JAKARTA, GRESNEWS.COM – Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) dua terpidana mati Anderson alias Belo dari Ghana dan Serge Areski Atlaoui dari Perancis. Pertimbangan majelis diantaranya tidak ditemukan kekeliruan terhadap putusan pengadilan dan grasi telah ditolak presiden.

Ketua Majelis Kasasi Artidjo Alkostar menyatakan menolak permohonan PK Martin berdasarkan putusan majelis yang beranggotakan Surya Jaya dan Suhadi. Alasannya permohonan PK terpidana tidak menunjukkan adanya kekeliruan nyata dalam putusan pengadilan negeri No. 2976/Pid.B/2004/PN.Jak.Sel. Menurutnya hal yang relevan secara yuridis juga sudah dipertimbangkan dengan benar.

"Terpidana pemohon PK menjual, menyalurkan, menyerahkan, dan menjadi perantara dalam jual belu dengan barang bukti berupa heroin murni seberat 50 gram yang merupakan tindak pidana Pasal 82 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997," kata Artidjo dalam pernyataan tertulisnya di Jakarta, Rabu (22/4).

Ia menambahkan bukti PK-1 berupa lampiran pemberitahuan putusan Mahkamah Agung atas nama Hillary K. Chimezie dinilai tidak memiliki relevansi yuridis. Sebab kasus Hillary dengan kasus yang dialami Martin berbeda sehingga bukti PK-1 tidak berkualitas sebagai novum.

Sebab tidak ada kekeliruan nyata dalam putusan judex facti dan tidak ada bukti baru maka alasan permohonan PK dianggap tidak memenuhi syarat dalam ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP. Terpidana pemohon PK juga sudah mengajukan grasi pada presiden atas hukuman mati yang dijatuhkan padanya. Tapi berdasarkan putusan presiden Nomor 1/G tahun 2015 pada 2 Januari 2015 dinyatakan permohonan grasi telah ditolak.

Lalu untuk permohonan PK atas nama Serge Atlaoui, susunan majelis kasasi masih diketuai Artidjo dan beranggotakan Surya dan Suhadi. Majelis dalam putusannya juga menolak permohonan PK Serge dengan sejumlah pertimbangan. Pertimbangannya ada kekeliruan dalam putusan judex juris MA Nomor 772/K/Pid/2007.

"Perbuatan terpidana pemohon PK yang memproduksi dan atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I secara terorganisasi," lanjut Artidjo.

Selanjutnya, ia menyebutkan sejumlah barang bukti diantaranya bahan senyawa kristal putih sebanyak 14 kantong yang tiap kantongnya berisi 50kg positif Efidrin HCL dan bahan senyawa kristal putih sebanyak 31 karung yang berisi 25 kg per karungnya positif Efidrin HCL.

Ia menilai perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana serius yang sangat membahayakan bangsa dan negara khususnya generasi muda karena sudah memproduksi psikotropika secara terorganisasi, bersekongkol, dan bersepakat memproduksi psikotropika di Kabupaten Serang Banten. Lalu permohonan grasi presiden juga telah ditolak presiden.

Terkait hal ini, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Tony Tribagus Spontana mengatakan putusan MA melegakan baginya sebab mempermulus jalan menuju pelaksanaan eksekusi. Ia menjelaskan pelaksanaan eksekusi sudah disiapkan sejak lama. Tapi terkendala karena para terpidana hukuman mati melakukan upaya hukum.

"Bahkan ada yang melakukan upaya hukum yang tidak lazim seperti gugat ke PTUN," ujar Tony saat dihubungi Gresnews.com, Rabu (22/4).

Ia melanjutkan untuk dua terpidana mati Serge dan Martin PK sudah ditolak. Karena sudah final ia mengklasifikasikan keduanya sebagai terpidana yang sudah siap diekseskusi karena sudah melalui semua proses hukum. Kejaksaan hanya tinggal menunggu satu putusan PK terpidana Zainal Abidin dari Palembang yang diharapkan bisa diputus MA minggu ini.

Menurutnya kalau dalam minggu ini MA sudah bisa memutus permohonan PK Zainal maka nama-nama yang sudah akan dieksekusi sudah tuntas. Sehingga pelaksanaan eksekusi hanya tinggal menunggu dari selesainya Konferensi Asia Afrika. Setelah konferensi berskala internasional tersebut selesai, kejaksaan baru akan menentukan hari eksekusi hukuman mati.

BACA JUGA: