JAKARTA - Sebanyak 21 terpidana kasus korupsi yang berasal dari hasil penanganan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah berproses pada tingkat Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA). Fakta tersebut mesti menjadi perhatian Ketua MA Hatta Ali. Selama Hatta menjabat (2012-2019), sebanyak 10 terpidana korupsi dari KPK mendapatkan keringanan hukuman pada tingkat PK.

Sejumlah nama tokoh publik ada dalam daftar PK, misalnya: mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto, advokat senior OC. Kaligis, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar, dan pengusaha Kwee Cahyadi Kumala alias Swie Teng (bekas Presiden Direktur PT Sentul City Tbk. (BKSL).

Hatta diminta untuk lebih selektif menentukan komposisi majelis hakim. ICW mencatat, setidaknya dalam sepuluh putusan PK yang meringankan narapidana korupsi, terdapat hakim yang kerap memberikan putusan ringan. Misalnya LL Hutagalung, diketahui telah meringankan hukuman lima terpidana korupsi (Tarmizi, Patrialis Akbar, Rusli Zainal, OC Kaligis, dan Sanusi). Lalu Andi Samsan Nganro, yang diketahui meringankan hukuman empat terpidana korupsi (Tarmizi, Patrialis Akbar, Angelina Sondakh, dan Cahyadi Kumala). Selain itu, Sri Murwahyuni yang juga telah meringankan hukuman empat terpidana korupsi (Choel Mallarangeng, Suroso Atmomartoyo, Tarmizi, dan Patrialis Akbar).

Untuk syarat PK sendiri sebenarnya telah diatur secara tegas dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP yang berbunyi bahwa: 1) Apabila terdapat keadaan/novum; 2) putusan yang keliru; 3) kekhilafan dari hakim saat menjatuhkan putusan. "Namun, dalam beberapa kesempatan, syarat itu kerap diabaikan, sehingga putusan yang dihasilkan dinilai jauh dari rasa keadilan bagi masyarakat," kata Koordinator ICW Adnan Topan Husodo melalui keterangan yang diterima oleh Gresnews.com, Senin (4/11).

Dia berpendapat maraknya pengurangan hukuman pada tingkat PK akan membuat pelaku korupsi berbondong-bondong mencoba `peruntungannya` meskipun tidak didukung oleh bukti baru yang cukup.

Pemberian efek jera pada pelaku korupsi memang harus menjadi fokus pada setiap pemangku kepentingan, salah satunya lembaga peradilan. Dua data ICW menarik untuk dijadikan landasan argumen. Pertama, data tren vonis pada 2018  menunjukkan bahwa rata-rata hukuman yang dijatuhkan pengadilan pada pelaku korupsi hanya dua tahun lima bulan penjara. Kedua, data terkait PK, sejak 2007 sampai 2018, setidaknya 101 narapidana dibebaskan oleh MA.

"Jika fenomena pemberian keringanan hukuman bagi pelaku korupsi terus menerus terjadi maka tingkat kepercayaan publik pada MA akan semakin menurun. Ini terbukti pada survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia dan ICW pada Oktober tahun lalu, yang mana MA mendapatkan kurang dari 70% dari sisi kepercayaan publik," kata Adnan.

ICW juga meminta KPK dan Komisi Yudisial mengawasi jalannya PK di MA. Desakan ICW adalah MA menolak seluruh permohonan PK terpidana korupsi. (G-1)

BACA JUGA: