JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dua warga negara Indonesia bernama Dirman (28) dan Badar (29) berhasil dibebaskan dari tangan kelompok bersenjata di pedalaman hutan PNG. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, kedua sandera itu dibebaskan dalam kondisi sehat walafiat.

"Saya sudah bicara dengan dua WNI itu. Mereka dalam kondisi sehat," kata Retno Marsudi di Istana Merdeka Jakarta, Jumat (18/9) seperti dikutip setkab.go.id.

Kedua WNI tersebut dibebaskan pada Kamis (17/9) malam waktu setempat. Usai dibebaskan, keduanya segera dibawa ke Konsulat RI di Vanimo, Papua Nugini.

Beberapa jam sebelum dilakukan pembebasan dua WNI itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan pembicaraan melalui telepon dengan Perdana Menteri PNG Peter ONeill pada Kamis (17/9) pukul 16.26 WIB.
Dalam percakapan itu, Presiden Jokowi menyampaikan apresiasinya kepada Pemerintah PNG atas upaya yang dilakukan Pemerintah PNG untuk membebaskan dua WNI yang masih disandera.

"Saya memantau dari dekat perkembangan situasi sebagaimana dilaporkan oleh Menteri Luar Negeri saya," kata Presiden Jokowi.

Dua WNI tersebut disandera sejak Sabtu (12/9) lalu. Kedua WNI itu bekerja di perusahaan penebangan hutan di wilayah Papua Nugini.

Retno Marsudi mengatakan, para penyandera kedua WNI itu berafiliasi dengan kelompok yang sering menuduh adanya pelanggaran HAM di Papua. "Informasi yang kita terima, pelaku penculikan kelompok bersenjata yang terafiliasi dengan kelompok yang sering menyuarakan tuduhan pelanggaran HAM di Papua," ujar Retno.

Kelompok yang menamakan diri Gerakan Separatis Papua Bersenjata (GSPB) itu beroperasi hingga masuk wilayah Papua Nugini (PNG). Sebelum melakukan penculikan, kelompok bersenjata ini telah menembak mati satu orang penebang kayu.

Kapuspen TNI Mayjen Endang Sodik mengatakan, kejadian berawal pada Rabu (9/9) di wilayah perbatasan Papua yakni di kampung Skofro, Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom, Papua. Dari pengembangan diketahui ada 4 orang yang menjadi korban.

"Ya itu aksi OPM tapi kami menyebutnya gerakan separatis Papua bersenjata. Pada tanggal 9 September mereka telah menembak mati satu penebang kayu di Kampung Skofro. Dari kasus itu dikembangkan ternyata yang kena ada 4 orang yang bekerja itu, satu mati, satu melapor ke polres, dan 2 orang lainnya tidak diketahui," ujar Endang, Minggu (13/9).

Baru pada tanggal 11 September 2015 diketahui, kedua orang WNI yang disandera itu ke daerah Skouwtiau, PNG. "Karena itulah TNI melalui Kodam Cenderawasih berkoordinasi dengan konsulat RI di Vanimo di PNG," kata Endang.

MINUS BARTER - Operasi pembebasan kedua WNI yang diculik kelompok bersenjata GSPB ini memang tidak mudah. Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris besal Polisi Suharsono mengatakan, aparat keamanan yang terdiri dari satuan Brimob maupun TNI tak bisa melakukan pengejaran lebih jauh karena kelompok itu masuk ke wilayah Papua Nugini.

Karena itu pemerintah pun segera melakukan koordinasi dengan pihak PNG untuk menyusun operasi pembebasan sandera ini. Dalam perkembangannya, kelompok itu mengajukan tuntutan agar kedua WNI yang disandera dibarter dengan kawan mereka yang terjerat kasus narkotika jenis ganja.

Atas tuntutan itu, pemerintah Indonesia menegaskan tidak akan ada negosiasi dengan kelompok OPM yang menyandera kedua WNI itu. "Kita tidak pernah mau negosiasi kalau masalah itu. Sekali kita negosiasi nanti kita didikte," ujar Menko Polhukam Luhut Panjaitan di Kantor Presiden, Jl Veteran, Jakarta, Rabu (16/9).

Meski begitu, pemerintah bekerjasama dengan pemerintah PNG akan memakai upaya persuasif untuk bisa membebaskan keduanya dalam keadaan selamat. Luhut menjelaskan pemerintah Indonesia menyerahkan sepenuhnya proses negosiasi kepada pemerintah Papua Nugini (PNG).

Pemerintah Indonesia terus berkoordinasi dengan pemerintah PNG untuk memberikan bantuan yang diperlukan. "Kita kasih ke pemerintah PNG saja. Memberikan sepenuhnya kepercayaan kepada PNG. Tapi tentu kita berkomunikasi dengan mereka sambil juga memberikan bantuan yang bila diperlukan sama mereka," kata Luhut yang menyebut tak ada tenggat waktu dalam misi penyelamatan tersebut.

Proses negosiasi itu sendiri memang cukup alot. Saking alotnya, negosiasi juga melibatkan pihak adat yaitu dilakukan antara kepala suku. "Antar kepala suku sudah komunikasi baik antar kapolda, pangdam, antar pemerintah juga komunikasi antara militer di Papua Nugini jadi sudah nyambung. Penyelesaian dilakukan secara adat," kata Staf Khusus Presiden Lenis Kogoya di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Jumat (18/9).

Upaya pembebasan secara adat disebut cukup efektif sebelum upaya militer dilakukan. Sementara mengenai pihak yang menyandera Dirman dan Badar disebut memang memiliki senjata. Kepala suku di Papua Nugini juga berperan dalam upaya pembebasan. Mereka memberikan informasi mengenai medan yang jadi lokasi penyanderaan.

Dalam prosesnya, negosiasi sempat terjadi tarik-ulur dari kubu penculik saat berhadapan dengan tim negosiator. "Awalnya janjian ketemu penyandera. Namun saat janjian pihak penyandera nggak datang malah masuk ke dalam hutan lagi," kata Juru Bircara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir di kantor Kemlu, Jl Pejambon, Jakpus, Jumat (18/9).

Dalam proses negosiasi itu, kata Arrmanatha, pihak TNI tetap bersiaga namun tidak masuk ke wilayah PNG.
"Prosesnya dari Selasa (15/9). Janjian sama pihak yang menculik namun batal terjadi terus berulang sampai kemarin akhirnya tentara PNG mencari ke dalam," sambung pria yang akrab disapa Tata ini.

Akhirnya setelah negosiasi yang alot, kedua WNI berhasil dibebaskan. Informasi pembebasan kedua sandera itu diterima pihak Kemlu pada Kamis (17/9) malam pukul 19.35 WIB. Kedua WNI itu kemudian diserahkan ke Konsulat RI di Vanimo, PNG pukul 13.00. Kedua sandera itu dibebaskan tanpa barter apapun.

PANEN APRESIASI - Keberhasilan pembebasan sandera lewat proses negosiasi dan diplomasi ini pun memanen pujian dari banyak pihak. Menkopolhukam Luhut B Pandjaitan mengapreasiasi keberhasilan pembebasan itu termasuk atas kerjasama baik pihak PNG.

"Terpadu dalam negeri Menlu menangani masalah komunikasi dengan pemerintah PNG. Sehingga dengan demikian pemerintah PNG dan pemerintah Indonesia melakukan komunikasi yang intensif," kata Luhut.

"TNI menyiapkan unsur-unsur bantuan bila diminta oleh pemerintah PNG. Karena kita punya pasukan anti teror dan kita sudah siapkan bila diperlukan. Dan juga polisi, BIN dan BAIS menyiapkan inteligen dan bekerjasama dengan PNG," sambungnya.

Apresiasi serupa juga datang dari Wakil Presiden Jusuf Kalla yang segera mengucapkan terima kasih ke pemerintah PNG. "Kita berterimakasih atas kerjasama itu," ujar JK di Istana Wapres, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (18/9).

JK mengatakan pembebasan sandera ini adalah usaha bersama pemerintah Indonesia dsn PNG. "Tentu dengan persetujuan atau pun perintah PNG," kata JK.

JK menegaskan tidak proses barter dalam pembebasan tahanan oleh kelompok OPM tersebut. "Tidak ada sama sekali," tegas JK.

Pujian juga dilayangkan Ketua DPR Setya Novanto. "Saya sangat mengapresiasi langkah cepat Presiden Jokowi, yang menelepon langsung Perdana Menteri Papua Nugini Peter Oneil, untuk meminta bantuan dan upaya pembebasan 2 warga negara kita, yang di sandera dan ditahan oleh OPM," kata Novanto dalam keterangan tertulisnya, Jumat (18/9).

Ucapan syukur disampaikan Novanto setelah mendengar kabar kedua WNI berhasil dibebaskan. Dia juga memuji langkah TNI dan Polri yang sigap. "TNI dan Polri juga sangat tanggap dan sigap dalam mengatasi permasalahan penyanderaan ini, yaitu dengan membentuk pasukan penyelamatan khusus yang langsung stand by di perbatasan antara Indonesia dengan Papua Nugini," ungkapnya.

Respons cepat pemerintah Papua Nugini dalam pembebasan 2 WNI ini juga dinilai patut diapresiasi. Hubungan kedua negara dinilai akan semakin baik. "Sebagai rakyat Indonesia dan Ketua DPR RI, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Pemerintah Papua Nugini, yang telah membantu membebaskan 2 rakyat Indonesia dari pihak OPM, yang menahan dan menyandera sejak beberapa hari lalu," kata Novanto.

MINIMUM FORCE - Proses pembebasan sandera yang dilakukan lewat proses negosiasi itu memang sangat ditekankan oleh pemerintah RI. Menlu Retno Marsudi sendiri telah meminta agar proses pembebasan sandera dilakukan dengan menggunakan kekuatan minimum alias minimum force.

Karena itulah, negosiasi menjadi senjata utama. "Message dari Bu Menteri, selamatkan kedua WNI dan menggunakan minimun force. Alhamdulillah, tidak luka hanya jatuh sehingga ada sedikit luka di kaki. Mereka berhasil dapatkan kedua WNI dari pihak pelaku. Memang dari awal mereka akan mengedepankan negosiasi dan persuasi. Mereka tentaranya standby tapi tidak gunakan kekerasan," kata Arrmanatha Nasir.

Terkait apakah dalam proses pembebasan itu ada baku tembak, Tata belum bisa mengungkapkannya. "Itu informasi yang tidak saya terima karena sekarang dibriefing," jawab Tata.

Ketika ditanya tentang keterlibatan TNI dalam upaya penyelamatan sandera, Arrmanatha mengatakan TNI baru akan dimintai bantuan setelah penyelamatan gagal.

"Ini kejadian di PNG. Dari awal kita koordinasi dan mereka mengatakan akan usaha semaksimal mungkin kalau tidak sanggup baru minta bantuan Pemerintah RI. "TNI standby dan tidak masuk PNG. Prosesnya dari selasa. Janjian sama pihak yang menculik namun batal terjadi terus berulang sampai kemarin akhirnya tentara PNG mengumbar mencari ke dalam (hutan)," ujar Arrmanatha.

Sementara itu, terkait tindakan hukum terhadap para penculik dari kelompok OPM, menurut Wakil ketua Komisi I DPR Tantowi Yahya, diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah PNG. Alasannya, karena kejadian penyanderaan ini tidak terjadi di wilayah RI.

"Karena lokasi penyanderaan bukan di wilayah kita, tindakan terhadap penyandera menjadi kewenangan pemerintah negara setempat, dalam hal ini PNG," ungkap politikus Golkar ini. (dtc)

BACA JUGA: