JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang pengetatan remisi (PP 99) menjadi polemik. Sebagian pihak mendukung rencana tersebut , sebagian lagi menolaknya. Mereka yang mendukung revisi PP 99 ini menilai diperlukan perbaikan atas substansinya PP tersebut lantaran dianggap diskriminatif dan bertentangan dengan undang-undang di atasnya.

Terkait hal ini, penggagas Indonesia Prison Studies Ahmad Taufik mengatakan PP 99 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pada Pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan menyebutkan sejumlah jaminan hak narapidana. Diantaranya hak untuk mendapatkan remisi, hak pembebasan bersyarat, dan hak asimilasi.

"Banyak hak terpidana untuk mendapatkan pembebasan bersyarat dan hak lainnya dirampas akibat intervensi dari lembaga lain. Apalagi seringkali juga terjadi diskriminasi dalam proses peradilan dan putusan peradilan," ujar Ahmad dalam diskusi remisi dalam perspektif hukum dan pemberantasan korupsi di Warung Komando, Jakarta, Minggu (29/3).

Ia melanjutkan adanya kemungkinan tidak adilnya proses peradilan dan implementasi pengetatan remisi yang diskriminatif tersebut, menurutnya, tidak sejalan dengan UU Pemasyarakatan. Sehingga negara harus bertanggungjawab untuk mengharmonisasikan peraturan dengan undang-undang di atasnya dengan semangat anti diskriminasi, perlakuan adil, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Menurut Ahmad, jika PP 99 direvisi secara tidak langsung juga menutup peluang korupsi. Sebab poin justice collaborator seringkali dijadikan ´transaksi´ bagi pemberian remisi terhadap seorang pidana kejahatan luar biasa. Tanpa peran justice collaborator pun akhirnya seseorang bisa mendapatkan remisi karena peran tersebut bisa dibeli dengan uang.

Selanjutnya, Ketua Dewan Etik Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Sugeng Teguh Santoso mengatakan kedudukan sistem pemasyarakatan merupakan subsistem dari sistem peradilan pidana. Kedudukan sistem pemasyarakatan tersebut ditegaskan dalam Pasal 8 UU Pemasyarakatan. Pasal ini menyebutkan petugas pemasyarakatan merupakan pejabat fungsional penegak hukum yang melakukan tugas di bidang pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan.

"Pembinaan dalam sistem pemasyarakatan harus dilaksanakan berdasarkan asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, dan penghormatan terhadap harkat martabat manusia," ujar Sugeng pada kesempatan yang sama.

Lalu PP 99 juga jelas bertentangan dengan Pasal 14 ayat (1) huruf I UU Pemasyarakatan. Pasal tersebut berisi ketentuan narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa tahanan. Sehingga tidak diatur pembatasan remisi bagi terpidana. Sehingga ia menyimpulkan karena PP merupakan turunan dari UU secara hirarki, maka setiap PP tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.

Sebelumnya, Menkumham Yasonna Laoly menyatakan agar narapidana korupsi, terorisme, dan narkoba diberikan remisi yang menjadi hak bagi tiap narapidana. Untuk itu, ia mewacanakan akan merevisi PP 99 yang dianggap bersifat diskriminatif tersebut.

BACA JUGA: