JAKARTA - Direktur Utama Direktur Utama PT Compact Microwave Indonesia Teknologi (PT CMI Teknologi) Rahardjo Pratjihno terbukti bersalah melakukan korupsi di Badan Keamanan Laut (Bakamla) tahun anggaran 2016.

Proyek yang dimaksud ialah pengadaan Backbone Coastal Surveillance System (BCSS) yang terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System (BIIS) yang telah merugikan keuangan negara sebesar Rp63,829 miliar.

"Dengan ini menyatakan bahwa terdakwa dijatuhi pidana 5 tahun penjara dan denda Rp600 juta dan subsider 6 bulan kurungan," kata Ketua Majelis Hakim Muslim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diikuti oleh Gresnews.com, Jumat (16/10/2020).

Hakim juga menjatuhkan pidana tambahan dengan membayar uang pengganti atas kerugian keuangan negara Rp15 miliar selambat-lambatnya 1 bulan setelah hakim menetapkan putusan ini. Apabila terdakwa tidak mampu membayar maka harta benda disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti dan jika tidak punya uang pengganti maka dipidana penjara selama 3 tahun.

Hal tersebut ditetapkan dari berbagai pertimbangan Majelis hakim sebelumnya. Antara lain barang bukti berupa nomor rekening yang telah disortir dan tanah yang disita dan uang pengganti sebesar Rp15 miliar yang dibayar oleh terdakwa atau hasil lelang penting maka diperintahkan untuk dikembalikan kepada terdakwa.

"Menimbang bahwa dalam pemeriksaan dalam persidangan pada diri terdakwa Rahardjo tidak ditemukan hal-hal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik karena alasan pembenar maupun karena alasan pemaaf," kata Muslim.

Maka menurut Muslim, harus dinyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 2 ayat 1 UU nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 junto pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP pidana maka Terdakwa harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya menurut hukum.

Majelis hakim juga menyampaikan keterangan mengenai hal-hal yang memberatkan terdakwa Rahardjo. Terdakwa dianggap tidak sejalan dengan program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi dan tidak mengakui perbuatannya tersebut.

Selain itu, hal-hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya.

"Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan, menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan," tegasnya.

Sebelumnya Rahardjo dituntut oleh JPU KPK pidana penjara selama 7 tahun. Sehingga vonis hakim lebih ringan dari tuntutan JPU tersebut.

Rahardjo dituntut oleh JPU KPK dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana Dakwaan Primair.

Dengan menjatuhkan pidana penjara selama tujuh tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp600 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan.

Dan pidana tambahan berupa membayar Uang Pengganti kepada negara sebesar Rp60,3 miliar. Dengan ketentuan jika dalam waktu satu bulan sesudah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan Terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut, maka harta bendanya disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti dan jika tidak mempunyai harta benda yang cukup, maka diganti dengan pidana penjara selama tiga tahun.

Dalam sidang ini, Rahardjo Pratjihno tidak hadir di ruang sidang, melainkan mengikuti sidang dari gedung KPK melalui video conference. Hanya ada JPU KPK, majelis hakim, dan sebagian penasihat hukum yang bersidang di pengadilan.

Hakim menyatakan Rahardjo dan PT CMI Teknologi menikmati keuntungan sebesar Rp60,329 miliar dan juga memperkaya orang lain yaitu bekas staf khusus (narasumber) bidang perencanaan dan keuangan Bakamla Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi sebesar Rp3,5 miliar.

PT CMI Teknologi adalah perusahaan yang bergerak di bidang usaha pengadaan produk-produk teknologi komunikasi dan telah beberapa kali menjadi rekanan (penyedia barang/jasa) bagi instansi pemerintahan.

Awalnya pada Maret 2016, Rahardjo mengusulkan kepada Kepala Bakamla saat itu Arie Soedewo dan Kepala Pengelolaan Informasi Marabahaya Laut (KPIML) Bakamla Arief Meidyanto agar Bakamla mempunyai jaringan backbone sendiri (independen) yang terhubung dengan satelit dalam upaya pengawasan keamanan laut atau Backbone Surveillance yang terintegrasi dengan BIIS.

Bakamla mengajukan RAPB-P 2016 senilai total Rp400 miliar untuk pengadaan proyek tersebut. Ali Fahmi lalu berkoordinasi dengan pihak-pihak di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Direktorat Jenderal Anggaran dan Kementerian Keuangan sebelum pembahasan anggaran di Komisi I DPR.

PT CMI Teknologi lantas keluar sebagai pemenang lelang pekerjaan pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan BIIS Bakamla TA 2016 dengan nilai penawaran Rp397,006 miliar. Namun pada Oktober 2016, Kemenkeu hanya menyetujui anggaran BCSS tersebut sebesar Rp170,579 miliar.

PT CMI Teknologi lalu melakukan subkon dan pembelian sejumlah barang yang termasuk pekerjaan utama ke 11 perusahaan. Hingga batas akhir 31 Desember 2016, Rahardjo tidak dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut, bahkan ada sejumlah alat yang baru dapat dikirim dan dilakukan instalasi pada pertengahan 2017. Namun PT CMI Teknologi tetap dibayar yaitu sebesar Rp134,416 miliar.

Dari jumlah tersebut, ternyata biaya pelaksanaan hanya sebesar Rp70,587 miliar sehingga terdapat selisih sebesar Rp63,829 miliar sebagai yang merupakan keuntungan dari pengadaan backbone di Bakamla.

Nilai keuntungan tersebut dikurangi dengan pemberian kepada Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi sebesar Rp3,5 miliar sehingga Rahardjo selaku pemilik PT CMI Teknologi mendapat penambahan kekayaan sebesar Rp60,329 miliar.

Pengadaan backbone yang dilaksanakan oleh PT CMI Teknologi tersebut pada akhirnya tidak dapat dipergunakan sesuai tujuan yang diharapkan karena kualitas sistemnya belum berfungsi dengan baik.

Hal itu tertuang dalam laporan hasil pemeriksaan fisik oleh Tim Ahli Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya tanggal 29 Oktober 2019 yang menyatakan bahwa meskipun semua Bill of Material yang telah dijanjikan dalam kontrak dapat dipenuhi oleh kontraktor, namun secara fungsi tidak dapat didemonstrasikan dengan baik sesuai dengan yang direncanakan. (G-2)

BACA JUGA: