ICJR: Remisi Bagi Koruptor tak Sesuai Peraturan dan Keputusan Mahkamah Agung
JAKARTA, GRESNEWS.COM - Institute Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritik keras sikap pemerintah saat ini yang sedang merencanakan pemberian remisi bagi para koruptor. Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, pemberian remisi ini bertolak belakang dengan semangat dan isi dari Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang pengetatan remisi.
Supriyadi menegaskan, sikap Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly tidak sejalan dengan PP yang mengatur soal pembatasan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi tindak pidana kejahatan luar biasa itu. Alih-alih melaksanakan, Yasonna, kata Supriyadi, malah menilai PP itu diskriminatif.
Bahkan, Yasonna berani mengatakan, seburuk-buruknya napi kasus korupsi, mereka tetap harus diberikan haknya untuk mendapat keringanan hukuman seperti narapidana kasus lain. "Pemerintah seharusnya melaksanakan peraturan yang ia buat sendiri. Oleh karena itu jika pemerintah tetap bersikeras melakukan remisi bagi koruptor yang jelas-jelas melanggar peraturan ini berarti pemerintah sendiri yang tidak taat peraturan," kata Supriyadi kepada Gresnews.com, Senin (16/3).
Pemerintah, menurut dia, juga sebaiknya membaca secara lebih cermat Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 P/HUM/2013 yang telah memberikan legitimasi yang sangat kuat bagi pelaksanaan atas PP 99 tahun 2012. "Sehingga tidak ada alasan diskriminatif dan melanggar hak narapidana koruptor yang dinyatakan sebelumnya oleh pemerintah," kata Supriyadi.
Pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan: "Bahwa tidak ternyata ada pertentangan antara Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 karena tujuan utama dari Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 adalah pembinaan narapidana. Pembinaan yang berbeda terhadap narapidana, merupakan konsekuensi logis adanya perbedaan karakter jenis kejahatan yang dilakukan narapidana, perbedaan sifat berbahayanya kejahatan yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang dilakukan oleh masing-masing narapidana".
Dalam putusan itu, MA juga menyatakan, keberadaan PPNomor 99 Tahun 2012 memperketat syarat pemberian Remisi agar pelaksanaannya mencerminkan nilai keadilan. Sehingga menunjukkan pembedaan antara pelaku tindak pidana yang biasa atau ringan dengan tindak pidana yang menelan biaya yang tinggi secara sosial, ekonomi, dan politik yang harus ditanggung oleh Negara dan/atau rakyat Indonesia.
MA memutuskan, adanya perbedaan perlakuan itu merupakan konsekuensi etis untuk memperlakukan secara adil sesuai dengan dampak kerusakan moral, sosial, ekonomi, keamanan, generasi muda, dan masa depan bangsa, dari kejahatan yang dilakukan masing-masing narapidana. MA menegaskan, korupsi di Indonesia telah merampas hak-hak dasar sosial dan ekonomi dari rakyat Indonesia dan berlangsung secara sistemik dan meluas sehingga menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary crimes).
Karena itu, dengan adanya PP Nomor 99 Tahun 2012 justru menunjukkan adanya konsistensi roh atau spirit penanggulangan kejahatan berat atau yang bersifat extraordinary crimes. "Agar kejahatan tersebut tidak sampai meruntuhkan tatanan sosial dalam masyarakat bangsa Indonesia," demikian bunyi putusan MA.
Untuk ICJR menyerukan agar pemerintah konsisten dengan aturan yang dibuatnya sendiri. "Pemerintah juga harus berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan agar tidak bertentangan dengan peraturan perundnag-undangan yang ada," tegas Supriyadi.
Menkumham Yasonna Laoly memang berkeras untuk tetap bisa memberikan remisi bagi para koruptor. Dia bahkan menyingung persoalan hak asasi manusia sebagai salah satu alasannya. "Filosofi kita adalah membina terpidana korupsi. Ini adalah hak narapidana dalam konteks human rights. Manusia sejahat apapun punya hak. Dihukum, tetapi tetap hak fundamentalnya ada," kata Yasonna beberapa waktu lalu.
Menkumham menjelaskan, kalau mau menghukum berat koruptor bisa dilakukan dengan memberatkan hukumannya. Misalnya, ada seorang napi korupsi tidak kooperatif, dia bukan whistle blower, maka itu bisa menjadi alasan pemberatan hukuman.
"Hakimlah yang menentukan besaran hukumannya. Dan yang lebih baik, buat koruptor itu membayar senilai yang dia korup. Itu yang harus dibayar, disita, dan ditambah pemberatan berapa miliar (dendanya)," ujar Yasonna.
Jadi, lanjut Menkumham, hukuman badannya tetap jalan, tetapi jangan hilangkan hak dia sebagai narapidana dalam pembinaan. Jadi ini harus kita koreksi sistemnya. "Ini yang mau saya luruskan," tegasnya.
Namun diakui Menkumham bahwa rencana pemberian remisi kepada koruptor itu masih dalam pembahasan secara lmiah. "Filosofi kita adalah membina terpidana koruptor. Ini adalah hak narapidana dalam konteks human rights. Manusia sejahat apapun punya hak. Dihukum, tetapi tetap hak fundamentalnya ada," terang Yasonna.
Menurut Menkumham, ia akan memperbaiki sistem pemberian remisi dan pembebasan bersyarat dengan sistem online, dan sudah dialokasikan anggaran. Dengan demikian, narapidana yang sudah berhak menurut undang-undang untuk mendapatkan remisi, bisa langsung dimasukkan datanya online, seperti nama, kejahatan yang dilakukan, lama masa tahanan, dan apa yang sudah dilakukan selama menjadi tahanan. Sehingga orang-orang bisa lihat secara transparan.
"Saya tidak menutup mata bahwa pada pemberian remisi dan pembebasan bersyarat kerap terjadi aksi suap menyuap. Kalau tidak ada uangnya tidak dikasih remisi. Itu yang mau kita berantas, dengan sistem online nanti akan bisa, sama seperti ujian CPNS. Dan saya punya akses di kantor saya," terang Yasonna.
Mengenai suasana lembaga pemasyarakatan (Lapas) yang sekarang padat, dimana orang sembarangan masuk, menurut Menkumham, pihaknya nanti akan beri CCTV, yang bisa diakses real time dari kantornya. Selain itu, juga akan dipasang finger print door lock untuk akses keluar masuk lapas. "Jadi mari kita meletakkan perbaikan sistem itu dengan baik, pemberian remisi sesuai prosedur," pungkas Yasona.
- Kontras: Ada Konspirasi Pemerintah dan DPR Lemahkan KPK Lewat Remisi Koruptor
- Tegur Yasonna Terkait Remisi Koruptor, Jokowi Tuai Dukungan
- Yasonna Tegaskan Revisi PP 99 Bukan Obral Remisi
- Menkumham Disarankan Tetap Pertahankan PP 99 Soal Pengetatan Remisi
- Soal Remisi Untuk Koruptor DPR Malah Dukung Yasonna Laoly
- Koruptor Bukan Diberi Remisi Melainkan Harus Dihukum Mati