JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kehadiran negara dinilai diperlukan dalam pengaturan rumah susun. Sebab perhimpunan pemilik dan penghuni rumah susun yang dibentuk oleh pengembangnya seringkali sewenang-wenang dalam pengelolaan rumah susun.

Pandangan ini disampaikan Ahli pemohon dari Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo. Sebelumnya sejumlah pemohon seperti Kahar Winardi, Wandi Gunawan Abdilah, Chuzairin Pasaribu, Lanny Tjahjadi, Henry Kurniawan Muktiwijaya, Pan Esther dan Liana Atmadibrata menggugat Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun).

Pasal 75 ayat (1) berisi ketentuan pelaku pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) paling lambat sebelum masa transisi sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat (2). Adapun Pasal 59 berisi ketentuan paling lama satu tahun sejak penyerahan pertama kali Satuan Rumah Susun (SARUSUN) pada pemilik.

Menurut mereka, frasa ´pelaku pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya PPPSRS´ memungkinkan terjadinya monopoli pembentukan PPPSRS. Lalu frasa ´masa transisi´ sering disalahgunakan pelaku pembangunan untuk mengulur waktu pembentukan PPPSRS. Sehingga dampaknya pelaku pembangunan memiliki waktu lebih lama mengelola rusun.

Sudaryatmo menilai pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) oleh pelaku pembangunan atau developer dalam rusun tidak bersifat partisipatif. Akibatnya berdasarkan laporan yang masuk ke YLKI, kinerja PPPSRS dianggap tidak menguntungkan penghuni rusun.

"Misalnya di tiap rusun ada ruang serbaguna yang bisa digunakan untuk acara-acara penghuni rusun, tapi ruang serbaguna ini malah dijadikan lahan komersial," ujar Sudaryatmo saat memberikan keterangan dalam sidang pengujian UU Rusun di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (7/4).

Lalu ia mencontohkan masalah lainnya dengan ada PPPSRS. Misalnya penghuni rusun seringkali keberatan dengan tagihan listrik yang tidak diikuti dengan laporan pertanggungjawaban berupa transparansi. Bahkan penghuni rusun yang memiliki sifat kritis terhadap PPPSRS tak jarang dimatikan aliran listriknya.

Menurut Sudaryatmo, permasalahan yang seringkali terjadi pada rusun ini lantaran belum ada kehadiran negara. Seharusnya negara hadir untuk memberikan perlindungan konsumen. Negara bisa berperan melindungi konsumen jangan sampai dieksploitasi developer atau berperan memfasilitasi ketika terjadi perselisihan antaran developer dengan penghuni rusun.

Menanggapi penjelasan Ahli, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar mengatakan para pemohon berasal dari rusun yang bersifat komersial dari empat kualifikasi rusun. Sehingga rusun dari para pemohon bukan diurus oleh negara tapi swasta.

"Idealnya sejak kapan pemerintah harus memfasilitasi itu? Apakah memang dari awal atau masih dalam masa transisi?" tanya Patrialis pada kepada ahli dalam sidang tersebut.

Diharapkan kehadiran negara, padahal ini persoalan komersial yang memang harusnya itu menjadi kewenangan pemilik, bukan negara. Tapi malah diminta kewenangan negara. Bila oleh negara terjadi tindakan yang sama seperti aliran listrik diputus karena tidak bayar listrik. Lalu seandainya ada pemanfaatan fasilitas umum yang dikomersialkan. Ia mempertanyakan bagaimana konsep ahli ketika tetap ada perlakuan yang sama dilakukan pemerintah seperti PPPSRS.

Menjawab hal ini, Sudaryatmo mengatakan rusun masuk ke dalam kategori assential commodity sehingga harus ada kehadiran negara terlepas rusun tersebut milik swasta atau negara. Sebab negara bisa berperan untuk mencegah adanya eksploitasi dari developer. Terkait kapan negara hadir yaitu ketika ada perselisihan antara penghuni dengan developer.

Negara juga harus hadir dalam hal essential service misalnya untuk listrik. Harus dipertegas sejauh mana PPPSRS punya hak untuk menghentikan aliran listrik. Dalam prakteknya, penghuni yang kritis, listriknya diputus sehingga seperti terdapat negara dalam negara di rusun.

BACA JUGA: