JAKARTA - Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) merestui Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo mengangkat dua pejabat baru yang pernah terkait kasus Tim Mawar yang terbukti menghilangkan sejumlah aktivis saat kerusuhan 1998 lalu disesalkan sejumlah pihak. Dengan langkah Menhan tersebut, Presiden Jokowi dan DPR RI telah melanggar janji terutama dalam mengusut kasus penculikan aktivis dan penghilangan paksa serta pelanggaran HAM masa lalu di negara ini.

Dua perwira eks tim Mawar itu adalah Brigjen TNI Yulius Selvanus, Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan Kementerian Pertahanan dan Brigjen TNI Dadang Hendrayudha, Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan. Mereka diangkat sebagai pejabat Kemenhan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 166/TPA Tahun 2020 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Dari dan Dalam Jabatan Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan Kementerian Pertahanan.

"Presiden baru saja menyerahkan kendali kekuatan pertahanan negara kepada seseorang yang terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk penghilangan paksa, oleh komisi hak asasi manusia Indonesia sendiri," kata Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid kepada Gresnews.com, Senin (28/9/2020).

Usman mengatakan sekarang orang tersebut melanjutkannya dengan mengangkat orang-orang yang terimplikasi hukum atas kasus penculikan yang pernah diadili di Mahkamah Militer (Mahmil).

Perkembangan ini mengirimkan sinyal yang mengkhawatirkan bahwa para pemimpin Indonesia telah melupakan hari-hari tergelap dan pelanggaran terburuk yang dilakukan pada era Soeharto.

"Ketika Prabowo memimpin pasukan khusus, para aktivis menghilang dan banyak tuduhan penyiksaan dan penganiayaan lainnya," jelasnya.

Amnesty menyerukan kepada pemerintah untuk memastikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu diselidiki secara menyeluruh, diselesaikan sepenuhnya sesuai keadilan hukum, dan korban hilang dijelaskan nasib dan keberadaannya, serta diberikan ganti rugi yang efektif.

"Alih-alih menempatkan mereka yang diduga bertanggung jawab pidana ke pengadilan. Pemerintah semakin membuka pintu bagi orang-orang yang terimplikasi pelanggaran HAM masa lalu dalam posisi kekuasaan,"ujarnya.

Ini, kata Usman, bukan sekadar pragmatisme politik kekuasaan, tetapi juga penghinaan terhadap hak asasi manusia yang ditetapkan pada era Reformasi.

"Mereka yang terlibat pelanggaran ham seharusnya tidak diberikan posisi komando di militer maupun jabatan strategis dan struktural di pemerintahan," pungkasnya.

Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyoroti dua perwira tersebut. Sebelumnya, pada 6 Desember 2019 Prabowo juga mengangkat Chairawan Kadasryah Nusyirwan, yang pernah menjadi Komandan Tim Mawar, sebagai Asisten Khusus Menteri Pertahanan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/1869/M/XII/2019.

Koalisi menilai nama-nama tersebut di atas (termasuk Prabowo) sangat tidak layak menjadi pejabat publik. Karena rekam jejaknya pernah tergabung dalam Tim Mawar yang khusus dibentuk untuk operasi penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi 1997-1998.

"Melalui tim Kopassus ini, sebanyak 22 (dua puluh dua) aktivis diculik: 9 (sembilan) orang kembali dalam keadaan hidup dengan berbagai praktik penyiksaan yang dialami," kata Hussein Ahmad Peneliti Imparsial kepada Gresnews.com, Senin, (28/9/2020).

Sedangkan 13 (tiga belas) lainnya: Yani Afrie, Sony, Herman Hendrawan, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Petrus Bima Anugerah, Widji Thukul, Ucok Munandar Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Naser belum kembali hingga saat ini.

Lanjut Hussein, Pengadilan Tinggi Militer II Jakarta memang pernah digelar dengan hasil menjatuhkan putusan masing-masing 1 tahun 4 bulan dan 20 bulan penjara masing-masing untuk Brigjen Dadang Hendrayudha dan BrigjenYulius Selvanus pada April 1999 selaku Kepala Unit I dan Kepala Unit II Tim Mawar.

"Namun vonis tersebut sangatlah tidak sebanding dengan perbuatan yang dilakukan. Persidangan juga gagal untuk mengungkap seluruh aktor yang terlibat," tuturnya.

Selain itu, kata Hussein, publik juga tidak tahu-menahu kelanjutan perkara tersebut. Karena putusannya tidak dipublikasikan secara terbuka hingga ternyata karier militer keduanya masih berjalan hingga menjadi jenderal.

Keputusan-keputusan Presiden tersebut, termasuk pengangkatan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan, seharusnya dibatalkan Presiden Jokowi. Jika memang dirinya berkomitmen menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Presiden tidak boleh memberikan tempat bagi siapapun yang mempunyai rekam jejak di masalalu sebagai pelanggar HAM berat untuk menempati jabatan publik," ujarnya.

Koalisi itu terdiri dari beberapa elemen organisasi antara lain, LBH Jakarta, Public Virtue Institute, Imparsial, SETARA Institute, Pil-Net, ELSAM, PBHI, Amnesty Internasional, LBH pers, ICW.

Ia menilai, hal ini juga justru semakin menegaskan bahwa Presiden Jokowi tidak memiliki komitmen dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat, malah menambah dan memperpanjang penderitaan keluarga korban.

Padahal tahun 2014 ketika masih berkampanye sebagai calon presiden, pada penjabaran visi keempat Nawacita. Jokowi telah berjanji untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM Berat. Termasuk berjanji untuk menemukan Widji Thukul apabila terpilih menjadi presiden.

"Pada 2019 juga berjanji serupa pada misi keenam dan program aksi keempat. Namun hingga kini hal itu hanya sebatas janji politik saja tanpa ada realisasi," terangnya.

Selain itu juga, Hussein menambahkan, penting untuk melihat penggantian warga sipil menjadi tentara sebagai pejabat di Kementerian Pertahanan. Padahal sejak reformasi beberapa pos di Kementerian Pertahanan lazim diisi oleh pejabat sipil.

"Penggantian ini semakin menguatkan tren militerisasi di masyarakat setelah sebelumnya Kemenhan menggulirkan rencana membentuk komponen cadangan yang sangat bermasalah,"jelasnya.

Koalisi Reformasi Sektor Keamanan menanggapi hal tersebut dengan menyatakan sikap diantaranya, pertama menuntut presiden mengevaluasi menteri pertahanan yang membuat beberapa kebijakan yang kontraproduktif dalam pemajuan HAM dan proses reformasi sektor keamanan serta dugaan keterlibatannya dalam kasus penghilangan orang.

Kedua, menuntut Presiden untuk mencopot seluruh pihak, yang tergabung dalam Tim Mawar yang terbukti terlibat dalam tindakan penghilangan paksa 1997-1998, dari jabatan publik.

Ketiga, menuntut Presiden menuntaskan seluruh kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu demi memberikan keadilan bagi keluarga korban dan sebagai bentuk komitmen negara agar peristiwa serupa tidak terulang kembali.

Keempat, mendesak Presiden dan DPR untuk mereformasi peradilan militer dengan cara mengganti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Kelima, mendesak Mahkamah Agung untuk mempublikasikan seluruh putusan terkait penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998.

"Dan keenam, menolak militerisasi pejabat teras di Kementerian Pertahanan," tutupnya. (G-2)

BACA JUGA: