JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Komisi III DPR, dan Panitia Seleksi Pimpinan KPK gagal memilih pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berintegritas.

ICW mengomentari putusan Dewan Pengawas (Dewas) yang menyatakan Ketua KPK Firli Bahuri melanggar kode etik karena menggunakan helikopter mewah saat berkunjung ke Baturaja, Sumatera Selatan.

"Putusan melanggar etik Firli Bahuri ini mengkonfirmasi bahwa kinerja Panitia Seleksi Pimpinan KPK, Presiden Joko Widodo, dan segenap anggota Komisi III DPR gagal memilih pimpinan KPK yang berintegritas," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis yang diterima Gresnews.com, Rabu (30/9/2020).

Hal itu harus menjadi catatan serius pada masa mendatang bagi Jokowi, DPR, dan Pansel Pimpinan KPK dalam memilih pimpinan lembaga antirasuah. Diharapkan tidak lagi memilih figur pelanggar etik menjadi Ketua KPK lantaran mencoreng kredibilitas kelembagaan KPK.

Namun meski dinyatakan bersalah atas perbuatannya, Firli hanya dijatuhi sanksi ringan berupa teguran tertulis. Dalam menjatuhkan putusannya, Dewas KPK mempertimbangkan sejumlah hal.

Firli sebagai Ketua KPK yang seharusnya menjadi teladan malah melakukan hal yang sebaliknya. Sementara itu, untuk hal yang meringankan Firli belum pernah dihukum akibat pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku. "Terperiksa kooperatif sehingga memperlancar jalannya persidangan," kata anggota Dewas KPK Albertina Ho.

ICW juga mempertanyakan kualitas penegakan kode etik di KPK, Secara kasat mata tindakan Firli yang menggunakan moda transportasi mewah itu semestinya telah memasuki unsur untuk dapat diberikan sanksi berat berupa rekomendasi agar mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK.

ICW memberikan lima catatan atas putusan Dewan Pengawas yang menjatuhkan sanksi ringan kepada Ketua KPK.

Pertama, alasan Dewan Pengawas yang menyebutkan Firli tidak menyadari pelanggaran yang telah dilakukan sangat tidak masuk akal. Sebagai Ketua KPK, semestinya yang bersangkutan memahami dan mengimplementasikan Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi. Apalagi tindakan Firli itu juga bersebrangan dengan nilai Integritas yang selama ini sering dikampanyekan oleh KPK, salah satunya tentang hidup sederhana.

Kedua, Dewan Pengawas tidak menimbang sama sekali pelanggaran etik Firli saat menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK. Penting untuk ditegaskan, ICW pada 2018 melaporkan Firli ke Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat atas dugaan melakukan pertemuan dengan pihak yang sedang berperkara di KPK. Berdasarkan laporan tersebut, pada September 2019, KPK mengumumkan bahwa Firli terbukti melanggar kode etik, bahkan saat itu dijatuhkan sanksi pelanggaran berat. Sementara dalam putusan terbaru, Dewan Pengawas menyebutkan bahwa Firli tidak pernah dihukum akibat pelanggaran kode etik.

Ketiga, Dewan Pengawas abai dalam melihat bahwa tindakan Firli saat mengendarai moda transportasi mewah sebagai rangkaian atas berbagai kontroversi yang sempat dilakukan. Mulai dari tidak melindungi pegawai saat diduga disekap ketika ingin melakukan penangkapan sampai pada pengembalian ‘paksa’ Kompol Rossa Purbo Bekti. Sehingga, pemeriksaan oleh Dewan Pengawas tidak menggunakan spektrum yang lebih luas dan komprehensif.

Keempat, putusan Dewan Pengawas terhadap Firli sulit untuk mengangkat reputasi KPK yang kian terpuruk. Sebab, sanksi ringan itu bukan tidak mungkin akan jadi preseden bagi pegawai atau pimpinan KPK lainnya atas pelanggaran sejenis. Jika dilihat ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020, praktis tidak ada konsekuensi apapun atas sanksi ringan, hanya tidak dapat mengikuti program promosi, mutasi, rotasi, tugas belajar atau pelatihan, baik yang diselenggarakan di dalam maupun di luar negeri.

Kelima, lemahnya peran Dewas dalam mengawasi etika Pimpinan dan pegawai KPK. Dalam kasus Firli, semestinya Dewas dapat mendalami kemungkinan adanya potensi tindak pidana suap atau gratifikasi dalam penggunaan helikopter tersebut. Dalam putusan atas Firli, Dewas tidak menyebutkan dengan terang apakah Firli sebagai terlapor membayar jasa helikopter itu dari uang sendiri atau sebagai bagian dari gratifikasi yang diterimanya sebagai pejabat negara. Dewas berhenti pada pembuktian, bahwa menaiki helikopter merupakan bagian dari pelanggaran etika hidup sederhana.

ICW sejak awal menilai bahwa eksistensi Dewan Pengawas tidak pada kelembagaan KPK mengingat fungsi pengawasan KPK secara sistem telah berjalan dengan baik dengan adanya Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat.

Maka dari itu, ICW bersama koalisi masyarakat sipil lain mengajukan uji formil atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dengan harapan agar Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan keberlakuan regulasi tersebut sekaligus membubarkan Dewan Pengawas.

Terlepas dari putusan sanksi ringan yang mengecewakan tersebut, ICW menilai pelanggaran kode etik yang terbukti dilakukan Firli sudah lebih dari cukup untuk dirinya mengundurkan diri.

Kesimpulan ini bukan tanpa dasar. Pertama, Pasal 29 ayat (1) huruf f dan g Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 telah tegas menyebutkan bahwa untuk menjadi Pimpinan KPK harus memenuhi syarat-syarat tertentu, diantaranya: tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi dan memiliki reputasi yang baik.

Tentu Firli Bahuri tidak lagi memenuhi poin tersebut, sebab telah dua kali terbukti melanggar kode etik KPK.

Kedua, TAP MPR No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa menyebutkan bahwa penyelenggara negara harus mengundurkan diri apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara. (G-2)

BACA JUGA: