JAKARTA - Selama masa pandemi COVID-19, pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020 tetap berlanjut sesuai rencana yakni pada Desember 2020 dan diharapkan menghasilkan kepemimpinan yang berkualitas. Namun kondisi saat ini menghadapi tantangan politik irasional yang membawa pada penurunan kualitas kepemimpinan.

Ray Rangkuti, Koordinator Lingkar Madani (LIMA), mengatakan tantangan substantif dalam pilkada 2020 ada tiga.

"Pertama adalah soal kenyataannya calon-calon ini berdasarkan dinasti politik. Itu menurut saya alasan tersendiri," kata Ray kepada Gresnews.com, Jumat (7/8/2020).

Kedua, dilaksanakan dalam situasi pandemi seperti sekarang ini hanya menimbulkan masalah baru. Ketiga adalah soal minat pemilih.

Terkait dinasti politik tentu akan sulit diharapkan membuat perubahan yang signifikan. "Seperti kita ketahui bahwa dalam banyak fakta dinasti ini tidak banyak membantu perubahan di dalam sistem politik kita atau dalam perubahan dan perbaikan kualitas masyarakat kita," kata Ray.

Alih-alih terjadi perubahan yang ada justru kondisi semakin parah. Korupsi di daerah-daerah marak terjadiakibat adanya dinasti politik. Setidaknya sudah ada tujuh keluarga yang terlibat kasus korupsi akibat dinasti politik yang terjadi di daerahnya masing-masing.

Sekarang ini faktanya makin banyak yang menominasikan keluarganya untuk terlibat dalam pilkada.

"Itu bisa berefek kepada makin sedikitnya perubahan politik, perubahan kualitas masyarakat, yang mungkin terjadi justru alih-alih berubah yang ada adalah makin terperosoknya masyarakat ke dalam peristiwa-peristiwa korupsi," tuturnya.

Kemudian kedua, pilkada tetap dilaksanakan dalam masa pandemi justru memunculkan masalah baru. Dalam masa pandemi ini seperti diketahui ada kemungkinan masyarakat berada dalam situasi yang sangat membutuhkan materi dan dana.

"Saya khawatir situasi pandemi ini dengan sendirinya akan meningkatkan politik uang, praktik politik uang dalam pelaksanaan pilkada," katanya.

Hal itu terjadi, kata Ray, karena ada masyarakat yang memang membutuhkan materi. Sudah hampir 4-5 bulan tidak dapat pekerjaan, usaha terhenti dan sebagainya.

Oleh karena itulah salah satu harapannya adalah bergantung kepada pemberian-pemberian yang mungkin akan marak sepanjang pelaksanaan pilkada 2020. "Artinya masyarakat kemungkinan akan lebih tertarik membicarakan isi dompet ketimbang isi otak," terangnya.

Akibatnya, praktik politik uang, pembagian sembako, bantuan-bantuan sosial khususnya di daerah-daerah petahana. Itu akan marak dipergunakan dalam rangka meraih suara.

Selain itu, ungkap Ray, tantangan yang ketiga adalah masyarakatnya sendiri. Masyarakat sebagai pemilih yang belum sepenuhnya menjadikan pemilu ini sebagai sarana untuk melakukan penghakiman dan penghormatan terhadap para pemimpin.

Dalam hal ini mereka yang sukses harus terus diberi reward untuk naik menjabat terus menerus. Sementara mereka yang tidak berhasil, tidak sukses atau yang biasa-biasa saja supaya diganti oleh masyarakat.

"Tiga faktor inilah menurut saya tantangan terbesar dalam pelaksanaan pilkada 2020 ini," tandasnya.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan di tengah situasi pandemi yang berdampak pada keterpurukan ekonomi masyarakat, ada potensi menguatnya praktik jual beli suara. Yakni politik transaksional antara kandidat dan pemilih sebagai jalan pintas untuk mendapatkan dukungan pemilih dengan memanfaatkan kesulitan ekonomi masyarakat.

Dan pemilih bisa saja menjadi pragmatis dan permisif pada perilaku ini. Kalau negara dirasa tidak hadir membantu mereka melalui berbagai program sosial penanganan covid-19.

"Apalagi kalau bansos distribusinya tidak tepat sasaran bisa saja membuat masyarakat jadi mau menerima politik uang dari para oknum," kata Titi kepada Gresnews.com.

Selain itu, kata dia, makin masifnya penggunaan media daring bisa saja dimanfaatkan secara salah oleh para oknum jahat untuk menyebarkan informasi bohong maupun fitnah yang bisa menyesatkan pemilih. Sehingga memicu sikap emosional dalam menentukan pilihan dan tidak berdasar pertimbangan yang logis berdasar data, fakta, ataupun latar belakang beserta penilaian atas rekam jejak calon.

Melalui jual beli suara atau politik uang, penyebaran hoaks dan fitnah dalam kampanye lalu hal itu dijadikan dasar dalam membuat keputusan dalam memilih calon di pilkada.

Begitu pula akan muncul Aparatur Sipil Negara (ASN) yang aktif berpolitik. Padahal seharusnya bersikap netral juga merupakan bagian dari praktik politik yang irasional.

"Jadi segala tindakan permisif dan toleran pada perilaku yang menyimpangi prinsip pemilu yang bebas dan adil, jelas merupakan refleksi dari politik yang irasional," tambahnya.

Selain itu, bila hasil dari pemilu irasional maka pemilihan terancam tidak bebas dan adil, jauh dari esensinya sebagai instrumen demokrasi.

Kepemimpinan daerah yang terpilih tidak punya kompetensi untuk memimpin daerah. Akhirnya pembangunan daerah menjadi stagnan, dan dalam banyak kejadian malah berujung pada terjadinya kepemimpinan yang korup dan tidak berorientasi pada pelayanan publik apalagi kepentingan orang banyak.

Untuk menghadapi politik irasional itu, kata Titi, harusnya itu tidak perlu terjadi kalau partai politik betul-betul berfungsi sesuai peran keberadaannya.

Namun, itu belum terwujud. Maka semua pihak harus ambil bagian untuk membangun kultur kewarganegaraan yang kritis dan berdasar nilai-nilai integritas.

Pemerintah, kelompok masyarakat sipil, dan media perlu membangun sinergitas untuk mengedukasi dan memberikan informasi kepemiluan yang mendidik sebagai referensi para pemilih dalam membuat keputusan di pilkada.

Selain itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) beserta jajaran seharusnya menyebarluaskan semaksimal mungkin dokumen visi, misi, dan program serta profil latar belakang atau riwayat hidup seorang calon.

"Sehingga pemilih bisa tahu dan paham betul siapa calon yang dia pilih, dan apa konsekuensi atas pilihan yang dia buat di bilik suara terhadap masa depan pengelolaan daerah dan kualitas pelayanan publik kedepannya," tandasnya. (G-2)

BACA JUGA: