JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mahkamah Agung (MA) diminta untuk mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal peninjauan kembali (PK) yang boleh diajukan lebih dari satu kali ketika ditemukan bukti baru. Pasalnya MA hanya membolehkan PK hanya sekali yang ditegaskan melalui surat edaran MA.

Persoalan ini digugat oleh tiga advokat dari organisasi advokat yang berbeda. Para penggugat tersebut diantaranya Miftahur Rokhman Habibi dari Peradi, Marselinus Abi dari Kongres Advokat Indonesia (KAI), dan Edy M. Lubis dari Peradin. Dalam perkara yang bernomor 12/pdt.G/2015/PN.JKT.PST itu, mereka mempermasalahkan MA yang telah mengeluarkan Surat Edaran MA (SEMA) nomor 07 Tahun 2014 tentang pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali (SEMA 07/2014).

Melalui kuasa pemohon, Dedi Junaidi, mereka mengatakan, tindakan MA menerbitkan SEMA 07/2014 keliru. SEMA tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum pada masyarakat yang sedang mencari keadilan. "Masyarakat pencari keadilan misalnya mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar sangat dirugikan," ujar Dedi saat dihubungi Gresnews.com, Rabu (8/4).

Dedi menjelaskan dasar hukum para pemohon menggugat MA karena Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan uji materil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP) nomor 34/PUU-XI/2013 (MK 34/2013). Putusan MK menyatakan Pasal 268 Ayat (3) UU KUHAP tentang peninjauan kembali yang dibatasi hanya satu kali bertentangan dengan undang-undang.

Mengacu pada putusan MK, pengajuan PK, menurut Dedi, bisa dilakukan lebih dari satu kali selama ditemukan alat bukti yang baru. MK sebagai lembaga yudikatif yang berperan sebagai pengawal konstitusi, putusannya harus diikuti oleh lembaga yudikatif lainnya diantaranya MA.

Terkait proses hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Dedi menjelaskan dalam persidangan yang ketiga kalinya, majelis memberikan fasilitas mediasi untuk pihak tergugat dan penggugat. Tapi dalam proses mediasi, baik MA maupun penggugat malah menemukan deadlock.

Dedi menjelaskan dalam mediasi mereka meminta MA untuk menjalankan putusan MK 34/2013. Dalam hal ini, para pemohon yang terdiri dari advokat merasa dirugikan karena mereka sedang mengupayakan langkah hukum kasus yang menjerat Antasari Azhar yang telah divonis 18 tahun penjara. Selanjutnya, karena mediasi yang disediakan PN Jakpus menemui jalan buntu, proses persidangan akan dilanjutkan untuk masuk ke pokok materi pada 30 April 2015.

"Kami sudah minta Komisi Yudisial untuk memantau jalannya sidang ini agar proses di pengadilan berlangsung dengan jujur, adil dan arif," lanjutnya.

Saat dikonfirmasi Gresnews.com, Juru Bicara MA Suhadi malah menyatakan belum mengetahui adanya gugatan ke PN Jakpus. Ia pun enggan mengomentari gugatan ini karena belum membaca gugatan dari penggugat. "Kalau memang MA di pihak tergugat tentu ada dalam jawaban," ujar Suhadi.

Terlepas gugatan di PN Jakpus, Suhadi menjelaskan SEMA 07/2014 tentang peninjauan kembali hanya boleh sekali mengacu pada tiga Undang-Undang diatasnya. Diantaranya KUHAP, Undang-Undang (UU) MA, dan UU Kekuasaan Kehakiman.

Dalam UU MA disebutkan PK hanya boleh diajukan satu kali. Begitu pun dengan UU Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan putusan PK tidak boleh dilakukan PK kembali. Sehingga MA berpendirian PK berdasarkan UU tersebut hanya boleh diajukan satu kali.

Soal polemik karena SEMA 07/2014 bertentangan dengan putusan MK 34/2013, menurutnya, berdampak pada persoalan hukuman mati. Ia mencontohkan saat seseorang diberikan hukuman mati maka akan mengajukan PK yang kedua kalinya. "Akibatnya banyak yang mengajukan PK ketika seseorang akan dihukum mati," kata Suhadi.

Tidak hanya yang berhubungan dengan persoalan hukuman mati, ia mencontohkan untuk kasus korupsi para terdakwa juga bisa jadi mengajukan PK berkali-kali. "Akibatnya MA akan mengalami ´banjir´ perkara permohonan PK," tandas Suhadi.

BACA JUGA: