JAKARTA - Usai Bareskrim Polri menyampaikan puntung rokok sebagai penyebab kebakaran Gedung Kejaksaan Agung, publik bereaksi. Mereka tidak percaya begitu saja bila puntung rokok menjadi penyebabnya.

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) meminta penyidik Bareskrim melakukan rekonstruksi di Tempat Kejadian Perkara (TKP) Gedung Kejaksaan Agung setelah menetapkan delapan orang tersangka kemarin.

Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan terhadap proses penyidikan Bareskrim yang menetapkan tersangka atas kebakaran gedung Kejaksaan Agung kemarin saya tetap pada posisi menghormati proses-proses itu.

"Karena apapun ya yang dilakukan sudah sesuai koridor berusaha mencari penyebab kebakaran," kata Boyamin kepada Gresnews.com, Sabtu (24/10/2020).

Lanjut Boyamin, siapa-siapa yang diduga terkait atau terlibat dengan kebakaran tersebut. Ia juga tetap menghormati penetapan delapan orang tersangka mulai dari tukang sampai pemilik PT yang melakukan PH (Perjanjian Hubungan).

"Kemudian sampai pada posisi pejabat Kejaksaan Agung yang menunjuk PT tersebut untuk melakukan rehab di lantai 6 gedung Kejaksaan Agung," jelasnya.

Meskipun demikian, kata Boyamin, ia tetap mengkritisinya untuk menjawab keraguan masyarakat. Karena proses selalu ditanyakan, kenapa hanya puntung rokok bisa membakar semua gedung.

Maka Boyamin meminta kepada Bareskrim segera melakukan rekonstruksi di Gedung Kejaksaan Agung. Apa yang terjadi hari itu, mulai misalnya jam 12 atau mulai pagi, terus kemudian apa yang mereka kerjakan, sampai titik pada saat mulai adanya kebakaran, misalnya puntung rokok, bagaimana itu bisa membesar, dan apakah memang betul mereka berusaha memadamkan?

"Kalau memang berusaha memadamkan, meskinya kan bisa padam," katanya.

Menurutnya, pertanyaan masyarakat ini harus segera dijawab oleh penyidik Bareskrim dengan melakukan rekonstruksi secara terbuka dan dapat diliput oleh media massa. Bahkan kalau perlu disiarkan langsung proses-proses itu secara se-transparan mungkin.

"Dan pada posisi tertentu masyarakat bisa memberikan penilaian," ujarnya.

Selanjutnya, kata Boyamin, Ia meminta kepada Kepolisian dalam hal ini penyidik untuk tetap membuka opsi Pasal 187 KUHP tentang sengaja membakar, bukan hanya sekedar Pasal 188 yang lalai terjadinya kebakaran.

"Karena apa? setidaknya pada proses kalau toh memang bener ini diduga dilakukan oleh tukang-tukang tersebut, setidaknya itu adalah merokok di tempat yang dilarang merokok. Artinya itu berarti kan bisa lalai yang berwarna sengaja. Teorinya lalai itu kan istilahnya ada teori berwarna dan tidak berwarna. Dan juga kalau toh juga kesalahan itu bisa aja sedikit lalai atau sedikit sengaja itu maka pasal 187 itu tetap dibuka," terangnya.

Boyamin pun mengatakan hal itu juga didasari dari penyidikan 2 minggu atau 3 minggu yang lalu sebelum penetapan tersangka memang sudah dikenakan pasal 187 dan 188.

"Jadi artinya tetap dibuka kemungkinan opsi penerapan pasal 187, yaitu sengaja terjadinya kebakaran," cetusnya.

Boyamin tetap meminta agar segera hal itu dituntaskan untuk segera dilimpahkan ke Kejaksaan dan kemudian dibawa ke pengadilan. Sehingga akan bisa dilihat oleh publik hal-hal yang mungkin nanti akan terungkap pada persidangan, dan akan bisa dikembangkan oleh teman-teman Bareskrim jika ada fakta baru, bukti baru maupun keadaan baru yang memungkinkan masih ada pihak-pihak lain yang diduga terlibat atau lebih bertanggung jawab.

"Kemudian juga proses ini saya berharap betul ke temen-temen penyidik itu tidak ewuh pakewuh dengan Kejaksaan. Karena nanti saya kuatir ini, penyidik ini pakewuh karena nantinya berkas perkara diserahkan pada Kejaksaan sehingga menjadi ada sesuatu dugaan kompromi," imbuhnya.

Ia berharap penyidik tetap profesional dan tetap memberikan opsi semua kemungkinan-kemungkinan yang mungkin akan diduga terlibat atau tidak terkait penyidikan seterusnya.

Pada posisi tertentu semua hal yang bisa menjadi kecurigaan di masyarakat bisa ditindaklanjuti dan dianalisis. Kemudian disampaikan pada masyarakat analisanya.

"Karena masyarakat itu selalu curiga, masa sebuah puntung rokok aja bisa membuat seluruh gedung terbakar, atau bahasa imajinasi kita gitu, dari rangkaian itu kan kalau dalam film itu kan, ada pembunuh bayaran bisa aja juga ada pembakar bayaran," tuturnya.

"Karena ini, apapun proses ini kan bisa aja banyak hak orang atau pihak yang merasa diuntungkan dengan kejadian kebakaran ini," sambungnya.

Misalnya, kata Boyamin, terkait sejak awal hilangnya atau terbakarnya CCTV di Gedung Utama Kejaksaan Agung itu terkait dengan rangkaian permohonan fatwa terhadap rencana membebaskan Joko Tjandra yang diduga dilakukan oleh oknum Jaksa PSM (Pinangki Sirna Malasari) yang sekarang sedang disidangkan.

Setidaknya kegiatan orang-orang tersebut tidak terpantau, tidak ada barang bukti yang lebih konkrit. Karena prosesnya ini menjadi hilang semua. Oknum jaksa PSM itu pernah ditemui siapa atau menemui siapa?

Dalam kondisi posisi yang penting seperti ini menjadi sesuatu yang dapat menghambat proses penyidikan. Karena peristiwa-peristiwa ini menjadi seperti terputus dan terpotong.

"Kemudian tidak bisa dirangkai dalam suatu benang merah yang sangat bisa membuat proses hukum ini bisa digambarkan ulang dan bisa diproses ke persidangan," tandasnya.

Sebelumnya Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Ferdy Sambo mengatakan titik api kebakaran Gedung Kejaksaan Agung disebabkan oleh rokok yang dibakar oleh tukang atau kuli yang sedang mengerjakan proyek pembangunan di gedung tersebut.

Dari hasil penyelidikan diketahui bahwa asal mula api berasal dari Aula Biro Kepegawaian yang berada di Lantai 6. Di lokasi itu, ada lima tukang bangunan yang sedang melakukan pengerjaan proyek pembangunan di sana.

"Mereka juga melakukan tindakan yang seharusnya tidak boleh mereka lakukan, yaitu mereka merokok di ruangan tempat mereka bekerja," kata Sambo di Mabes Polri, Jumat (23/10).

Padahal, kata Sambo, di lokasi itu banyak benda-benda yang mudah terbakar, seperti tinner, lem aibon, dan sebagainya.

Atas dasar itu maka penyidik menyimpulkan bahwa kebakaran itu disebabkan oleh kelalaian kelima tukang tersebut. Mereka seharusnya tidak merokok, karena itu bahan berbahaya," ujarnya.

Dalam kasus kebakaran Gedung Kejagung ini, kasus kebakaran gedung utama Kejaksaan Agung.

Mereka dijerat dengan Pasal 188 KUHP dan atau Pasal 55 KUHP dan atau Pasal 56 KUHP. "Delapan orang tersangka," ujar Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono, Jumat (23/10).

Kebakaran besar di gedung utama Korps Adhyaksa ini terjadi pada 22 Agustus 2020. Api menjalar dengan cepat karena material bangunan mudah terbakar.

Seluruh gedung utama pun hangus terbakar, termasuk ruang Jaksa Agung ST Burhanuddin, serta ruang oknum Jaksa yang terlibat kasus Joko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari. Spekulasi soal sabotase pun mencuat.

Polisi membuka penyelidikan guna mencari tahu penyebab kebakaran tersebut. Pada Kamis (17/9), polisi menemukan dugaan tindak pidana dalam insiden tersebut.

Seluruh gedung utama pun hangus terbakar, termasuk ruang Jaksa Agung ST Burhanuddin, serta ruang oknum Jaksa yang terlibat kasus Joko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari. Spekulasi soal sabotase pun mencuat.

Polisi membuka penyelidikan guna mencari tahu penyebab kebakaran tersebut. Pada Kamis (17/9), polisi menemukan dugaan tindak pidana dalam insiden tersebut. (G-2)

 

BACA JUGA: