Layaknya orang melahirkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru menetapkan Sofyan Basir sebagai tersangka setelah sembilan bulan. Sofyan, bankir yang sukses mengantar Bank Rakyat Indonesia menjadi bank terbesar ini terjerat kasus korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uang Mulut Tambang Riau-1. Sofyan diduga menerima hadiah dengan mantan anggota Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih dari pemilik PT Samantaka Batubara Johannes B. Kotjo. Eni adalah mantan Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat kini menjadi terpidana karena terbukti menerima suap Rp 4,75 miliar dari Johannes Kotjo terkait dengan proyek pembangunan PLTU Riau-1. Eni dan Johannes masing-masing divonis 6 tahun dan 4,5 tahun penjara.

Kasus suap yang terkuak pada pertengahan Juli tahun lalu itu juga menyeret mantan pelaksana tugas Ketua Umum Partai Golkar Idrus Marham. Namun sayangnya majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta hanya memvonis Idrus 3 tahun penjara saja. Padahal sebagai politikus yang berada dalam lingkar penguasa seharusnya dia ikut membantu pemerintah memberantas korupsi. Ini malah menjadi pelaku, tentu hukuman berat layak diberikan.

Sebetulnya sebelum Sofyan sejumlah direksi PLN juga pernah tersangkut kasus hukum dengan beragam status ada yang telah masuk tahanan hingga menjadi tersangka. Mulai dari Eddie Widiono. Direktur Utama PLN periode 2001 – 2008 ini dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi proyek outsourching Costumer Information System – Rencana Induk Sistem Informasi (CIS-RISI) di PLN Distribusi Jakarta Raya (Disjaya) Tangerang, 2004-2007 yang merugikan negara Rp 46,1 miliar. Eddie dijatuhi hukuman lima tahun penjara.

Selain itu ada Dahlan Iskan, Direktur Utama PLN pada Desember 2009, terjerat kasus korupsi 21 gardu induk Jawa, Bali dan Nusa Tenggara 2011-2013. Dalam kasus itu diduga negara dirugikan hingga Rp 33,218 miliar. Nur Pamudji, Direktur Utama PLN setelah Dahlan Iskan yang menjabat mulai akhir 2011 hingga 2014 juga tersangkut kasus korupsi. Ia diduga terlibat dalam kasus korupsi pengadaan bahan bakar minyak (BBM) high speed diesel (HSD). Hingga kini, kelanjutan kasus yang membelit Nur Pamudji belum jelas.

Sederatan kasus yang menjerat para direksi PLN menunjukkan ada yang salah dalam sistem pengadaan di PLN. Kasus yang menjerat Sofyan dapat menjadi momentum untuk memperbaiki sistem pengadaan listrik di PLN. Terutama mengenai tata kelola dalam sistem tender supaya bisa lebih transparan. Terlebih PLN hingga kini masih menggarap Mega Proyek listrik 35.000 megawatt yang nilainya hampir Rp1.100 triliun.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sendiri sebelumnya telah menerbitkan dua aturan baru untuk mempercepat pelaksanaan proyek setrum 35.000 megawatt. Beleid tersebut, pertama, Keputusan Menteri Nomor 74K/21/MEM/2015 tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) Tahun 2015–2024. Beleid kedua, Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 3 Tahun 2015 tentang Prosedur Pembelian Tenaga Listrik dari PLTU Mulut Tambang, PLTU Batu Bara, PLTG, PTLMG, PLTA oleh PLN melalui penunjukan langsung. Kementerian ESDM juga mengeluarkan skema penunjukan langsung termuat dalam Peraturan Menteri Energi Nomor 19 Tahun 2017 tentang pemanfaatan batubara untuk pembangkit listrik dan pembelian kelebihan tenaga listrik (excess power).

Skema penunjukan langsung untuk proyek PLTU rawan penyimpangan lantaran tak ada kriteria yang jelas terkait mitra yang ditunjuk. PLN sebenarnya menerbitkan Peraturan Direksi Nomor 0336 Tahun 2017 yang membatasi penunjukan langsung bisa dilakukan selama anak usahanya turut andil dalam proyek. Namun, aturan tersebut tak memuat kewajiban anak usaha PLN menyelenggarakan lelang untuk mencari mitra. Kalau pun dilakukan tender tak juga jelas seberapa ketat proses tendernya.

Skema penunjukan langsung juga juga tak sesuai dengan praktik persaingan usaha yang sehat. Sebab, investor pembangkit kehilangan kesempatan berkompetisi dalam lelang terbuka. Jika sistem ini dipertahankan bukan tak mungkin minat investor untuk membangun infrastruktur kelistrikan semakin menurun. Hasil survei lembaga konsultan bisnis PriceWaterhouse Coopers tahun lalu menyebutkan hanya ada 65 persen dari investor yang ingin menanamkan modalnya di sektor kelistrikan Tanah Air. Angka tersebut turun dibanding survei tahun 2017 yang masih berada pada kisaran 89 persen. Transparansi menjadi pangkal utamanya.

Mengingat pentingnya mengejar kebutuhan tenaga listrik dan tenggat waktu mepet memang tak mudah untuk menghapuskan penunjukan langsung. Kalaupun pemerintah hendak mempertahankan penunjukan langsung perlu melengkapinya dengan persyaratan yang ketat dan transparan. Tujuannya agar dapat dimonitor dan dikontrol secara internal, maupun eksternal, termasuk kontrol masyarakat. Pengadaan dan perencanaan di PLN perlu peran serta BPK dan KPK sejak dalam perencanaan, penetapan pemenang tender, hingga pengawasan pelaksanaan pembangunan pembangkit listrik. Harapannya ruang gerak untuk melakukan korupsi di perusahaan setrum plat merah ini dapat dipersempit.

 

BACA JUGA: