JAKARTA - Rencana Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menggelar penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) subholding sektor hulu (upstream) mendapat tentangan karena dianggap sebagai upaya privatisasi BUMN migas nasional tersebut. Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengungkapkan beberapa alasan menolak IPO tersebut.

"Alasan terpenting adalah migas merupakan sektor strategis menyangkut hidup rakyat yang harus dikuasai negara melalui pengelolaan oleh BUMN sesuai Pasal 33 UUD 1945," kata Marwan kepada Gresnews.com, Jumat (10/7/2020).

Ia menegaskan hal itu bukan saja telah menjadi tekad dan amanat pendiri bangsa, terutama Bung Karno dan Bung Hatta, tetapi juga telah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/2012 dan Nomor 85/2013.

Alasan berikutnya, para investor asing dan pengusaha liberal-kapitalis sangat berminat memperoleh manfaat besar dari sejumlah mata rantai bisnis sektor migas yang menguntungkan. Untuk itu disiapkan dan direkayasa cara sedemikian rupa sehingga sebagian saham dari mata rantai bisnis yang menguntungkan tersebut dapat dikuasai.

Caranya melalui skema IPO ketika saham sebuah perusahaan dilepas ke pasar saham (bursa efek) secara umum untuk pertama kalinya. Aktivitas menjual saham ke publik melalui bursa efek selaku pasar keuangan resmi di Indonesia dikenal dengan istilah Go Public.

Menurutnya ada beberapa tujuan sebuah perusahaan melakukan IPO, seperti untuk mendapatkan akses pendanaan murah, akses dana jangka panjang, memperoleh citra yang baik, meningkatkan nilai perusahaan dan memperoleh insentif pajak. Untuk itu, mata rantai bisnis atau anak usaha yang harus dijual adalah yang terbaik dan menguntungkan (crème de la crème).

Jika prospek bisnisnya tidak menguntungkan atau tidak jelas, tidak ada yang mau membeli.

Sebaliknya, dengan melepas atau “mempreteli” satu per satu mata rantai bisnis yang menguntungkan dari BUMN/Pertamina sesuai skenario kapitalis-liberal atau dikenal juga dengan istilah unbundling maka BUMN hanya akan “menikmati” bisnis ampas yang kurang menguntungkan.

Lambat laun semua lini bisnis yang menguntungkan akan terjual dan untung yang diperoleh akan lebih banyak dinikmati asing atau para pengusaha kapitalis-liberal.
 
Padahal, ia menjelaskan, jika semua lini bisnisnya berjalan utuh secara bundled, BUMN/Pertamina dapat melakukan fungsi-fungsi strategis negara secara optimal, terutama melakukan fungsi cross-subsidy antarwilayah dan antarkonsumen yang hingga saat ini mengalami kesenjangan yang lebar.

Selain itu, kata Marwan, merujuk Pasal 2 UU 19/2003 tentang BUMN, tujuan pembentukan BUMN antara lain berkontribusi terhadap ekonomi nasional dan melakukan tugas perintisan. Hal itu tidak akan optimal dijalankan oleh anak-anak usaha yang telah Go Public. Sebaliknya, kemampuan Pertamina untuk cross-subsidy akan berkurang karena sebagian kepemilikan telah beralih kepada perusahaan lain. 

Salah satu contoh ironis yang dilakukan pemerintahan pro kapitalis-liberal saat ini adalah membiarkan SPBU-SPBU asing/swasta berbisnis di kota-kota besar di Indonesia, sementara Pertamina wajib menyediakan BBM hingga pelosok negeri dengan beban biaya sangat besar.

Dengan bisnisnya dibiarkan digerogoti asing, kemampuan Pertamina melakukan cross-subsidy semakin berkurang atau sebagian malah harus ditanggung APBN. 

Ia mengatakan dirinya tidak antimodal asing dan dapat saja menerima skema IPO agar BUMN dapat memperoleh dana/modal. Namun jika modal dan citra diperoleh dengan melanggar konstitusi serta mengorbankan kedaulatan dan prinsip-prinsip strategis negara yang bernilai “kualitatif”, hal tersebut harus ditolak.

Selain itu, jika aspek moral hazard dan nuansa perburuan rente seputar IPO dan proses IPO ikut diperhitungkan, keuntungan “kuantitatif” akses dana murah dan dana jangka yang diperoleh melalui skema IPO pun justru akan sirna.

Ia menjelaskan dalam dunia akademis dikenal adanya tools yang sering digunakan dalam pengambilan keputusan penting dan strategis. Tools tersebut antara lain adalah Cost-Benefit Analysis (CBA) dan Multi-Criteria Decision Analysis (MCDA). Pada CBA, keputusan diambil terutama berdasarkan kriteria ekonomi-keuangan.

Pada MCDA, keputusan diambil dengan mempertimbangkan berbagai kriteria seperti ekonomi-finansial, legal-konstitusional, sosial-politik, dan lain-lain. Kriteria-kriteria tersebut pun lumrah diberi bobot bebeda-beda sesuai urgensi dan prioritas.

Dalam rencana IPO subholding Pertamina, tampaknya yang dipilih adalah metode CBA. Seperti disebut di atas, metode ini pun justru bisa tidak valid jika perilaku moral hazard berperan dominan dalam proses IPO.

Padahal, karena Pasal 33 UUD 1945 masih berlaku, kondisi kesenjangan sosial antarwilayah yang harus diatasi dengan cross-subsidy dan ketahanan energi nasional yang masih sangat rendah, seharusnya yang dipilih untuk mengambil keputusan adalah metode MCDA.

Kebutuhan dana dapat diperoleh melalui penerbitan obligasi. Toh selama ini Pertamina atau PLN sudah biasa menerbitkan obligasi dengan tingkat bunga/kupon yang justru lebih rendah dibandingkan dengan kupon obligasi terbitan pemerintah.

Sebelumnya Menteri BUMN Erick Thohir, setelah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Pertamina pada 12 Juni 2020, meminta Dirut Pertamina menyiapkan dua anak usaha Pertamina melantai di bursa atau menawarkan saham perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI).

"Jadi target dua tahun ke depan Ibu Nicke bisa go public-kan satu-dua subholding, jadi bagian transparansi, akuntabilitas supaya jelas," kata Erick. 

Pernyataan Erick merupakan `perintah` yang harus dijalankan manajemen Pertamina. "Kami minta Menteri BUMN Erick Thohir untuk membatalkan rencana IPO anak-anak perusahaan Pertamina," ujar Marwan.

Marwan menegaskan perintah Erick kepada Dirut Pertamina bukan sesuatu yang relevan dan legal untuk otomatis harus dijalankan seperti mungkin berlaku pada perusahaan milik swasta atau pribadi. BUMN itu adalah Badan Usaha Milik Negara, bukan milik “seseorang” seperti pernah diungkap Erick pada 26 Februari 2020 di Jakarta.

Sementara itu Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menegaskan rencana pelepasan sebagian saham anak usaha melalui mekanisme penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) bukan upaya privatisasi karena IPO dilakukan anak perusahaan Pertamina sehingga hanya berdampak pada pengelolaan aset.

Nicke juga menjelaskan pengelolaan aset yang dimaksud adalah aset dalam Wilayah Kerja (WK) minyak dan gas (migas).

"Di upstream itu asetnya milik negara. Jadi WK yang diserahkan Pertamina dan KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) adalah pengelolaan," kata Nicke saat menggelar rapat kerja bersama Komisi VI DPR, Senin (22/6/2020), di Jakarta.

Ia menjelaskan setelah jangka waktu pengelolaan WK yang disepakati selesai, aset itu akan dikembalikan ke negara. "Jadi tidak ada yang dijual, ini hanya hak pengelolaan," ucap Nicke.

Ia menegaskan aset tetap dimiliki pemerintah sesuai dengan UU 3/2020 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). "Sekarang ini banyak yang dikerjasamakan. Yang dikelola Pertamina 29%-30%," katanya. (G-2)

BACA JUGA: