JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintahan Joko Widodo masih terlihat belum konsisten dalam pemberantasan korupsi. Salah satunya contohnya adalah pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly yang bersikeras memberikan kesempatan pengurangan hukuman kepada narapidana korupsi.

Mantan Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua menentang keras pernyataan tersebut. Karena, korupsi masuk dalam kategori kejahatan luar biasa. Oleh sebab itu menurutnya, para koruptor seharusnya juga mendapat hukuman yang luar biasa sesuai dengan yang dilakukan.

"Pelaku korupsi jangan dikasih remisi, kalau saya usulkan hukuman mati," kata Abdullah dalam diskusi di Brewekz Resto, Senayan City, Jakarta Pusat, Minggu (15/3).

Menurut Abdullah, para pelaku korupsi harusnya mendapat perlakuan sama dengan narapidana narkotika, terlebih keduanya juga masuk kategori kejahatan luar biasa bersama dengan terorisme. Jika narapidana lainnya bisa dihukum mati, seharusnya pelaku korupsi juga harus diganjar hukuman yang sama.

Meskipun begitu, ia juga memberikan kriteria tentang hukuman mati kepada koruptor. "Kalau narkotika sekian kilogram dihukum mati, kalau koruptor, dia korupsi Rp50 miliar harusnya hukuman mati," ujarnya.

Kemudian, jika memang pelaku tersebut korupsi kurang dari Rp50 miliar, maka ada hukuman lain yang bertujuan memberikan efek jera. Salah satu contohnya yaitu seluruh harta hasil korupsi dirampas oleh negara, dan juga diberikan denda yang besar serta pelaku juga harus mendapat sanksi sosial.

"Pastinya kalau kurang dari Rp50 miliar, dia harus dimiskinkan. Kemudian jalan dengan kaos bertuliskan ´Saya Koruptor´, kerja sosial di perkebunan. Hasil kerja itu 2/3 untuk negara, 1/3 untuk biaya hidupnya," tutur Abdullah.

Mengenai alasan mengenai para koruptor juga mempunyai hak asasi dengan diberikannya remisi dan pembebasan bersyarat yang diutarakan Yasonna, Abdullah juga tidak sependapat. Menurut Abdullah, politisi PDI Perjuangan itu harusnya mengerti bahwa apa yang diperbuat koruptor tersebut juga mengambil hak asasi rakyat.

"Kalau remisi katanya hak asasi, tapi mereka (terpidana korupsi) juga mengambil hak asasi masyarakat. Dampak korupsi itu sangat merugikan masyarakat," tegasnya.

Tak hanya itu, para pelaku korupsi juga harus diasingkan dalam suatu penjara yang sangat sulit mendapat akses. Hal itu bertujuan agar mereka tidak bisa lagi mendapat fasilitas mewah yang selama ini sering sekali terlihat. "Pulau Seribu itu kan luas, satu koruptor ditaroh disana, suruh bawa wajan, bawa parang sendiri biar survive. Kalau dia enggak kuat kan paling nyebur, nah kalau meninggal, alhamdulillah," cetusnya.

Abdullah pun mempunyai alasan yang kuat dengan pernyataan ini. Ia berkaca dari inspeksi mendadak yang dilakukan Kemenkumham kepada Artalyta Suryani alias Ayin. Koruptor penyuap Jaksa Urip Tri Gunawan itu kepergok mendapat fasilitas mewah di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur.

"Kalau dia bisa tidur di kasur, bisa nonton tv, bisa main handphone, itu sama saja di rumah, bukan penjara namanya," ucap Abdullah.

Permintaan Abdullah agar koruptor dihukum mati ditentang oleh Ketua Badan Kehormatan DPD RI Andi Mappetahang Fatwa. Menurutnya, para terpidana seharusnya juga mendapat pembinaan bukannya justru dihukum mati. Hal itu disampaikan atas pengalamannya yang juga pernah menjadi narapidana.

"Saya bekas napi walaupun napi politik. Apa yang disampaikan Pak Abdullah itu kurang manusiawi. Kalau dipersenjatai parang bisa bunuh diri dan itu tidak ada pembinaan. Tetap ukuran harus manusiawi, dan penjara dengan ukuran tertentu," imbuhnya.

Ia pun mengaku beberapa kali merasakan dinginnya penjara di berbagai lembaga pemasyarakatan. Diantaranya yaitu di Sukamiskin, Bandung, Cirebon, hingga Rumah Tahanan Militer POMDAM Jaya Guntur, Jakarta Selatan.

BACA JUGA: