JAKARTA - Citra positif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terus menurun belakangan ini tidak bisa dilepaskan dari faktor rendahnya komitmen antikorupsi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR, sebab baik proses pemilihan pimpinan KPK maupun pengesahan UU 19/2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, merupakan produk politik yang dihasilkan oleh presiden dan DPR.

"ICW (Indonesia Corruption Watch) menuntut agar Presiden Joko Widodo segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU KPK baru," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada Gresnews.com, Selasa (25/2), melalui surat elektronik.

ICW merujuk pada laporan dari sejumlah lembaga survei per 2020 yang menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap KPK menurun drastis, yang disebutkan oleh Kurnia sebagai, "Situasi terkini KPK banyak mengalami perubahan." Alvara melaporkan KPK menempati posisi kelima sebagai lembaga negara yang dipercaya oleh masyarakat. Survei terbaru Indo Barometer menyebutkan tingkat kepercayaan publik terhadap KPK berada di posisi empat, kalah dari TNI dan Polri. Padahal, pada 2016-2018, berdasarkan survei nasional yang dilakukan tiga lembaga yakni Polling Centre, The Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Lembaga Survei Indonesia (LSI), tingkat kepercayaan publik terhadap KPK berada di peringkat pertama, bahkan mengalahkan kepercayaan publik terhadap presiden.

Menurut Kurnia, rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap KPK itu disebabkan oleh dua hal: 1) Seleksi pimpinan KPK yang buruk sehingga membuat pimpinan KPK terpilih sarat kontroversi. Catatan ICW, selama proses pemilihan pimpinan KPK pada 2019 terdapat temuan krusial, salah satunya Panitia Seleksi (Pansel) KPK yang mengabaikan aspek integritas dan rekam jejak para calon. Hasilnya, lima pimpinan KPK yang terpilih memiliki banyak catatan miring, mulai dari dugaan melanggar kode etik, rendahnya tingkat kepatuhan dalam pelaporan harta kekayaan (LHKPN), hingga adanya dugaan konflik kepentingan pimpinan KPK dengan kasus korupsi yang saat itu tengah disidik KPK;

2) Manuver pemerintah dan DPR saat pembahasan UU KPK. Misalnya, UU KPK yang dari awal tidak masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2019 tiba-tiba diselundupkan demi mempercepat proses revisi dan pengesahan. "Tak hanya itu, pada saat pengesahan di rapat paripurna DPR pun tidak memenuhi kuorum. Diduga hanya sekitar 80-90 anggota yang hadir dari total 560 anggota DPR," kata Kurnia.

Tidak hanya masalah formil pengesahan revisi UU KPK, lanjut Kurnia, niat untuk melemahkan KPK pun tercermin dari substansi revisi UU KPK itu sendiri. ICW mencatat setidaknya ada 15 poin krusial dalam UU KPK baru, mulai dari menggeser makna independensi KPK, pembentukan instrumen pengawasan yang keliru, kewenangan berlebih dari Dewan Pengawas, penerbitan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3), sampai pada alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara.

Menurutnya, beberapa saat setelah pimpinan KPK baru terpilih dan UU KPK baru disahkan, dampak buruknya langsung terlihat. Sebagai contoh antara lain: 1) Pimpinan KPK gagal menjelaskan persoalan terkait rencana penyegelan kantor PDIP yang batal; 2) Pimpinan KPK gagal melindungi tim KPK yang sedang mencari Harun Masiku di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK); 3) Pimpinan KPK bertindak semena-mena terhadap penyidik KPK, yaitu Kompol Rosa; dan 4) Pimpinan KPK memainkan politik gimmick seperti menjadi koki nasi goreng.

(G-2)

BACA JUGA: