JAKARTA - Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) mendesak agar Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) menerbitkan regulasi yang lebih jelas mengenai layanan penawaran melalui Short Message Service (SMS) mengingat maraknya SMS penawaran itu tanpa persetujuan konsumen. 

"Kami minta agar ada aturan yang mengikat para pelaku usaha jasa telekomunikasi agar menghentikan SMS penawaran yang tidak sesuai dengan prinsip perlindungan konsumen, bila perlu dikenakan sanksi tegas kepada pelaku usaha yang melanggar," ujar Ketua KKI David Tobing kepada Gresnews.com, Senin (21/9/2020). 

Menurutnya hampir seluruh pelanggan seluler mendapatkan SMS penawaran baik dari pelaku usaha telekomunikasi, misalnya pengisian pulsa, promo dan NSP, maupun dari pihak ketiga yang berisi penawaran produk makanan, minuman, perbankan, barang elektronik, hingga properti. Bahkan apabila pelanggan masuk ke area tertentu, misalnya pusat perbelanjaan, langsung banyak masuk SMS Penawaran.

David mengatakan seharusnya ada persetujuan lebih dulu dari konsumen, apakah mau menerima SMS penawaran atau tidak. Hal itulah yang dikenal dengan istilah do not call register, artinya pelaku usaha jasa telekomunikasi tidak boleh mengirim SMS penawaran kepada pelanggan yang sudah menyatakan tidak setuju.

Apabila tanpa persetujuan terlebih dahulu dari pemilik nomor maka pengiriman SMS juga telah melanggar Pasal 26 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang secara jelas menyebutkan "...penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan."

Menurut David, BRTI sebagai lembaga yang berwenang untuk mengatur standar kualitas layanan harus bertindak cepat dan tegas. Setidaknya BRTI bisa meniru aturan yang diterapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam memperlakukan konsumen penerima layanan jasa keuangan.

OJK membatasi pelaku usaha keuangan yang menyampaikan informasi melalui text message kepada konsumen hanya dapat dilakukan pada hari Senin sampai dengan Sabtu, di luar hari libur nasional dari pukul 08.00-18.00 waktu setempat.

Desakan kepada BRTI ini adalah langkah lanjutan setelah sebelumnya David Tobing sebagai kuasa hukum Alvin Lie mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap PT Indosat, Tbk. (selaku Tergugat) dan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia (selaku Turut Tergugat) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor Perkara: 464/Pdt.G/2020/PN JKT.Pst tanggal 14 Agustus 2020.

Adapun permasalahan ini bermula sejak bulan Februari 2020, dimana PT Indosat, Tbk berulang kali mengirimkan pesan SMS penawaran yang mengganggu kepada Penggugat, di mana iklan-iklan tersebut dikirimkan pada waktu yang tidak wajar, yakni pada saat pulang kerja, jam istirahat dan hari libur di rentang waktu pukul 18.00-02.30 WIB.

Meskipun Penggugat telah berkali-kali menyampaikan keluhan kepada Tergugat, salah satunya melalui akun media sosial Twitter Tergugat (@IndosatCare), faktanya SMS penawaran tersebut masih dikirimkan tanpa persetujuan, secara masif dan berulang, serta pada waktu yang tidak wajar. Perilaku pelaku usaha telekomunikasi yang demikian termasuk tindakan yang mengganggu kenyamanan dan privasi konsumen.

David juga menilai Menkominfo sebagai pejabat yang melakukan pembinaan jasa telekomunikasi telah melakukan pembiaran sehingga SMS penawaran yang mengganggu itu berlangsung terus menerus. Padahal, tindakan pelaku usaha jasa telekomunikasi tersebut telah melanggar Pasal 23 ayat 2 huruf a dan b Permenkominfo No. 9 tahun 2017 tentang Penyelengaraan Jasa Penyediaan Konten Pada Jaringan Bergerak Seluler di mana telah melanggar privasi dan merupakan penawaran yang mengganggu.

Sebenarnya sejak 2013, Menteri Komunikasi dan Informatika telah mendapatkan surat rekomendasi dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) No: 28.1/BPKN/12/2013 tertanggal 23 Desember 2013 yang pada intinya meminta agar kementerian menerbitkan aturan yang melindungi privasi dan hak konsumen untuk menolak sms berbentuk spam atau iklan yang mengganggu.

"BRTI harus mengatur tentang pemberian keleluasaan kepada konsumen untuk menolak/tidak menyetujui layanan, mengatur larangan penawaran SMS dan atau batasan konten yang termasuk dalam layanan penawaran SMS, batasan waktu penawaran kepada konsumen yang menyetujui menerima SMS serta ditetapkannya suatu sanksi atas pelanggaran aturan tersebut," pungkas David. (G-2)

BACA JUGA: