JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan. SEMA ditandatangani pada 7 Februari 2020 oleh Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Prim Haryadi. Pada bagian Tata Tertib Umum angka 3 disebutkan bahwa: "Pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan."

Latar belakang keluarnya aturan tersebut setidaknya ada tiga hal: 1) kurang tertibnya penegakan aturan dalam menghadiri persidangan di pengadilan-pengadilan negeri; 2) adanya tindakan di ruang sidang yang mengganggu jalannya persidangan; 3) untuk menjaga marwah pengadilan. 

Perlu dicermati juga aturan yang tercantum dalam bagian II tentang Tata Tertib Persidangan angka 7 bahwa: "Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua majelis untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat." Pada angka 9 diatur: "Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud pada angka 7 bersifat suatu tindakan pidana, akan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya."

Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, jika aturan itu diterapkan, hanya akan menguntungkan mafia peradilan. Angin segar bagi mafia, tetapi angin buruk bagi wartawan.

"Surat edaran itu bertentangan dengan UU 40/1999 tentang Pers yang menjamin kerja-kerja jurnalistik dalam memperoleh informasi dan menyebarluaskan kepada masyarakat," kata Asfinawati kepada Gresnews.com, Kamis (27/2).

Menurut Asfin, kegiatan memfoto, merekam dan meliput persidangan tanpa izin adalah ranah hukum administrasi, padahal kegiatan jurnalistik tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang. Ketua pengadilan dan birokrasinya akan dengan mudah menolak permohonan izin tersebut dengan berbagai alasan dan kepentingan tertentu.

Berdasarkan catatan YLBHI, rekaman sidang di pengadilan memiliki sejumlah manfaat. Pertama, sebagai bukti keterangan-keterangan dalam sidang. Selama ini, Indonesia tidak memiliki tradisi dan ketentuan yang ketat mengenai catatan proses persidangan. YLBHI dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sering menemui keterangan saksi dikutip secara berbeda baik di dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) maupun putusan majelis hakim. Demikian pula dengan keterangan saksi kadang tidak dikutip secara utuh baik oleh jaksa maupun hakim, sehingga menimbulkan makna berbeda. Bahkan, merujuk pengalamannya sebagai pengacara publik, terdapat keterangan saksi tertentu yang tidak diambil sebagai pertimbangan.

Kedua, Asfin mengungkapkan, rekaman sidang, baik audio maupun video, juga bisa berperan sebagai pengawas bagi hakim dan pihak berperkara dalam bersidang. Mereka akan berpikir dua kali apabila hendak bertindak tidak baik dalam persidangan.

Hakim dan para pihak terikat pada hukum dalam bertindak di dalam sidang. Pasal 158 KUHAP, misalnya, melarang hakim menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di dalam persidangan tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa; atau Pasal 166 KUHAP yang mengatur pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi.

Ia menjelaskan masalah di ranah pengadilan belum banyak berubah meskipun terdapat sejumlah peraturan di MA yang membawa pembaruan. Tetapi praktik-praktik minta uang serta layanan yang belum teratur masih ditemui di mana-mana. "Pengadilan lambat merespons permintaan pihak-pihak yang berperkara," ujarnya. 

(G-2)

BACA JUGA: