JAKARTA, GRESNEWS.COM- Negara-negara berkembang mendesak negara maju segera merealisasikan janji pemberian dana penanggulangan dampak perubahan iklim. Isu tersebut menjadi isu utama dalam pertemuan para Pihak (Conference of the Parties--COP) Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Warsawa, Polandia, 11-22 November 2013. "Di Warsawa, kami berharap negara-negara maju membuktikan kesadaran mereka tentang betapa genting dan mendesaknya masalah perubahan iklim bagi negara berkembang," kata Rachmat Witoelar, Ketua Delegasi RI dalam pernyataan tertulis yang diterima redaksi Gresnews.com, Sabtu (16/11).

Rachmat mengatakan, cuaca ekstrim yang menyebabkan bencana ekologis dan kemanusiaan, seperti yang dialami Filipina, Vietnam, dan Palau, menunjukkan, komitmen yang lemah untuk pengurangan emisi dan penyediaan pendanaan saat ini akan menyebabkan ongkos menangani dampak perubahan iklim di masa depan makin tinggi. Padahal, negara-negara maju dalam pertemuan sebelumnya di COP-15 Copenhagen, Denmark tahun 2009, telah menjanjikan bantuan senilai US$ 100 miliar atau setara Rp 1,15 triliun per tahun hingga tahun 2020. Bantuan itu diberikan dalam rangka mendukung aksi mitigasi dan adaptasi di negara berkembang demi membantu dunia menjaga peningkatan suhu rata-rata tidak lebih dari 2 derajat Celcius dibandingkan dengan tingkat suhu sebelum Revolusi Industri.

Jumlah komitmen tersebut sebetulnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan pengurangan emisi dan adaptasi perubahan iklim di sekitar 129 negara berkembang yang menjadi Pihak UNFCCC. Karena itu pada COP-19 kali ini, Delegasi RI (Delri) menekankan bahwa negara maju tidak dapat menunda lagi realisasi komitmen pendanaan tersebut. Alasannya, fast start finance—komitmen pendanaan perubahan iklim untuk periode 2010-2012— akan segera berakhir dan ada kondisi kritis keuangan dana-dana multilateral untuk aksi perubahan iklim seperti Green Climate Fund dan Adaptation Fund.

Selama tiga tahun terakhir, negara-negara maju selalu menunda pembahasan untuk memperjelas bagaimana mereka akan melaksanakan komitmen pendanaan US$ 100 milyar tersebut dengan berbagai alasan. Antara lain krisis keuangan yang mereka hadapi dan kemajuan ekonomi beberapa negara berkembang. "Komitmen pendanaan yang terukur, termasuk untuk mendukung pengembangan dan alih teknologi, merupakan instrumen utama untuk membangun kepercayaan di antara negara-negara Pihak dan untuk memastikan partisipasi yang lebih luas dalam kesepakatan 2015" kata Suzanty Sitorus, negosiator pendanaan Indonesia.

Isu pendanaan juga menjadi pokok bahasan utama dalam perundingan mengenai elemen-elemen yang akan menjadi “kesepakatan 2015” (the 2015 agreement). Kesepakatan itu adalah rezim global untuk penanganan perubahan iklim yang akan berlaku setelah tahun 2020.  Indonesia menyampaikan pandangannya bahwa apapun aksi yang dicakup dalam kesepakatan 2015 untuk mencapai tujuan bersama menyelamatkan dunia dari berbagai macam bahaya perubahan iklim, hanya akan dapat dilaksanakan jika pendanaan tersedia dalam jumlah yang memadai, dapat diperkirakan dan berkelanjutan.

Dalam rezim pasca 2020, semua negara Pihak, termasuk negara-negara berkembang, diminta untuk mengambil komitmen pengurangan emisi yang lebih tinggi dan melaksanakan lebih banyak upaya adaptasi. Sebetulnya, sejalan dengan Bali Action Plan yang dihasilkan pada COP-13 tahun 2007, Indonesia dan beberapa negara berkembang lain telah melakukan banyak kegiatan pengurangan emisi dan adaptasi.

Oleh karena itu, Indonesia menekankan pentingnya rezim pasca 2020 mengakui upaya-upaya negara berkembang tersebut yang saat ini sebagian besar didanai oleh anggaran sendiri. Contohnya, implementasi Rencana Aksi Nasional dan Rencana Aksi Daerah Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK dan RAD-GRK). Indonesia juga mendorong agar negara berkembang yang telah melakukan berbagai inisiatif dini (early actions) dengan target yang ambisius mendapatkan insentif pendanaan yang signifikan. “Mekanisme pendanaan yang akan diterapkan untuk mendukung aksi dalam kesepakatan 2015 juga perlu memberikan ruang lebih besar bagi lembaga-lembaga nasional dari negara berkembang," kata Suzanty.

Saat ini menurut dia, akses pendanaan internasional masih didominasi oleh lembaga-lembaga multilateral. Selain itu, kendali lembaga nasional dalam pengelolaan program yang didukung oleh sumber internasional perlu lebih ditingkatkan. "Biar bagaimanapun, lembaga nasional memiliki pemahaman lebih baik mengenai kebutuhan khas di negara mereka masing-masing", kata Suzanty yang juga menjabat sebagai Sekretaris Pokja Pendanaan DNPI kepada sidang perundingan mengenai kesepakatan 2015.

Selain melalui perundingan yang dihadiri oleh para negosiator, Pemerintah Polandia yang menjadi Presiden COP-19 juga akan mendorong keputusan di tingkat politik. Pada tanggal 20 November, tuan rumah akan menyelenggarakan High Level Ministerial Dialogue on Climate Finance yang diharapkan akan memberikan kejelasan lebih besar tentang jalan (pathways) yang akan ditempuh oleh negara maju untuk merealisasikan komitmen pendanaan US$ 100 miliar.

(GN-03)

BACA JUGA: