JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemulangan para korban perbudakan di Benjina yang merupakan para ABK asing dari Myanmar, Thailand dan beberapa negara ASEAN lainnya, ternyata tak otomatis menyelesaikan masalah. Para ABK korban perbudakan Benjina yang bertahun-tahun disekap dan dipekerjakan tanpa gaji yang memadai ini ternyata meninggalkan utang bertumpuk kepada warga lokal di sekitar.

Hal itu diketahui saat dilakukan briefing rencana pemulangan mereka dengan pewakilan International Organization for Migration (IOM) di Dobo, Kepulauan Aru, Minggu (17/5). Utang para korban perbudakan Benjina yang tercatat di warga setempat tidaklah sedikit. Dari mulai ratusan ribu, belasan juta.

"Bahkan ada yang mencapai Rp 100 juta," kata salah seorang perwakilan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)

Gelombang pertama pemulangan para ABK tersebut berjumlah 300-an lebih dan berlangsung dua pekan lalu. Data terbaru, terdapat 840 ABK asing yang terdata di Benjina. Mereka adalah yang menetap dan memilih menikah dengan warga lokal di Pulau Benjina, sebuah pulau yang masuk dalam wilayah Kepulauan Aru.

Belum diketahui persis apakah jumlah tersebut menginginkan meninggalkan Benjina dan pulang ke negeri asal mereka atau justru menetap di pulau tersebut. Pihak dari lembaga nonprofit IOM dan pemerintah saat ini melakukan pendataan terhadap warga asing yang ada di Benjina.

Memang, pemulangan pertama dan kedua muncul penolakan dari warga lokal. Alasannya mereka yang dipulangkan tersebut memiliki utang dengan warga setempat. Salah satunya adalah untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

"Situasi di Benjina tidaklah bagus, ketika kita bawa mereka ke Tual (12 jam dari Benjina dengan menggunakan Feri) , warga marah, bagaimana dengan utang kami," kata Kepala Sub Direktorat Pengawasan Penangkapan Ikan wilayah Timur Direktorat PSDP Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Turman Hardianto.

Cerita serupa juga dialami Kepala Unit kejahatan Perdagangan Orang Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim, AKBP Arie Dharmanto. Saat itu dia dan 12 orang penyidik dari Bareskrim turun langsung ke Benjina untuk melakukan pemeriksaan. Namun, baru saja turun dari kapal mereka dikejutkan dengan banyaknya kaum ibu yang mendatangi mereka.

"Mereka senang karena kami dikira orang-orang yang akan menjemput para ABK asing tersebut dan membayar utang-utang para ABK," cerita Arie.

Namun, Arie dan beberapa penyidik lainnya akhirnya menjelaskan maksud kedatangan mereka ke Benjina. "Walau mereka sempat kecewa, tapi akhirnya memahami," ujarnya.

Kapolres Kepulauan Aru, AKBP Harold Wilson Huwae, di hadapan perwakilan IOM mengatakan persoalan utang para ABK seharusnya menjadi tanggungjawab perusahaan. Karena selama ini para ABK yang nasibnya ditelantarkan tanpa menerima upah layak dari perusahaan mereka bekerja.

Namun, kata Harold, pihak perusahaan malah lepas tanggungjawab soal itu, "Bahkan mereka cerita kalau mereka pernah minta warga di Benjina tidak memberikan utang kepada para ABK, tapi tidak digubris warga, maka dari itu mereka menolak bertanggungjawab," kata Harold.

Perwakilan IOM sempat menanyakan kepada Harold terkait kemungkinan retistusi muatan dari dua kapal yang disita kepolisian terkait kejahatan perdagangan orang. Muatan ikan seberat kurang lebih 300 ton itu diharapkan dapat membantu pembayaran utang para ABK.

"Soal itu bukan kewenangan polisi, kami hanya menyita kapal-kapal yang menjadi bukti TPPO (tindak pidana perdagangan orang)," ujarnya. Menambahkan, kewenangan penyidikan terkait ikan hasil tangkapan tersebut ada di pihak PSDKP.

Meski demikian, kepolisian sigap mengantisipasi ikan-ikan tersebut hancur dengan cara menyimpannya di coolroom PT PBR untuk kemudian bisa menjadi bahan penyelidikan KKP dan juga lelang untuk kemudian masuk ke kas negara Adapun dalam praktik perdangan orang melibatkan korporasi, negara berhak untuk menyita aset-aset perusahaan yang terbukti secara sah melakukan kejahatan tersebut.

"Ancamannya pencabutan izin usaha, sita aset untuk kembalikan aset kepada korban, sanksi administrasi," kata Kepala Unit Human Trafficking, AKBP Arie Dharmanto, di Mabes Polri, Rabu (13/5).

Pasal berlapis pun menunggu pada pimpinan di Benjina bila ada indikasi kuat melakukan kejahatan perdagangan orang. "Jika ada dugaan dari pimpinan, maka bisa kita kenakan pasal berlapis," ujarnya,

Dalam Pasal 15 Ayat (2) Undang-undang 21/2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), disebutkan beberapa sanksi yang dapat diberikan kepada pihak korporasi bila terbukti terlibat perdagangan orang.

Sanksi tersebut mulai dari pencabutan izin usaha, perampasan kekayaan hasil kejahatan, pencabutan status badan hukum, pemecatan pengurus, sampai pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam badan usaha yang sama.

Polri sendiri dalam kasus Benjina ini memang mengincar keterlibatan korporasi. Sebab salah satu tersangka merupakan penanggung jawab pimpinan PBR Mukhlis Ohoitenan. "Itu secara otomatis akan menjerat korporasi sesuai Pasal 13 (UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang), jika terbukti ada keterlibatan langsung pimpinan akan dikenakan pasal berlapis," kata Arie Darmanto.

Bareskrim sendiri telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus perbudakan Benjina ini. Lima diantaranya merupakan nakhoda kapal berkewarnegaraan Thailand. Ketujuh tersangka tersebut adalah Hatsaphon Phaetjakreng, Boonsom Jaika, Surachai Maneephong, Somchit Korraneesuk (nakhoda kapal), Hermanwir Martino selaku Pjs Pimpinan PT PBR serta seorang pria bernama Mukhlis Ohoitenan yang turut berperan melakukan perdagangan orang.

Sementara nakhoda KM Antasena 838 atas nama Yongkut N masih akan dilakukan pemanggilan tersangka karena masih dalam proses hukum oleh PSDKP Tual.

Menurut Arie, penetapan tersangksa dilakukan setelah tim Satgas Polri memeriksa 50 ABK secara acak dari keseluruhan korban yang jumlahnya mencapai 357 orang berkewarnegaraan asing. Para korban ini diketahui mengalami penyekapan yang lamanya berkisar antara antara satu hingga enam bulan lamanya.

Selain memeriksa korban, Arie mengungkapkan, pihaknya juga melakukan pemeriksaan terhadap 16 saksi yang terdiri atas pihak imigrasi, syahbandar dan staf serta petugas keamanan PT PBR. Ada 49 Seaman Book Thailand dan 24 KTP warga Myanmar disita sebagai barang bukti. Ada juga catatan ABK yang dilakukan penyekapan, crew list, dhasuskim, gembok dan kunci tempat penyekapan serta lima kapal yaitu Kapal Antasena 311, Antasena 141, Antasena 142, Antasena 309 dan Antasena 838.

Kelima nakhoda yang diduga keras melakukan tindak pidana perdagangan orang dijerat UU Nomor 21 Tahun 2007 Pasal 2 dan atau Pasal 3 UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Tersangka Mukhlis dijerat dengan Pasal 2 dan atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Hermanwir juga dijerat dengan pasal yang sama dengan yang disangkakan kepada Mukhlis, namun dia ditambahkan dengan sangkaan melanggar Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang menyatakan, tersangka dalam melakukan tindak pidana tersebut bertindak untuk atas nama perusahaan, yaitu PT PBR.

Modus yang digunakan dalam tindak pidana perdagangan orang oleh PT PBR ini, Arie menjelaskan, dilakukan dengan cara merekrut warga negara Myanmar di Thailand dan memalsukan dokumen Seaman Book. Para korban dibawa atau diangkut masuk ke wilayah negara Indonesia oleh nakhoda kapal.

Kemudian ABK warga negara Myanmar dipekerjakan dengan waktu kerja yang berlebihan dan dengan gaji yang tidak jelas. Bagi ABK yang malas bekerja, ketinggalan kapal, lari dari kapal dan lain-lain dilakukan penyekapan atau dimasukkan ke dalam ruang tahanan yang berada di PT PBR.

Arie mengatakan kemungkinan tersangka bakal bertambah, salah satu adalah nakhoda kapal yang akan ditangkap. Akan ada delapan orang lagi yang dibidik menjadi tersangka. Sebagian besar adalah nakhoda kapal. Polisi mengatakan telah menyita sembilan kapal sebagai barang bukti. "Hari ini Kapolres Aru sudah melakukan penyitaan kapal," kata Arie.

Kepala Bareskrim Polri Komjen Budi Waseso mengatakan pelaku yang ditahan merupakan aktor-aktor utama dalam kasus perdagangan orang ini. Karena kendala teknis, Kabareskrim menyebutkan barang bukti kapal disita akan dilakukan dengan cara difoto.

Polri sendiri membentuk tim khusus ini berdasarkan Laporan Polisi Nomor P/16/III/2015/Maluku/Res.Aru/Sek.Aru Tengah, tertanggal 03 Maret 2015 lalu untuk mengungkap kasus perbudakan Benjina ini. Diketahui ada ratusan ABK asal Myanmar, Kamboja dan Laos meminta pemerintah Indonesia memulangkan mereka karena tidak tahan disiksa. Mereka mengaku dipaksa bekerja keras tanpa upah setimpal dan pelayanan kesehatan yang memadai. (dtc)

BACA JUGA: