Digitalisasi Sarana Transparansi KPU dan Tahapan Pilkada
JAKARTA - Di tengah pandemi COVID-19 ini, penggunaan teknologi digital semakin marak, termasuk oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pertemuan online "digandrungi" masyarakat lantaran dapat saling bertemu kendati terpisah jarak.
KPU akan terus memperbaiki dan meningkatkan digitalisasi teknologi informasi terutama selama kondisi pandemi ini sebagai satu sarana meningkatkan kepercayaan publik.
"Semua tahapan yang diselenggarakan oleh KPU itu ada sistem teknologi informasinya. Yang mudah diakses oleh para pihak untuk tahu tentang perjalanan atau pelaksanaan tahapan Pilkada maupun Pemilu," kata Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Arif Budiman kepada Gresnews.com dalam sebuah Webinar, pekan lalu.
Menurutnya penggunaan sistem digital komputer KPU ini bertujuan untuk mencapai efektivitas dan akurasi dalam penghitungan suara Pemilihan Umum (Pemilu). Penggunaan teknologi informasi pun sudah dilakukan sejak pemilu 2014 dan 2019 lalu.
Kini, KPU hanya tinggal melengkapi berbagai kekurangan sistem digital komputer untuk disempurnakan, untuk akurasi yang lebih tepat dan transparan.
Hal itu, menurut Arif, menjadi lebih efektif, dan memiliki akurasi yang lebih baik. Terbukti pada saat Situng KPU mulai digunakan, masyarakat bisa lebih cepat mendapatkan informasi perolehan suara yang masuk.
Selain itu, untuk menerima laporan bila terjadi kesalahan atau kecurangan dilapangan. Masyarakat bisa melaporkan ke layanan sistem informasi perhitungan (situng) KPU. "Misalnya, masyarakat lapor, ini ada yang salah memasukkan input data," jelasnya.
Menurutnya sistem digital komputer juga untuk mencegah KPU melakukan kecurangan dengan menyembunyikan data yang sebenarnya. Sehingga dengan adanya transparansi, publik bisa mendapatkan akses, dan bisa menemukan kesalahan-kesalahan yang terjadi.
KPU-pun bisa merespons langsung dan melakukan perbaikan-perbaikan.
"Jadi tentu ini akan membuat lebih efektif, akurat, (dan) transparan," tuturnya. "Transparansi hal yang paling penting di dalam proses penyelenggaraan. Kalau sudah transparan maka integritasnya juga bisa dijaga," sambungnya.
Adanya transparansi juga untuk mengontrol penyelenggara pemilu. Mulai dari level awal sampai dengan level akhir. Jadi bila ada kecurangan yang terjadi bisa diketahui siapa pelakunya.
"Saya bersyukur proses penyelenggaraan (pemilu) ini walaupun pada akhirnya tidak bisa 100% tapi bisa 98% itu transparan," ungkapnya.
Sementara, pemungutan suara masih tetap dilakukan secara manual seperti umumnya selama ini.
"Tetapi, setelah itu, data-data yang sudah dihitung itu, yang disaksikan oleh banyak orang itu, proses rekapnya yang kita usulkan untuk dilakukan secara digital," tuturnya.
Dalam diskusi tersebut Arief juga menegaskan, pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak pada Desember 2020 sulit terlaksana apabila disiplin masyarakat dalam melakukan physical distancing sangat rendah. KPU tengah memikirkan alternatif waktu yang agar Pilkada tetap digelar tanpa menimbulkan problem baru di tengah pandemi.
Arief tidak berani memastikan Pilkada bisa dilakukan Desember 2020 apabila Pembatasan Skala Besar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masih tetap diberlakukan. Lantaran KPU harus memulai tahapan Pilkada pada Juni 2020 agar pencoblosan dilakukan tepat waktu Desember 2020.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020, terkait pilkada serentak, pada 4 Mei 2020. Perppu tersebut mengatur penundaan pilkada serentak setelah mewabahnya COVID-19
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly menjelaskan, Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tersebut berisi tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 terkait Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.
Dalam Perppu tersebut ditetapkan bahwa waktu pemungutan suara pilkada di 270 daerah yang semula dijadwalkan pada 23 September diundur hingga Desember 2020. Penundaan tersebut disepakati oleh DPR, KPU bersama Pemerintah.
Dalam Perppu 2/2020 tersebut dijelaskan penundaan pelaksanaan pilkada serentak ditetapkan demi menjaga pelaksanaan pilkada yang demokratis, berkualitas, serta untuk menjaga stabilitas politik dalam negeri. Pelaksanaan pilkada serentak akan dilaksanakan jika COVID-19 sudah dapat dikendalikan.
"Bahkan jika sampai Desember pandemi COVID-19 belum berakhir, penundaan bisa diperpanjang," ujar Yasonna melalui keterangan resminya, di Jakarta, Rabu (6/5/2020).
Dalam Perppu itu, ada penambahan poin yang menjadi dasar pemundaan Pilkada serentak 2020. Dimana, dalam Pasal 201 disisipkan satu pasal menjadi Pasal 201 A yang berbunyi:
(1). Pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat 6 ditunda karena terjadi bencana nonalam sebagaimana dimaksud Pasal 120 ayat 1.
Pada Pasal 120 ayat 1 tercantum: Dalam hal pada sebagian wilayah Pemilihan, seluruh wilayah Pemilihan, sebagian besar daerah, atau seluruh daerah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana nonalam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan Pemilihan atau Pemilihan serentak tidak dapat dilaksanakan, (maka) dilakukan Pemilihan lanjutan atau Pemilihan serentak lanjutan.
(2). Pemungutan suara serentak yang ditunda dilaksanakan pada bulan Desember 2020.
(3). Dalam hal pemungutan suara serentak pada ayat (2) tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam dan dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan DPR. (G-2)
- KPUD Karo: MK Tidak Berwenang Mengadili Permohonan Jusua-Saberina dan Iwan-Budianto
- Paslon Muhammad-Rahayu Tuduh Pemkot Tangsel Terlibat Kecurangan Pilkada di Sidang MK
- Cagub Sumbar Mulyadi Persoalkan Penetapan Tersangka ke MK
- Kampanye Pilkada Berakhir, Pemerintah Diminta Jangan Buka Sekolah Tatap Muka
- Tantangan Berat Menjadi Anggota Legislatif Perempuan dan Disabilitas
- Desakan untuk Menunda Pilkada 2020 Menguat
- Peraturan KPU yang Izinkan Kampanye Terbuka Melibatkan Massa Seharusnya Direvisi