JAKARTA, GRESNEWS.COM – Pekerja sosial dalam mendampingi korban-korban masalah sosial semakin diperlukan. Bahkan, keberadaan mereka sudah diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Salah satunya seperti tertuang dalam Pasal 1 Ayat (4) Undang-undang (UU) No 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Posisi pekerja sosial menjadi sangat strategis karena mereka bekerja dengan korban,.

Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengatakan, selain memiliki kemampuan khusus tentang tata cara pendampingan korban, para pekerja sosial diminta membekali diri dengan pengetahuan mengenai peran LPSK. Dengan begitu, pekerja sosial dapat melihat peluang hak-hak yang bisa diperoleh korban yang didampingi.

Adapun hak-hak korban yang bisa dibantu LPSK untuk diperjuangkan, menurut Semendawai, antara lain ganti rugi, biaya pengobatan dan perlindungan pada saat anak menjalani proses hukum. "Kita ambil contoh pemberian kesaksian oleh anak-anak yang bisa dilakukan melalui teleconference," katanya dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Sabtu (14/3).

Pemenuhan hak-hak saksi dan korban ini, kata Semendawai, diberikan kepada saksi dan korban tindak pidana dalam kasus tertentu, sesuai Pasal 5 UU No 31 Tahun 2014 Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Kasus-kasus tertentu itu antara lain tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika dan psikotropika serta tindak pidana seksual terhadap anak.

Khusus tindak pidana seksual terhadap anak, masih kata Semendawai, LPSK akan sangat terbantu jika ada pekerja sosial yang melakukan pendampingan. Dalam melaksanakan tugasnya itulah, sebaiknya pekerja sosial membekali diri dengan pengetahuan tentang peran LPSK seperti termaktub dalam UU No 13 Tahun 2006 yang telah mengalami perubahan melalui UU No 31 Tahun 2014. "Dengan mengetahui peran LPSK, akan tercipta sinergitas dan korban bisa mendapatkan hak-haknya," tutur Semendawai.

Sementara itu, praktisi pekerja sosial Hadi Utomo mengatakan, dalam kasus eksploitasi seksual anak, dibutuhkan orang yang peduli yang mau berdiskusi dan membuat nyaman para korban untuk mengubah perilakunya tanpa harus memberi nasihat. Dengan demikian, keinginan untuk berubah bisa datang dari dalam diri korban sendiri. "Yang harus digarisbawahi, tanpa memberikan nasihat," kata Hadi yang sudah puluhan tahun menangani kasus eksploitasi seksual anak, khususnya di Jawa Barat.

Pekerja sosial, menurut Hadi, merupakan profesi dinamis dan bukan dogma yang mati. Setiap kasus eksploitasi seksual anak juga berhubungan dengan kasus-kasus lainnya. Di sini, para pekerja sosial dituntut berperan untuk memberikan advokasi mengenai kebijakan-kebijakan yang ada.

Kasus eksploitasi seksual anak sendiri timbul sebagai dampak dari kurangnya kasih sayang, cinta, perilaku sopan, penghormatan terhadap pandangan anak, serta kurangnya penghargaan terhadap harga diri dan martabat anak. Kumpulan penderitaan psikis yang berbulan-bulan di rumah tangga inilah yang kemudian berpengaruh pada anak untuk menjadi korban eksploitasi seksual. "Inilah yang perlu dijelaskan pekerja sosial pada masyarakat dan pemerintah," kata Hadi.

BACA JUGA: