JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komnas Perempuan mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghapuskan peraturan daerah (Perda) yang dinilai diskriminatif terhadap perempuan. Desakan tersebut disampaikan Komnas Perempuan dalam acara tatap muka dengan Jokowi pada Senin (16/3). Sebagai respons balik, Jokowi berjanji akan mengutus kementerian dalam negeri untuk berkoordinasi dengan Komnas Perempuan agar permintaan penghapusan perda diskriminatif tersebut bisa ditindaklanjuti.

Komisioner Komnas Perempuan Yuniyati Chuzaifah menyebutkan hingga 2015 terdapat sebanyak 365 perda yang diskriminatif terhadap perempuan. Menurutnya, negara harus berani untuk menghapuskan perda-perda tersebut. Sebab ketika ada satu perda yang diskriminatif muncul di satu daerah akan muncul peluang perda diskriminatif bisa muncul di daerah lainnya.

"Bagaimana negara berkelit ketika wilayah lain berlakukan misalnya qanun jinayah seperti di Aceh? Tiba-tiba nanti orang boleh dihukum cambuk. Ini artinya akan ada hukum pidana yang beragam di Indonesia. Bagaimana dengan harmonisasi hukum di Indonesia?" ujar Yuniyati usai konferensi pers Komnas Perempuan di kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Jumat (20/3).

Permasalahan terkait perda diskriminatif ini, menurut Yuniyati, berpotensi disalin ke daerah lain tanpa melihat konteks, tanpa mengkritisi, dan tanpa adanya masukan dan partisipasi dari masyarakat dan pihak terkait. Padahal perda diskriminatif tersebut jelas berdampak besar bagi perempuan.

Misalnya, ada perda yang membatasi perempuan keluar malam. "Bagaimana ketika perempuan tersebut single parent dan harus menghidupi anaknya dengan bekerja malam?" ujarnya.

Lalu soal perda pelarangan prostitusi, ia menekankan prostitusi merupakan kekerasan terhadap perempuan. Tapi dengan membuat peraturan yang hanya mengkriminalkan perempuan jelas diskriminatif. "Sebab dalam bisnis prostitusi tidak hanya perempuan yang bermain, tapi ada pihak-pihak pebisnis besar yang harusnya juga dikenakan hukuman," tegas Yuniyati.

Terkait hal ini, Ketua Komisi VIII DPR sebagai komisi yang membidangi pemberdayaan perempuan Saleh Partaonan Daulay mengatakan perda tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum di atasnya. Sehingga sebaiknya perda-perda yang bertentangan dengan aturan diatasnya agar ditertibkan.

"Tentu pemerintah pusat yang memiliki peran untuk menertibkannya terutama dalam hal ini kementerian dalam negeri," ujar Saleh saat dihubungi Gresnews.com, Jumat (20/3).

Ia menambahkan dalam konstitusi semangat perlindungan terhadap perempuan besar misalnya soal kesamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Begitupun dengan peraturan perundang-undangan juga menurutnya telah melindungi hak-hak perempuan. Misalnya dalam pemilu, tiap partai harus memberikan kuota sebesar 30 persen pada perempuan untuk maju sebagai calon legislatif.

Dalam konteks ini, menurut Saleh, konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang melindungi perempuan juga harus diikuti aturan di bawahnya yaitu perda. Ia mengaku belum mengetahui secara persis perda mana saja yang dianggap diskriminatif terhadap perempuan. Tapi ia menyetujui agar pemerintah segera menertibkan perda-perda yang bertentangan dengan ketentuan perundangan-undangan yang ada di atasnya sehingga bisa sejalan.

Data dari Komnas Perempuan mengungkapkan sejumlah daerah yang memiliki perda diskriminatif terhadap perempuan. Nanggroe Aceh Darussalam Kabupaten Bireuen tercatat memiliki Perda Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat. Perda ini mengatur hukuman bagi peminum khamar dengan cambuk sebanyak 40 kali, pelaku zina sebanyak 100 kali cambuk, dan penuduh orang berzina sebanyak 80 kali cambuk.

Lalu di Sulawesi Selatan, Kabupaten Bulukumba, terdapat Perda Nomor 5 Tahun 2003 yang mengatur tata cara berpakaian muslim dan muslimah. Selanjutnya, di Yogyakarta dan Banten terdapat perda yang melarang pelacuran. Perda pelacuran dianggap diskriminatif lantaran hanya perempuan yang dijadikan objek kriminalisasi.

BACA JUGA: