Tjandra terjadi pada 2 dan 4 Juli 2020. Akan tetapi, Komjak menilai hubungan via telefon Jan Maringka, dan Joko Tjandra terkait kedinasan dan fungsi intelejen.

Komunikasi tersebut meminta Joko Tjandra mengakhiri status buronan, dengan pulang ke Indonesia untuk menjalankan keputusan Mahkamah Agung (MA) 2009. Keputusan MA 2009 memvonis Joko Tjandra dua tahun penjara dalam kasus korupsi hak tagih utang Bank Bali 1999.

Namun, kejaksaan tak dapat mengeksekusi putusan tersebut karena Joko Tjandra berhasil kabur ke Papua Nugini sehari sebelum MA membacakan vonis. Pada 30 Juli 2020, Joko Tjandra, berhasil ditangkap di Kuala Lumpur, Malaysia, dan dibawa kembali ke Indonesia untuk menjalankan eksekusi dua tahun penjara.

Terungkapnya komunikasi antara Jan Maringka dan Joko Tjandra, serta peran Jaksa Agung ST Burhanuddin, membuat terang peran pejabat tinggi Kejakgung itu, dalam pusaran skandal hukumnya. (G-2)

BACA JUGA: