JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) bersikeras untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat  (PB) bagi pelaku kejahatan luar biasa seperti tindak pidana korupsi. Padahal, upaya pengurangan hukuman itu ditentang berbagai pihak.

Staf Ahli Menkumham, Makmun, mengatakan, remisi dan PB merupakan hak terpidana yang telah diatur oleh undang-undang. Untuk itu pihaknya tidak bisa menjegal hak pengurangan hukuman tersebut termasuk kepada para koruptor.

Uniknya lagi, dia menyatakan tujuan utama menghukum para pelaku korupsi adalah mengembalikan uang negara. "Tempat penghukuman itu ada, tapi kan yang terutama dalam pemberantasan korupsi adalah berupaya mengembalikan uang negara," kata dia dalam diskusi di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakara, Selasa (24/3).

Dia melanjutkan, sejatinya tujuan dilakukan pemidanaan adalah untuk menegakkan norma hukum. Selain itu, untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan, menyelesaikan konflik, serta membebaskan rasa bersalah.

Kemudian, ia juga mengambil kutipan dari Perdana Menteri Inggris periode 10 Mei 1940-26 Juli 1945 Sir Winston Leonard Spencer Churchill atau lebih dikenal dengan nama Winston Churchill bahwa tinggi rendahnya peradaban bangsa diukur dari bagaimana kita memperlakukan pelanggar hukum.

Dia memaparkan maksud dan tujuan diberikannya remisi terhadap narapidana. "Stimulus untuk memotivasi napi. Kalau tidak diberikan kurang termotivasi, bahkan cenderung frustasi, yang berpotensi terjadi gangguan keamanan dalam lapas," tandasnya.

Mengenai gangguan keamanan tersebut, dia memberikan contoh mengenai kerusuhan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta, Medan, beberapa waktu lalu. Ketika itu, lima orang tewas yang diantaranya seorang narapidana, dua orang penjaga lapas dan dua orang lagi juru masak.

Contoh yang diberikannya itu terkesan aneh, sebab lapas kelas I itu bergejolak karena kapasitasnya tidak sesuai dengan narapidana. Para wartawan pun mengkonfirmasi mengenai hal itu. "Itu bukannya over capacity (kelebihan kapasitas) Pak? Hubungannya sama remisi apa ya?" tanya seorang wartawan.

Lantas, dia berkilah bahwa yang diutarakannya itu hanyalah salah satu contoh saja. "Itu kan salah satunya, salah satu tujuan remisi," kilahnya.

Pelaksana Tugas Pimpinan KPK Johan Budi Sapto Pribowo yang juga hadir dalam diskusi ini mengaku tidak sependapat dengan apa yang dikatakan Makmun. Menurutnya, tujuan pemberantasan korupsi bukan sekadar mengembalikan keuangan negara melainkan juga memberikan efek jera.

"Dalam poin kedua ini kita beda pendapat, kalau semua pelaku ini sama tentu kemunduran, enggak sejalan dengan apa yang disampaikan Presiden," kata Johan.

Menurut Johan, dalam kampanye pilpres lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa tindak pidana korupsi merupakan musuh masyarakat sehingga para pelaku korupsi itu harus dihukum berat dan juga ditindak tegas.

Johan menjelaskan tindak pidana korupsi berbeda dengan tindak pidana lainnya sekalipun itu merupakan pidana berat seperti terorisme dan narkotika. Sebab, dampak yang ditimbulkan dari terjadinya korupsi cukup luas dan berkepanjangan.

"Saya bukan mengecilkan terorisme atau narkotika, tapi efek korupsi itu tidak hanya satu waktu dan satu tempat saja. Efeknya bisa beberapa tahun kemudian masih terasa," ujar Johan.

Untuk itu Johan tidak sependapat bahwa ada persamaan perlakuan antara narapidana korupsi dengan narapidana perkara lain. Sehingga prinsip persamaan perlakuan di depan hukum seharusnya juga dikesampingkan demi rasa keadilan masyarakat.

"Prinsip equality before the law, bukan menyamakan tindak pidana berat dan ringan. Bahwa semua terpidana punya hak diberi remisi itu ya, tapi kalau sama diperlakukan itu tidak pas. Tujuan pemberantasan korupsi bukan hanya mengembalikan uang yang dirampok, ini agak berbeda," ujar mantan juru bicara KPK itu.

BACA JUGA: