JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman penjara bagi mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi selama tujuh tahun. Imam dinyatakan terbukti bersalah menerima suap dan gratifikasi bersama asisten pribadinya Miftahul Ulum.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama tujuh tahun dan pidana denda sebesar Rp400 juta (subsider tiga bulan kurungan)," kata Ketua Majelis Rosmina di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat yang dihadiri Gresnews.com, Senin (29/6/2020).

Menurut hakim, Imam terbukti menerima suap dan gratifikasi hingga dinyatakan bersalah dan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan beberapa tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dalam dakwaan kesatu dan kedua. Imam juga diwajibkan membayar ganti rugi keuangan negara sebesar Rp18 miliar. "Menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa Imam Nahrawi untuk membayar uang pengganti kepada negara sejumlah Rp18.154.230.882," kata Rosmina.

Uang pengganti itu wajib dibayar selama satu bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap. Jika tidak dibayar, Imam bisa dihukum penjara selama dua tahun.

Selain pidana pokok di atas, majelis hakim juga menjatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun terhitung sejak Imam selesai menjalani pidana pokoknya. Jaksa sebelumnya menuntut agar hak politik Imam dicabut selama lima tahun setelah menjalani pidana pokok. Jaksa menyebut Imam terbukti menerima suap sebesar Rp11,5 miliar bersama asisten pribadinya Miftahul Ulum. Suap itu ditujukan untuk mempercepat proses dana hibah KONI pada 2018.

Imam Nahrawi dituntut jaksa KPK dengan hukuman 10 tahun serta pidana denda sejumlah Rp500 juta subsider enam bulan kurungan. Dia juga dituntut membayar uang pengganti dalam waktu satu bulan.

Tak hanya itu, Imam juga dianggap terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp8,64 miliar bersama Ulum yang diterima dari berbagai sumber. Ulum ditugaskan sebagai perantara antara Imam dengan pemberi gratifikasi.

Hakim juga menolak permohonan justice collaborator (JC) yang diajukan Imam.

Imam terbukti menerima gratifikasi senilai total Rp8.348.435.682 dari sejumlah pihak. Atas perbuatannya, Imam dinilai terbukti melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 dan Pasal 12B Ayat (1) juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Setelah persidangan, kuasa hukum Imam, Wa Ode Nur Zainab, merasa kecewa terhadap putusan hakim karena faktanya tak ada pemberian uang kepada Imam selaku menteri.

"Ini hanya diasumsikan adanya kedekatan menteri dengan Miftahul Ulum. Sementara itu dari saksi-saksi mereka dengar ada perkataan Pak Menteri bilang kalau ada yang mencatut nama saya laporkan. Yang terjadi adalah rumor. Gak ada saksi ketika Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy menyerahkan uang ke Miftahul Ulum," katanya.

Ia menyayangkan bila ada orang dihukum karena persepsi. Terlebih dalam kasus ini yang terjadi adalah rumor. Terkait aliran uang Rp11,5 miliar itu sesungguhnya KPK sudah mempunyai data uang itu ke mana. "Uang itu diberikan ke institusi penegak hukum. Itu clear," kata Wa Ode Nur Zainab kepada Gresnews.com.

Menurutnya tentang biaya operasional dan soal proposal semua itu urusan teknis. Menteri tidak mengurusi hal teknis seperti itu karena ada yang mengurusinya yakni kuasa pemegang anggaran dan staf yang menggunakan dana itu.

"Jadi ini terang benderang gak ada pemberian langsung loh. Tapi hakim meyakini bahwa ada satu pemufakatan atau kerja sama yang erat, tapi gak diterangkan majelis, kerja samanya apa," ujarnya.

Ia mengaku belum tahu apakah Imam akan mengajukan banding atau menerima hasil putusan ini. Namun di persidangan Imam hanya bilang akan melakukan perenungan dulu. Sebelumnya Imam pernah bilang kepada Wa Ode ingin meneruskan perjuangan.

"Uang itu bukan ke Pak Imam, itu kata saksi-saksi. BAP jelas duitnya ke mana, ke institusi penegak hukum dan ada satu percakapan telepon yang seharusnya dibongkar. Ada satu intimidasi dari Ending Fuad Hamidy kepada Ulum karena bukan PNS diminta mengaku saja, gak akan kenapa-kenapa. Karena itu Pak Imam minta JC terkait itu. Kami minta tolong KPK agar ini dibongkar," ujarnya. (G-2)

BACA JUGA: